tirto.id - Bila pernah mendengar lagu "Buruh Tani"--judul aslinya "Pembebasan"--atau menyimak lagu "Darah Juang", Anda pasti pernah mendengar versi band punk asal Jakarta, Marjinal membawakan kedua lagu itu.
Meskipun lagu "Pembebasan" diciptakan oleh Safi'i Kemamang dan "Darah Juang" diciptakan Johnsony Marhasak Lumbantobing atau John Tobing, tapi kedua lagu itu kerap dibawakan Marjinal dalam beberapa kesempatan.
Lagu-lagu itu, selain dipopulerkan oleh Marjinal, juga kerap nyaris bergema hampir setiap demo buruh dan mahasiswa, baik berskala kecil maupun berskala besar. Dalam demonstrasi tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja pada 6 Oktober lalu misalnya, lagu "Pembebasan" kembali bergema dan turut membakar semangat ribuan peserta demo buruh.
Tidak hanya buruh, lagu "Pembebasan" juga dilantangkan kembali oleh para mahasiswa yang menentang disahkannya Omnibus Law Cipta Kerja oleh Pemerintahan Jokowi dan DPR pada 7 Oktober lalu.
"Buruh, tani, mahasiswa, kaum miskin kota. Bersatu padu rebut demokrasi. Gegap gempita dalam satu suara. Demi tugas suci yang mulia," teriak para mahasiswa.
Sementara lagu "Darah Juang" juga pernah bergema dalam demo #GejayanMemanggil pada 23 September 2019 lalu di Gejayan, Sleman, Yogyakarta. Mereka menuntut sejumlah hal, seperti menolak UU KPK yang baru disahkan, RUU KHUP, RUU Agraria, RUU Ketenagakerjaan, persoalan kerusakan lingkungan dan kriminalisasi aktivis.
"Mereka dirampas haknya Tergusur dan lapar bunda relakan darah juang kami tuk membebaskan rakyat..." nyanyian dari peserta aksi.
Lagu Protes Marjinal
Marjinal adalah band punk asal Jakarta yang berdiri sejak tahun 1997. Dalam karyanya, grup yang berada di Komunitas Taring Babi ini banyak menyoroti persoalan sosial, politik, hukum dan ketidakadilan, serta kerap menyuarakan warga yang terpinggirkan.
Karya-karya Marjinal, sebagaimana membawa semangat musik punk, sangat identik dengan lagu-lagu protes. Salah satunya berjudul "Negri Ngeri". Dalam lagu itu, Marjinal mencoba memotret berbagai masalah di Indonesia melalui kaca mata berbeda, seperti negara yang subur dan kaya, tetapi tidak bisa dinikmati oleh seluruh manusia yang tinggal di dalamnya.
Dalam "Negri Ngeri", Marjinal juga memotret tentang sisi kelam negeri ini seperti masifnya angka pengangguran, merebaknya kemiskinan serta tergusurnya pedagang kaki lima hingga anak-anak kecil yang melangsungkan mimpinya di jalanan.
"Inilah negeri kita. Alamnya kelam tiada berbintang. Dari derita dan derita menderita," demikian bunyi potongan liriknya.
Selain masalah-masalah di atas, Marjinal juga pernah menyoroti tentang masalah hukum dalam lagu "Hukum Rimba", yang mereka sebut sebagai "permainan tuk menjaga kekuasaan".
Melalui lagu itu, Marjinal berbicara soal hukum yang tidak berpihak pada keadilan itu sendiri. "Hukum adalah lembah hitam. Tak mencerminkan keadilan. Pengacara juri hakim jaksa. Masih ternilai dengan angka."
Dalam konteks itu, Marjinal menyatakan bahwa hukum sudah dikuasai oleh segelintir orang yang memiliki uang. Sebab, "maling-maling kecil" justru dihakimi, sementara "maling-maling besar" justru mendapatkan perlindungan.
"Hukum adalah komoditas. Barangnya para tersangka. Ada uang kau kan dimenangkan. Tak ada uang you say good bye," demikian potongan liriknya.
Selain itu, mereka juga pernah menulis soal "Marsinah", yakni tentang seorang buruh perempuan yang tewas akibat memperjuangkan hak-hak perempuan dan kaum pekerja yang termarjinalkan.
Editor: Agung DH