Menuju konten utama

BUMN Jelaskan Dampak Perluasan Mandatori B20 pada Mesin Industri

Fajar Harry mengatakan, perluasan mandatori Biodiesel 20 persen punya risiko yaitu mahalnya biaya bahan bakar, namun jika diterapkan untuk jangka panjang maka akan berdampak positif pada mesin. 

BUMN Jelaskan Dampak Perluasan Mandatori B20 pada Mesin Industri
Ilustrasi. SPBU Conoco di Truman Boulevard di Jefferson City, Mo. AP PHOTO / L.G. Patterson

tirto.id - Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno menyebut bahwa, mandatori perluasan Biodiesel 20 persen (B20) memiliki sejumlah risiko, yakni mahalnya biaya bahan bakar di sejumlah industri, seperti PLN.

Misalnya, intensitas penggantian filter pada mesin yang akan lebih dilakukan pada pembangkit listrik. Namun, ia menyampaikan bahwa dalam jangka panjang penerapan B20 akan berdampak positif pada mesin.

"Kalau awalnya bisa buntu kalo enggak dibersihkan, berarti awalnya pasti sering ganti filter," katanya saat dihubungi Tirto, Rabu (26/9/2018).

Sebelumnya, diketahui bahwa mandatori B20 yang semula diberlakukan hanya untuk public service obligation (PSO) kini diperluas juga untuk non-PSO.

Meski akan lebih sering mengganti filter, Fajar memastikan bahwa industri yang sebelumnya menggunakan solar tidak akan tekor. Sebab, dalam jangka panjang industri BUMN akan menggunakan pembangkit listrik dengan FAME (Fatty Acid Methyl Esters) yang bersumber dari minyak sawit mentah (CPO).

Hal ini, kata dia, juga berlaku pada transportasi lokomotif atau kereta api. Itu artinya akan ada perubahan pada ratusan filter pada unit lokomotif.

"Enggak tekor lah. Malah jangka panjang mau pake pembangkit listrik dengan CPO langsung," ujarnya.

Karena itu lah instansinya akan terus mendorong industri untuk menerapkan kebijakan perluasan B20 seperti yang dimandatkan pemerintah. "Sekarang sedang kita dorong untuk sektor-sektor industri di BUMN, karena ini akan bantu atasi masalah defisit perdagangan," imbuhnya.

Defisit neraca perdagangan migas pada Januari hingga Juni 2018 sendiri tercatat mencapai 5,4 miliar dolar AS. Sedangkan neraca perdagangan non-migas mampu surplus sebesar 4,4 miliar dolar AS. Artinya, defisit neraca perdagangan Indonesia di paruh pertama 2018 sekitar 1 miliar dolar AS.

Baca juga artikel terkait BIODIESEL B20 atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Yandri Daniel Damaledo