tirto.id - PandemicTalks menyimpulkan situasi COVID-19 di Indonesia “masih sangat buruk.” Masalahnya ada klaim yang menyatakan bahwa penanganan pandemi membaik. Klaim itu, kata mereka, “ilusi” belaka.
PandemicTalks adalah inisiatif yang didirikan untuk mengisi gap informasi ke masyarakat terkait COVID-19. PandemicTalks digawangi oleh empat orang, yakni seorang doktor di bidang bedah saraf Muhammad Kamil; biomedical scientist Mutiara Anissa; data scientist Firdza Radiany; dan dokter sekaligus peneliti kesehatan masyarakat Pritania Astari.
Disebut ilusi karena salah satunya data yang disajikan ke masyarakat bias. “Ini bukan representasi dari kondisi sesungguhnya,” kata Muhammad Kamil kepada reporter Tirto, Senin (19/10/2020).
Hingga hari ini Indonesia sudah melewati tujuh periode penambahan kasus per 50 ribu. Per 19 Oktober kemarin, total kasus konfirmasi positif mencapai 365.240.
Saat kasus pertama diumumkan pada Maret lalu, penambahan kasus hingga mencapai 50 ribu terjadi dalam 115 hari. Kemudian 50 ribu ke 100 ribu 32 hari; 100 ribu ke 150 ribu 26 hari; lalu 150 ribu ke 200 ribu 17 hari; 200 ribu ke 250 ribu 13 hari; 250 ribu ke 300 ribu dan 300 ribu ke 350 ribu hanya dalam waktu 11 hari.
Ringkasnya, penambahan 50 ribu kasus yang mulanya membutuhkan ratusan hari kini terjadi hanya dalam belasan hari.
Ketika penambahan kasus terus berlipat ganda dengan cepat, dalam periode yang sama jumlah tes tak menunjukkan peningkatan signifikan dan tidak pernah mencapai standar yang direkomendasikan Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk Indonesia, yakni 38.500 per hari.
Saat periode awal penambahan menjadi 50 ribu, kapasitas tes hanya 3.711 per hari. Sampai dengan ketika penambahan kasus dari 300 ribu menuju 350 ribu, jumlah tes per hari baru di angka 34.894.
Selain itu, angka positivity rates atau perbandingan kasus positif dan jumlah pengetesan sepanjang periode penambahan kasus kelipatan 50 ribu selalu di atas 10 persen. Saat penambahan kasus dari 300 ribu menuju 350 ribu, misalnya, positivity rates 13 persen, jauh di bawah standar WHO agar kasus dapat dikendalikan, yakni kurang 5 persen.
Pun demikian rata-rata jumlah kasus meninggal. Dalam tiga periode terakhir penambahan kasus kelipatan 50 ribu, rata-rata kasus meninggal konsisten di atas 100. Pada periode penambahan kasus 200 ribu sampai 250 ribu, rata-rata kasus meninggal per hari 124; periode penambahan 250 ribu sampai 300 ribu 119; dan periode penambahan kasus 300 ribu sampai 350 ribu rata-rata per hari 109 orang meninggal.
Di saat tren kematian global semakin menurun, justru persentase kematian di Indonesia masih berada di atas global, yakni 2,8 persen.
“Data ini tidak disampaikan. Yang selalu disampaikan adalah data kesembuhan, padahal itu kan bukan indikator pengendalian wabah. Yang perlu kita tangani adalah yang sedang terinfeksi dan meninggal. Sudah beberapa pekan terakhir kematian rata-rata di atas 100 sehari, atau dalam satu jam ada sekitar lima orang meninggal,” kata Kamil.
Klaim Pemerintah
Pada 4 Oktober lalu Presiden Joko Widodo memaparkan perkembangan penanganan COVID-19 dengan menyebut persentase kesembuhan per 2 Oktober mencapai 74,9 persen, lebih tinggi dibanding persentase kesembuhan dunia yang berada di angka 74,43 persen.
Ia melanjutkan, Indonesia berada di peringkat ke-23 dengan jumlah kasus sebesar 295.499 kasus. Posisi ini, menurutnya, masih lebih baik dibanding negara-negara besar seperti Amerika Serikat (7.495.136 kasus), India (6.397.896), Brazil (4.849.229), Rusia (1.194.643), dan Kolombia (835.339).
Pernyataan ini keluar setelah muncul perbandingan kasus Corona di Indonesia di tengah-tengah publik, dengan, misalnya, Vietnam dan Singapura. Menurut Jokowi, perbandingannya memang harus negara-negara besar tersebut, dan bukan negara-negara kecil. “Kalau membandingkan, ya, seperti itu,” kata Jokowi.
Jokowi membandingkan kasus COVID-19 dengan negara-negara tersebut. Menurutnya penanganan COVID-19 di Indonesia “tidak buruk.”
Perlu diperhatikan bahwa rasio tes Indonesia masih paling sedikit dibanding negara-negara tersebut. AS memiliki rasio tes paling banyak, yakni 339,3 per 1.000 penduduk, dilanjutkan dengan Brazil (84,0), Kolombia (77,0), India (58,5), Meksiko (15,4), baru Indonesia (12,8).
Di masa awal pandemi, Jokowi mengatakan masyarakat tidak perlu takut berlebihan dengan virus Corona. Menurut data yang ia terima, 94 persen pasien bisa sembuh. Catatan pentingnya, Indonesia saat itu baru mencatatkan dua kasus, dua -duanya warga Depok Jawa Barat.
Per 2 Oktober, ada 295.499 kasus COVID-19 dengan 74.109 pasien aktif dan 10.972 di antaranya meninggal.
Jokowi kembali menyinggung perkara kesembuhan pasien dalam rapat terbatas di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (19/10/2020) kemarin. “Saya kira hal-hal seperti ini yang terus harus kita perbaiki sehingga kita harapkan tren kasus di Indonesia akan semakin membaik,” katanya. “Ini bagus sekali,” tambahnya, merujuk persentase kasus aktif yang lebih rendah daripada rata-rata dunia.
Sehubungan dengan itu, pemerintah pun mengeluarkan kebijakan pelonggaran pembatasan sosial. Konsekuensinya aktivitas ekonomi berdenyut lagi. Pemerintah menekankan betapa pentingnya protokol kesehatan dalam periode ini, sebab vaksin masih diupayakan secepatnya. Presiden juga berkali-kali bicara soal suntik massal vaksin sesegera mungkin.
Kamil bilang ketika kapasitas tes belum maksimal dan angka kematian serta penambahan kasus tinggi, pemerintah semestinya memperketat isolasi. “Tapi isolasi juga semakin loose, sedangkan yang diekspos kesembuhan. Itu jadi ilusi [bahwa pandemi terkendali],” ujarnya.
“Yang kasihan masyarakat, karena bisa makin abai [terhadap COVID-19],” tambahnya.
Narasi soal vaksin yang terus menerus didengungkan oleh pemerintah juga memperburuk keadaan, katanya. Sebab vaksin sendiri belum ada yang terbukti secara klinis. “Kalau dirunut, vaksin itu false hope yang parah dari pemerintah,” kata Kamil.
Bias Statistik
Epidemiolog yang juga peneliti dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Mouhamad Bigwanto mengatakan apa yang dilakukan pemerintah dengan menonjolkan angka kesembuhan saja adalah bias statistik. Menurutnya itu berbahaya meski jelas ada tujuannya, yaitu memperoleh kepercayaan kembali pasar dan ekonomi menguat.
“Dalam politik itu biasa kita sebut sebagai propaganda,” kata Bigwanto kepada reporter Tirto, Senin (19/10/2020).
Propaganda pemerintah ini berbahaya bagi kesehatan publik karena persepsi masyarakat terhadap bahaya COVID-19 menurun dan cenderung menyepelekan. Sehingga, kata dia, tidak heran jika kasus harian saat ini selalu di atas 4.000 kasus.
Oleh karena itu ia meminta “pemerintah tidak usah mengada-ada mengambil data setengah-setengah.” “Lihat secara keseluruhan. Pemerintah harus objektif dalam situasi ini. Jangan hanya karena ingin mengembalikan kepercayaan pasar kemudian membuat ilusi-ilusi itu,” kata Bigwanto.
Satu upaya paling menonjol dari pemerintah untuk menekan Corona adalah menunjuk Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengurusi 10 provinsi. Luhut diberikan tiga target utama: “penurunan penambahan kasus harian; peningkatan angka kesembuhan; menurunkan angka kematian,” kata Satgas COVID-19.
Ketika itu Luhut optimistis akan berhasil. “Saya bukan epidemiolog, memang betul, tapi saya dibantu banyak orang pintar... Orang-orang berkualitas membantu saya,” kata Luhut.
Meski begitu, dari data yang ada, hasilnya belum maksimal.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino