Menuju konten utama
Mozaik

Kisah Sunan Kuning dalam Geger Pacinan dan Perebutan Kartasura

Bersama koalisi Jawa-Tionghoa, Sunan Kuning berhasil merebut Keraton Kartasura. Namun, masa kekuasaannya singkat, ia ditangkap dan dibuang ke Sri Lanka.

Kisah Sunan Kuning dalam Geger Pacinan dan Perebutan Kartasura
Penobatan Amangkurat V Raja Mataram di Pati. (FOTO/dinasarpus.patikab.go.id)

tirto.id - Raden Mas Garendi lahir sebagai putra bungsu Pangeran Tepasana. Sedangkan Pangeran Tepasana adalah anak ragil Amangkurat III.

Sepasar, begitu disebut dalam primbon Baboning Pepak Basa Jawa (2016) karya Budi Anwari. Maksudnya, Pangeran Tepasana beranak lima orang laki-laki dan perempuan.

Putra tertua Pangeran Tepasana, sebagaimana disebut dalam Babad Kartasura II (hlm. 193) bernama Raden Wiratmaja. Putri kedua diperistri Ki Puspadirja Batang, adik Ki Tumenggung Batang yang dibuang. Putri ketiga bernama Retna Dumilah yang dinikahi seorang raja, elok wajahnya lagi memesona tingkah lakunya. Putri ketiga diperistri Pangeran Buminata.

Kendati begitu, nihil riwayat sosok ibu atau permaisuri Pangeran Tepasana, tak termuat namanya dalam babad tersebut.

Dalam ragam wiracarita, Raden Mas Garendi dikenal rupawan. Sementara dalam Babad Kartasura II disebutkan bahwa lagaknya sebagai bangsawan sebanding lurus dengan kebaikan hatinya.

Sang raja juga kakeknya, menjadikannya sebagai cucu teladan. Sosok mudanya digambarkan bagai rembulan sabit yang menggoda malam. Pemuda cerdas dan berhati lapang, mampu memesona siapa saja yang menatapnya.

Pada lini masa wangsa Mataram, namanya disandingkan dengan janji kebangkitan, seakan jejak keramat dari masa lampau hendak dipanggil kembali ke panggung sejarah Nusantara.

Diangkat Anak Tionghoa, Diangkat sebagai Raja

Saat usianya belum genap dua puluh tahun, Pangeran Tepasana gugur dirundung intrik istana. Ayahnya itu dituduh terlibat persekongkolan melawan adik Amangkurat III, Pakubuwana I alias Pangeran Puger.

Raden Mas Garendi dibawa pamannya, Wiramenggala, menyelamatkan diri dengan menyingkir ke pelosok Grobogan, membelah Gunung Kemukus. Rombongan pelarian ini bertemu dengan keluarga Tionghoa, Tan He Tik. Saudagar Tionghoa asal Grobogan itu berniat menjadi pelindung dan wali angkat Garendi.

Laskar koalisi Jawa-Tionghoa itu kemudian mengguncang Pati pada tanggal 6 April 1742 ketika mereka menobatkan Raden Mas Garendi dengan gelar Sunan Amangkurat V atau Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Ingkang Jumeneng Kaping V.

Alasan laskar koalisi memilih Raden Mas Garendi sebagai figur legitimaris ialah guna mengembalikan genealogi garis keturunan Amangkurat. Kendati usianya masih belia—diperkirakan 16 hingga 18 tahun—dia sudah dinobatkan sebagai raja, lalu resmi naik takhta pada 1 Juli 1742 menggantikan Pakubuwana II.

Raden Mas Garendi yang berjuluk Sunan Kuning bermula dari pelafalan lokal terhadap nama Tionghoa, Cun Ling (bangsawan tertinggi). Akan tetapi, orang Jawa agak kesulitan mengucapkannya sehingga berubah menjadi Kuning.

Upacara megah dihelat, meneguhkan harapan baru bagi pemberontak. Raden Mas Garendi diteguhkan kembali sebagai Sunan Amangkurat V dengan upacara yang memadukan tradisi Jawa kejawen dan simbol-simbol Tionghoa, menandai lahirnya rezim baru di Kartasura.

Dialah raja muda yang mengakar dari darah Mataram, namun berdaya mempersatukan laskar Jawa dan Tionghoa.

Geger Pecinan

Lukisan Jawa abad ke-19 menggambarkan salah satu episode Perang Tionghoa, perang yang meletus di Jawa tahun 1741-1743. FOTO/Wikimedia Commons

Ambil Peran dalam Geger Pacinan

Kala Geger Pecinan pecah di Batavia, amarah atas pembantaian ribuan etnis Tionghoa meluas ke pelosok Jawa. Riwayat soal ini salah satunya ditulis oleh Daradjadi Gondodiprojo dalam Geger Pacinan 1740-1743: Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC (2017).

Duka terhampar. Bentrokan antara buruh Tionghoa dan pasukan VOC menewaskan puluhan serdadu. Dua hari kemudian, rumah-rumah di sepanjang Kali Besar dibakar, meriam-meriam menggelegar menembus pintu-pintu gerbang Pecinan.

Dalam tempo dua minggu, lebih dari 10.000 jiwa terenggut—mayat-mayat dibuang ke Kali Angke, hanyut bersama air keruh darah dan kesedihan yang tak pernah terbilas.

Sementara itu, orang-orang Tionghoa yang lari dari persekusi VOC dikisahkan menambatkan diri ke haribaan Sunan Kuning.

Respons lain ditunjukkan Pakubuwana II, Raja Mataram yang pada mulanya memusuhi VOC. Pergolakan ini semakin membuka pintu revolusi bagi Sunan Kuning muda yang memimpin pasukan gabungan untuk menyerbu benteng Kartasura dan Semarang. Geger Pecinan memuncak dalam medan laga yang dahsyat.

Tetapi saat asa kemenangan memudar, rasa takut akan hilangnya takhta menyergap hatinya, Pakubuwana II berbalik arah mendukung VOC. Ia dan pasukannya balik menyerbu laskar Jawa-Tionghoa yang semula mereka bantu.

Pada malam hari, pasukan Jawa-Tionghoa menyerbu Benteng Kartasura. VOC terdesak. Namun keberanian itu runtuh oleh intrik dan persenjataan berat Belanda yang sekonyong-konyong dibawa pasukan Pakubuwana II.

Semakin mengeruh ketika Sunan Kuning, yang sedari awal mengutuk keras kolaborasi Surakarta dengan VOC, melihat Pakubuwana II berbalik menjadi sekutu Kompeni.

Kekecewaan laskar Tionghoa memantik pemberontakan terbuka, saat Sunan Kuning menyatakan diri melawan takhta Surakarta demi menegakkan janji kemerdekaan dari belenggu asing.

Di samping itu, laskar yang terlanjur dibikin kecewa oleh Pakubuwana II, berbalik menunjuk Sunan Kuning alias Amangkurat V sebagai pemimpin alternatif Kesunanan Mataram.

Bersama Tan He Tik dan segenap pedagang Tionghoa Grobogan, Amangkurat V menajamkan strategi perlawanan di pesisir utara Jawa. Laskar gabungan yang terdiri dari para kesatria Jawa dan pasukan Tionghoa berbaris meriam, menyisir pelabuhan-pelabuhan dan benteng VOC. Koalisi ini menjelma menjadi kekuatan paling menakutkan bagi kompeni di Jawa Tengah.

Menurut Ricklefs dalam “The Crisis of 1740-1 in Java: The Javanese, Chinese, Madurese and Dutch, and the Fall of the Court of Kartasura” (1983), sebanyak 3.500 Tionghoa dan 20.000 Jawa mengepung benteng Semarang. Sementara di pihak lawan, VOC hanya mengerahkan lebih dari 3.400 tentara. Walhasil, sebagian pasukan Kompeni ditangkap, dibunuh di tempat, sisanya meninggalkan pertempuran.

Pasukan Sunan Kuning yang terus menggempur Kartasura akhirnya berhasil merebut istana dan menarasikan ulang peta kekuasaan Mataram. Namun balasan VOC tak terelakkan: bala bantuan kompeni dari Batavia berlabuh, memecah barisan Jawa-Tionghoa, dan menundukkan semangat perlawanan yang berkuasa secara singkat.

Wafat dan Kotroversi yang Mengiringinya

Setelah Kartasura berhasil direbut kembali oleh VOC, Amangkurat V ditangkap lalu diasingkan ke Ceylon (Sri Lanka).

Masa pemerintahannya hanya berlangsung sekitar 14 bulan, berakhir pada September 1743, dan ia wafat dalam pengasingan—tanggal dan penyebab pastinya tidak tercatat dengan jelas dalam sumber VOC maupun kronik Mataram resmi.

Meski demikian, letak pasti makamnya tetap menjadi kontroversi, apakah di Sri Lanka atau Semarang.

“... diungkap pula bahwa keberadaan makam Sunan Kuning di Semarang. Ternyata, kemungkinan besar makam tersebut adalah makam anak buah Sunan Kuning. Hal ini dikuatkan oleh catatan sejarah menjelaskan bahwa Sunan Kuning dibuang ke Sri Lanka dan wafat di sana,” tulis Dwi Puji Rahayu dan Asep Yudha Wirajaya dalam “Hikayat Susunan Kuning dalam Negeri Gagelang” (2020).

Di Semarang, memang terdapat petilasan dan sebuah makam yang mengatasnamakan dirinya (di atas makam Bayat lama, bukit Kalibanteng Kulon). Makam itu dihias dengan ornamen khas Tiongkok, lengkap dengan lampion dan dupa.

Sayang sekali lokasi petilasan Sunan Kuning justru dijadikan kawasan lokalisasi prostitusi resmi oleh pemerintah kota dengan nama “Resosialisasi Argorejo” yang sudah eksis sejak 1966. Ditandai lewat SK Wali Kota Semarang No. 21/15/17/66.

Praktik ini memicu kontroversi karena status lokalisasi Sunan Kuning lebih beken dibanding nama resmi Resosialisasi Argorejo. Berbagai pihak mengecam sebab dianggap melecehkan nilai sejarah sosok Sunan Kuning sebagai pejuang anti-kolonial.

Baca juga artikel terkait GEGER PACINAN atau tulisan lainnya dari Abi Mu'ammar Dzikri

tirto.id - Mozaik
Kontributor: Abi Mu'ammar Dzikri
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Irfan Teguh Pribadi