tirto.id - "Buruh, tani, mahasiswa, kaum miskin kota. Bersatu padu rebut demokrasi. Gegap gempita dalam satu suara. Demi tugas suci yang mulia."
Begitu teriak lantang para buruh dalam demonstrasi tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja pada 6 Oktober saat menyanyikan lagu "Buruh Tani" (versi aslinya berjudul "Pembebasan"), yang diciptakan Safi'i Kemamang dan dipopulerkan oleh band punk Marjinal. Lagu itu turut membakar semangat ribuan peserta demo.
Tidak hanya buruh, lagu "Pembebasan" juga bergema saat dilantangkan kembali oleh para mahasiswa yang menentang disahkannya Omnibus Law Cipta Kerja oleh Pemerintahan Jokowi dan DPR pada 7 Oktober 2020 lalu.
Secara sekilas, lirik lagu itu membicarakan tentang segenap harapan buruh, petani, mahasiswa serta kaum miskin kota yang menginginkan adanya sistem demokrasi di Indonesia. Di mana mereka bisa bebas menyampaikan gagasan dan kritik tanpa adanya intimidasi, bahkan penangkapan.
Kala itu, tepat di saat lagu ini dibuat pada pertengahan 1990-an, Indonesia memang masih tabu terhadap kebebasan berekpresi, bahkan berada dalam masa-masa gelap "pembungkaman" atas ketidakadilan yang dilakukan Orde Baru.
Soeharto, sebagaimana ikon serta pemimpin rezim Orde Baru, memang telah lengser sekitar 22 tahun lalu. Tapi, dengan bergemanya kembali lagu "Pembebasan", ditambah sikap mahasiswa dan berbagai kalangan masyarakat yang memilih turun ke jalan untuk menolak disahkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020 lalu, menandakan sebuah sinyal bahwa keadaan memang sedang tidak baik-baik saja.
"Pembebasan" adalah lagu protes yang secara organik lahir dari sistem ketidakadilan penguasa. Sebagaimana diutarakan oleh Jamie Atkins, penulis musik yang berbasis di London mengatakan, lagu-lagu protes terbaik tidak hanya berbicara tentang masalah di zaman mereka, tetapi melampaui apa yang terjadi di eranya, bahkan menjadi ekspresi politik yang abadi. Itulah alasan mengapa lagu protes selalu bergema dari zaman ke zaman, meski sudah dibikin beberapa dekade sebelumnya.
Dalam sejarahnya, lagu "Pembebasan" memang benar-benar lahir dari sebuah kejadian yang dialami sendiri oleh penciptanya. Tak heran jika lagu ini tidak lekang oleh zaman. Dan suaranya terus bergerak sampai jauh, bahkan mampu ditangkap oleh generasi-generasi yang jauh setelahnya.
Ia tidak hanya berfungsi sebagai penggerak dasar nurani untuk melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan, tetapi juga sebagai potret zaman. Pendengar seolah diajak ke zaman pergolakan di mana bangsa ini pernah menjadi saksi bahwa demokrasi tidak hanya diperoleh atas kebaikan orang lain, melainkan harus direbut kembali oleh rakyat.
Bagaimana Sejarah Lagu "Pembebasan"?
Tari Adinda, dalam tulisannya yang dimuat Berdikari Online tahun 2017, menyatakan, lagu itu sebenarnya bukan berjudul "Buruh Tani", tetapi "Pembebasan". Lagu ini aslinya diciptakan oleh Safi'i Kemamang, yang dibuat saat ia bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD) di wilayah Jawa Timur, tetapi masih bergerak secara bawah tanah.
Saat rezim Orde Baru tengah ganas-ganasnya, Safi'i dan kawan-kawannya menyadari bahwa perjuangan mereka butuh penyemangat. Sebab, menurut dia, perjuangan politik tanpa musik akan terasa sangat kering.
Selain itu, Safi'i pun sadar bahwa perlu ada persatuan antara buruh, tani, mahasiswa dan kaum miskin perkotaan dalam melawan Orde Baru. Sebab, kaum inilah yang paling merasakan dan menjadi korban dari segala kebijakan.
Untuk itu, ia berpikir, salah satu instrumen untuk menjaga garis penghubung semangat perlawan mereka adalah syair dan musik. Singkat cerita, terciptalah lagu "Pembebasan" pada tahun 1996 di Surabaya.
Lirik Lagu Pembebasan
Buruh, tani, mahasiswa, kaum miskin kota
Bersatu padu rebut demokrasi
Gegap gempita dalam satu suara
Demi tugas suci yang mulia
Hari-hari esok adalah milik kita
Terbebasnya massa rakyat pekerja
Terciptanya tatanan masyarakat
Demokrasi sepenuhnya
Marilah kawan mari kita kabarkan
Di tangan kita tergenggam arah bangsa
Marilah kawan mari kita nyanyikan
Sebuah lagu tentang pembebasan
Editor: Agung DH