tirto.id - Coba perhatikan, dari hari ke hari, pemakaian headphone atau earphone di ruang publik semakin wajar, bukan?
Ketika naik transportasi umum atau menyusuri taman-taman kota dan jalan-jalan besar yang ditutup selama car free day, kita kerap mendapati orang-orang berlalu-lalang dengan memakai headset atau earphone untuk mengaburkan suara-suara bising di sekitarnya—tenggelam dalam dunia mereka masing-masing.
Kini, percakapan spontandengan orang asing pun terasa semakin langka. Tergantung dengan situasinya, kebanyakan orang akan merasa tidak nyaman apabila disapa ketika tengah memakai headphone.
Perangkat audio yang dipasang di telinga ini telah menjadi sebuah isyarat sosial, atau istilahnya “social cues”, bahwa sang pemakainya sedang ogah diganggu.
Bukan rahasia lagi, bagi beberapa orang, memakai headphone adalah upaya untuk menghindari percakapan. Nyatanya, kala itu tidak ada musik yang diputar, sesi pertemuan daring, atau pun panggilan masuk yang berdering.
Ini pernah dikonfirmasi oleh sekelompok peneliti Jerman yang melakukan survei kepada 1.000 orang tentang alasan mereka menggunakan headphone.
Hasilnya, hampir setengah dari mereka menjawab “untuk menghindari interaksi dengan orang lain”.
Trik ini membuat mereka tampak sibuk dan terputus dari dunia luar sehingga orang lain enggan untuk menginterupsi aktivitasnya.
Namun, tidak sedikit yang mempermasalahkan sinyal “do not distrub” ini.
Kalangan kolektivis berpendapat bahwa fenomena pemakaian headphone di ruang publik hanya akan mendorong kita kepada budaya individualitas yang berakhir pada epidemik kesepian.
Mulai Bergeser dari Kultur Masyarakat Kolektif?
TikToker bernama Kellie dengan username @kellsbellsbaby misalnya, memantik perdebatan isu ini di TikTok dengan mengeluhkan pengalaman canggungnya ketika berinteraksi dengan orang-orang yang memakai headphone di tempat umum.
Ia menceritakan bagaimana upayanya berbasa-basi dengan seorang gadis yang memakai kaus organisasi yang juga diikutinya langsung ditolak mentah-mentah.
Pada kesempatan lain, Kellie memuji penampilan cantik seorang perempuan senior berusia 70 tahunan yang memakai AirPods. Ia kembali diabaikan.
“Apa yang terjadi? Biarkan aku bicara denganmu, tolong lepas headphone-nya dan lihat aku!” ujarnya gemas di akhir video.
@kellsbellsbaby This is my most boomer take and I stand by it…ur headphones are preventing you from connecting with people in ur community #nyc#newyork#boomer#noisecancelling#headphones#airpodspro
♬ original sound - kell
Menariknya, mayoritas warganet di kolom komentar video tidak setuju dengan Kellie.
Mereka cenderung membela perilaku si gadis dan nenek yang mengabaikan Kellie. Sebab, keduanya telah mengisyaratkan rasa tidak ingin diganggu dengan menyumpal telinga mereka.
Bagaimana pun, kita tidak berhak atas waktu atau perhatian dari orang lain yang jelas-jelas tidak ingin memberikannya pada kita.
Jika ingin mencari teman, warganet menyarankan Kellie untuk pergi ke klub atau organisasi yang dipenuhi oleh orang-orang yang memang ingin terkoneksi, alih-alih malah mengganggu “me-time” yang dinikmati orang-orang di transportasi dan tempat-tempat umum.
Pola pikir semacam ini bisa dibilang telah tertanam kuat dalam budaya masyarakat individualis.
Dalam pemahaman individualis, setiap orang memegang kendali atas keputusan-keputusan di hidupnya dengan minimnya keterlibatan orang lain terkait penentuan pilihan tersebut.
“Hanya dengan membayangkan tentang membuat pilihan saja, orang akan menjadi lebih mandiri dan lebih peduli dengan kepentingan pribadi mereka. Itu membuat orang menjadi lebih individualis,” jelas Madan.
Bahkan, ketika pilihannya sepele, seperti memasak telur alih-alih membeli makanan di warung, dapat memiliki pengaruh yang signifikan.
“Kamu memilih untuk memberikan ‘like’ pada beberapa unggahan di Instagram kemudian mengabaikan unggahan lainnya. Rasa memiliki kendali ini, bahwa diri sendiri berada di kursi pengemudi, membuat orang-orang merasa mandiri dan penting,” lanjutnya.

Dengan banyaknya pilihan hiburan yang tersedia di layar smartphone dan perangkat earphone yang dapat membuatmu semakin terbenam di dalamnya, siapa yang mau repot-repot mengobrol dengan orang tak dikenal di ruang publik?
Tidaklah mengherankan apabila orang-orang yang sendirian di tempat umum lebih memilih untuk mengisi kekosongan dan menghabiskan waktu mereka dengan mendengarkan musik, podcast, atau audiobook dengan earphone mereka.
Ini menjadi tanda bahwa kita mulai mengadopsi kultur individualis dan beranjak dari budaya kolektif.
Individualisme Tak Mesti Bersinonim dengan Kesepian
Tak jarang, perilaku menarik diri dari keramaian dengan memasang earphone atau terpaku di layar smartphone selama berada di ruang publik dikaitkan dengan rasa kesepian.
Kesepian selalu disebut-sebut sebagai salah satu masalah utama dalam masyarakat yang individualis. Terlihat lebih mandiri dan suka menghabiskan banyak waktu sendirian, kalangan individualis diasumsikan selalu dihinggapi oleh rasa sepi.
Padahal, kenyataannya tidak sesederhana itu.
Baik masyarakat yang budayanya komunal maupun lebih individualis sama-sama berpotensi merasa kesepian.
Hanya saja, seperti disampaikan dalam studi di jurnal Review of General Psychology (2020), rasa sepi itu termanifestasikan dalam bentuk yang berbeda.
Masyarakat yang memiliki ikatan kekeluargaan tinggi cenderung menjalin banyak interaksi sosial. Namun, pada waktu sama, mereka mungkin merasa tidak terhubung secara emosional atau bahkan kurang puas dengan lingkungannya karena terbebani dengan tuntutan-tuntutan akan ekspektasi atau norma sosial yang bersifat kaku dan mengikat.
Di sisi lain, pada masyarakat yang budaya interaksinya lebih luwes dan bebas, rasa sepi yang dialami cenderung berkaitan dengan isolasi secara fisik atau sosial.
Sementara itu, dalam studi berjudul “What Predicts Loneliness? Cultural Difference Between Individualistic and Collectivistic Societies in Europe” (2014), tim peneliti mempelajari tingkat kesepian masyarakat di negara-negara Eropa dengan budaya kolektivis kuat dan lebih individualis.
Hasil riset mengungkapkan bahwa masyarakat di negara-negara Eropa yang kolektivis lebih sering merasa kesepian karena mereka begitu peduli dengan pengakuan dari kelompok dan hubungan keluarga.
Ketika relasi keluarga yang intim dan penuh kasih sayang tidak terpenuhi, mereka cenderung merasakan kesepian yang mendalam.
Di satu sisi, interaksi yang intens dengan teman memberikan dampak lebih besar dalam mengurangi kesepian bagi kalangan individualis.
Apabila para kolektivis berusaha keras untuk menyesuaikan diri agar diterima oleh kelompoknya, masyarakat individualis cenderung memilih teman-temannya sendiri yang dapat menegaskan identitas dirinya yang unik.
Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat individualis juga membutuhkan kontak sosial untuk meredakan rasa kesepian mereka. Namun, pada waktu sama, mereka juga dapat lebih menghargai kesendirian.
Namun, tetap saja tidak ada alasan untuk bersikap kasar pada orang lain yang berusaha menyapamu dengan lembut.
Bagaimana denganmu, apa yang akan kamu lakukan jika disapa orang asing ketika tengah mengenakan headphone?
Penulis: Yolanda Florencia Herawati
Editor: Sekar Kinasih
Masuk tirto.id







































