tirto.id - Sebuah jet pribadi ditembak pada 6 April 1994 di dekat Bandara Internasional Kigali, Rwanda. Dua kepala negara, Presiden Rwanda Juvénal Habyarimana dan Presiden Burundi Cyprien Ntaryamira yang berada di dalam pesawat, tewas seketika. Hanya beberapa menit kemudian, militer Rwanda dan kelompok sipil dari suku Hutu mulai membagikan parang untuk menggorok leher etnis Tutsi.
Pembunuhan terhadap dua presiden beretnis Hutu itu akhirnya memang menjadi dalih pembersihan etnis Tutsi di Rwanda selama 100 hari setelahnya. Pasukan pemerintah dan milisi-milisi sipil memburu, menjarah, memperkosa, dan menyembelih orang Tutsi.
PBB mencatat sekitar 800.000 penduduk Rwanda tewas. Data resmi pemerintah Rwanda mencatat jumlah korban mencapai 1.074.017. Sebuah sumber yang dikutip Survivor Fund memperkirakan enam laki-laki, perempuan, dan anak-anak dibantai tiap menit sejak April hingga Juli 1994.
Pembantaian berakhir ketika Front Patriotique Rwandais (FPR) berhasil menguasai Ibu Kota Kigali pada pertengahan Juli. Salah satu peristiwa paling berdarah di pengujung abad ke-20 ini merupakan buntut dari konflik panjang antara dua etnis. Kekejaman, pemenjaraan tanpa pengadilan, dan pembunuhan politik terhadap orang Tutsi bahkan telah terjadi beberapa tahun sebelum 6 April 1994, di bawah kekuasaan Habyarimana.
Secara historis, etnis Tutsi merupakan bagian dari elite Rwanda di bawah kolonialisme Belgia. Sejak Revolusi Rwanda yang membubarkan monarki dan menggantinya dengan republik pada 1959, orang Tutsi pun tersingkir dan mengungsi ke berbagai negara di Afrika.
Tapi, kursi Habyarimana mulai goyah pada akhir 1980-an. Studi Isaac A. Kamola bertajuk “Coffe and Genocide” yang terbit di jurnal Transitions (2008) menunjukkan harga komoditas kopi—ekspor terbesar Rwanda—jatuh sejak 1986. Nilai penjualan turun dari 14 miliar franc Rwanda ke 5 miliar franc Rwanda.
Krisis ekonomi diikuti oleh konflik elite kota dan desa, serta persaingan antara kubu moderat pendukung Habyarimana dan kubu ekstremis. Untuk membendung keresahan di akar rumput, Habyarimana yang dikenal korup memainkan sentimen etnis dan mulai mengambinghitamkan minoritas Tutsi sebagai dalang krisis. Dari situlah muncul "Hutu Power", ideologi yang menghendaki agar kekuasaan negara mutlak dipegang orang Hutu. Ideologi yang sama juga menginginkan pemurnian "ras" Hutu dari perampuran darah dengan Tutsi.
Pada Oktober 1990, Habyarimana menemukan dalih yang bisa ia gunakan. FPR, kelompok politik yang mendapat sokongan dana dan senjata dari pemerintah Uganda, meluncurkan serangan di perbatasan. Sejak itulah meledak perang sipil yang baru berakhir dengan pembantaian 1994. FPR, partai yang kini berkuasa di Rwanda, terdiri dari pengungsi dan warga diaspora Tutsi lainnya.
Pada 1993, partai Habyarimana, Mouvement Républicain National pour la Démocratie et le Développement (MRND), mendirikan organisasi sayap pemuda bernama Interahamwe. Organisasi preman ini kelak terlibat dalam aksi-aksi kekerasan terhadap Tutsi bahkan beberapa tahun sebelum pembantaian 1994. Sebagian besar anggota Interahamwe merupakan orang-orang yang kehilangan pekerjaannya saat krisis ekonomi akhir 1980-an.
Hingga hari ini pembantaian Rwanda adalah topik yang terus dipelajari para ilmuwan sosial. Rwanda menjadi salah satu contoh teranyar pemusnahan manusia berskala besar pasca-Perang Dingin. Pembantaian 100 hari itu juga menunjukkan bagaimana komunitas internasional sangat lambat merespons genosida.
Tak hanya itu, rentetan peristiwa berdarah sejak perang sipil hingga pemusnahan suku Tutsi ini kerap dirujuk saat membicarakan betapa berdarah kebijakan politik luar negeri Perancis—yang memasok persenjataan dan bantuan logistik menjelang dan selama pembantaian.
Ihwal lain yang tak kalah sering disinggung adalah propaganda di balik kekejaman. Bukan cuma tentara, Interahamwe, atau milisi-milisi lain yang memainkan peranan penting dalam pembantaian itu. Sebagian ekstremis juga bekerja mempropagandakan supremasi Hutu dan menyebarkan kebencian terhadap Tutsi lewat radio.
Dalam istilah kekinian, para penyiar ini adalah para buzzer yang bekerja mendemonisasikan kaum Tutsi dan menjustifikasi aksi-aksi kekerasan massal terhadap siapa pun yang mereka anggap musuh.
Alat Partai
"Dengan bantuan pasukan pemerintah, penduduk Rugenge [sebuah distrik di Kigali] membakar kecoak-kecoak Tutsi. Mereka akan habis di udara,” tutur Valérie Bemeriki kepada kru film dokumenter 7 Days in Kigali (1994). Penyiar Radio Télévision Libre des Mille Collines (RTLM) itu membacakan ulang konten siarannya yang mengudara pada April 1994.
Kelak dikenal sebagai “radio parang” (radio machete), RTLM memompa kebencian anti-Tutsi menjelang dan selama pembantaian berlangsung.
RTLM sebetulnya bukan satu-satunya radio berdarah di Rwanda. Studi sejarawan dan aktivis HAM Alison Des Forges yang berjudul “Call to Genocide: Radio in Rwanda, 1994” (2007) menunjukkan Radio Rwanda telah mendukung pembantaian terhadap etnis Tutsi di Bugesera, selatan Kigali pada 1992. Meski demikian, stasiun radio tertua Rwanda itu tak terlibat pembantaian 1994—bahkan sempat dituduh pro-oposisi Tutsi.
Peran radio sangat sentral di masyarakat Rwanda mengingat, tulis Forges, sejumlah besar penduduknya tak bisa baca-tulis. “Radio menjadi saluran komunikasi yang vital untuk menyampaikan pesan-pesan pemerintah.”
RTLM berdiri pada April 1992 dan mulai beroperasi Juli tahun berikutnya. Jurnalis Pierre Lepidi dari Le Monde (8/4/2019) melaporkan, di antara 50 penyandang dana, muncul nama beberapa kerabat Habyarimana dan seluruh anggota Akazu, kelompok paramiliter ekstremis Hutu yang dipimpin Agathe Habyarimana, istri presiden.
Dalam A People Betrayed: The Role of the West in Rwanda’s Genocide (2009), Linda Melvern menuturkan posisi pimpinan dewan direktur RTLM dijabat oleh Félicien Kabuga, penasihat keuangan sekaligus besan Habyarimana. Selain mendanai Interahamwe, Kabuga juga menjadi orang di balik impor parang dan senjata besar-besaran pada 1993.
RTLM awalnya ditujukan untuk menandingi Radio Muhabura yang berafiliasi dengan FPR dan semakin populer di tengah perang sipil. Namun, pendengar Muhabura terbatas karena memakai bahasa Inggris (yang digunakan etnis Tutsi, sementara Hutu berbahasa Perancis) dan bahasa Kinyarwanda. Tak hanya itu, RTLM pun sengaja didirikan sebagai alternatif bagi Radio Rwanda yang dipandang terlalu resmi.
Menurut Gaspard Gahigi, RTLM menyediakan wadah bagi warga biasa untuk bersuara. “Warga umumnya hanya bersuara ketika pemilu. Tapi kini pemilu tak mungkin diadakan. Jadi, orang kebanyakan sulit bicara. Di sinilah peran RTLM. Kami berikan mereka corong.”
Gahigi adalah pemimpin redaksi RTLM. Ia mempopulerkan kembali sebutan “inyenzi” (kecoak) yang dilekatkan ekstremis Hutu kepada etnis Tutsi sejak digunakan pertama kalinya dalam revolusi Rwanda pada akhir 1950-an.
Para pendiri RTLM berharap agar stasiun anyar itu tampil dengan gaya yang lebih interaktif. Tapi, seinteraktif apa?
Pembisik Jagal Mabuk
Riset bertajuk Rwanda: les médias du génocide (1995) bisa menjadi ilustrasi. Dalam salah satu penelitian paling awal tentang pembantaian Rwanda itu, Jean-Paul Chrétien, Jean-Francois Dupaquier, Marcel Kabanda, dan Joseph Ngarambe menjabarkan hubungan penyiar dan para pelaku kekerasan di lapangan:
"Dua alat—yang satu sangat modern dan yang lainnya kurang modern—secara khusus digunakan selama genosida suku Tutsi di Rwanda, radio dan parang. Yang pertama [berfungsi] memberi dan menerima perintah, yang kedua melaksanakannya."
Kira-kira begitulah "interaktif" yang dimaksud Gahidi.
RTLM merekrut para jurnalis terbaik penutur bahasa Kinyarwanda dan Perancis—termasuk wartawan Belgia bernama Georges Ruggiu. Siaran RTLM berlangsung siang dan beberapa jam pada malam hari dengan meminjam frekuensi milik Radio Rwanda. Tak heran, RTLM punya jangkauan pendengar luas dan pesannya bisa sampai secepat—dalam kata-kata Gahigi—"api membakar kayu”.
Para penyiar bahkan mengetahui kapan dan bagaimana orang Tutsi akan dihabisi.
Masih menurut laporan Le Monde, seorang penyiar RTLM leluasa membicarakan rencana genosida beberapa hari sebelum darah pertama kali tumpah. “Sesuatu akan terjadi tanggal 4 atau 5 April. Di Kigali, selama hari-hari Paskah ini, ada hal kecil yang direncanakan dan akan berlanjut selama beberapa hari ke depan!" tutur sang penyiar dengan antusias.
Perburuan terhadap suku Tutsi dipermudah oleh kolom etnis di KTP Rwanda. Mereka yang ketahuan Tutsi langsung digelandang dan disikat. Sepanjang April hingga Juli 1994, tentara nasional dan milisi-milisi memblokade jalan dan menggeledah rumah warga, termasuk etnis Hutu. Di jalan-jalan, lapor Le Monde, milisi Interahamwe seringkali mabuk.
“Pesan-pesan dari radio yang didengar sambil mabuk itu rupanya membakar semangat mereka dan mendorong anggota-anggota milisi ini terjun dalam kompetisi yang brutal.”
Meski yang diincar adalah Tutsi, para jagal juga menghabisi kaum Hutu moderat karena menyembunyikan atau menolak membunuh orang Tutsi.
"Di RTLM, jurnalis harus bekerja seperti militer atau milisi. Kami tidak bisa membiarkan musuh kabur. Kami harus mengumumkan tempat persembunyian musuh. Bahkan tempat-tempat yg jadi tempat perlindungan orang Tutsi," tutur Bemeriki dalam 7 Days in Kigali.
Pada Juli 1994, radio machete bubar. Kantor RTLM dibom oleh pasukan FPR. Para penyiar dan teknisinya kabur ke Republik Demokratik Kongo (RDK), Kenya, dan negara-negara tetangga lainnya.
Valérie Bemeriki ditangkap pada 1999 di Provinsi South-Kivu, RDK. Di pengadilan Nyakabanda, Kigali, pada 2009, ia divonis penjara seumur hidup. Bemeriki mengaku bersalah telah memancing kebencian etnis pada 1994 dan berharap ampun dari seluruh rakyat Rwanda.
Georges Ruggiu ditangkap di Mombassa, Kenya, pada 1997. Pada 2000, pengadilan menjatuhinya hukuman 12 tahun penjara.
Para penyiar lain lebih tidak beruntung. Kantano Habimana meninggal karena AIDS di RDK, diperkirakan sebelum 2002. Pemred RTLM Gaspard Gahigi juga diduga telah mati.
Editor: Eddward S Kennedy