tirto.id - Hassan Shadily tiba di Jepang pada 1944. Karena negara sedang sibuk perang dan Jepang kian terpuruk di Front Pasifik, maka semua perguruan tinggi di Tokyo ditutup, kecuali Akademi Militer Tokyo. Ia pun masuk akademi tersebut.
Sebelumnya, Hassan Shadily sekolah di MOSVIA Magelang, maka tak heran jika ia pernah menjadi amtenar dari tahun 1941 sampai 1944.
Sesudah Jepang kalah dalam Perang Dunia II dan Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan, Hassan Shadily tidak langsung pulang ke tanah air. Ia memilih melanjutkan studi dengan belajar hukum, sejarah ekonomi, dan kebudayaan Jepang di Universitas Kyoto dan Universitas Kekaisaran di Tokyo.
Hassan Shadily baru pulang ke Indonesia pada tahun 1947. Ia kemudian bekerja sebagai wartawan di Trompet Masjarakat dan Pelita Rakjat. Di era revolusi itu, ia pernah ditangkap tentara Belanda dan dijebloskan ke penjara.
Sebagai orang yang belajar di akademi militer, ia pernah sebentar menjadi sekretaris di Mahkamah Tentara dengan pangkat Kapten Tituler. Beberapa profesi lain pernah ia lakoni, di antaranya menjadi importir mobil, pegawai bank, guru bahasa Inggris, dan penyalur batik.
Tahun 1952, Hassa Shadily kuliah ilmu sosial di Universitas Cornell, Ithaca, Amerika Serikat. Ia menerima beasiswa Fulbright bersama Rustandi Kartakusuma. Cornell adalah kampus yang punya reputasi sebagai pencetak Indonesianis. Di kampus itu, dua pertemuan penting terjadi dalam hidupnya. Pertama, bertemu dengan mahasiswi asal Indonesia bernama Julia Madewa yang kemudian menjadi istrinya. Kedua, bertemu dengan John M. Echols (1913-1982)--pengajar bahasa Indonesia di Coenell--yang kelak menjadi mitranya dalam menyusun Kamus Indonesia-Inggris dan Inggris-Indonesia.
Echols, kata Ben Anderson dalam Hidup di Luar Tempurung (2016:39) adalah orang penting yang ”mengembangkan pengajaran bahasa-bahasa Asia Tenggara di Cornell.”
Sambil kuliah mengambil gelar master, Hassan Shadily mulai menyusun Kamus Indonesia-Inggris bersama John M. Echols. Dalam Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984 (1984) disebutkan bahwa Hassan Shadily mendapat masukan sejumlah kata dari para mahasiswa lain dalam proses penyusunan kamus.Pada 1953, Hassan Shadily menikah dengan Julia Madewa yang dihadiri Haji Agus Salim dan resepsinya digelar di rumah John M. Echols. Setelah lulus dari Cornell, Hassan Shadily bekerja di Franklin Books Program dan pernah menjadi Direktur Yayasan Dana Buku Franklin.
Kehadiran kamus karya Hassan Shadily dan John M. Echols sangatlah penting. An Indonesian-English Dictionary mula-mula diterbitan oleh Cornell University Press pada 1961. Lalu menyusul An English-Indonesian Dictionary yang terbit pertama kali pada 1975. Setahun kemudian, kedua buku tersebut diterbitkan oleh Gramedia menjadi Kamus Indonesia-Inggris dan Kamus Inggris-Indonesia.
Menyusun kamus adalah pekerjaan yang sangat panjang. Hal itu disampaikan Hassan Shadily dalam Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984 (1984) yang mengatakan bahwa sebuah kamus yang ia susun memerlukan waktu delapan tahun. Pekerjaannya bahkan belum seutuhnya selesai ketika buku kamus itu diterbitkan. Setelah John M. Echols tutup usia pada 1982, seperti dilansir Antara, Hassan Shadily terus merevisi kamus yang disusunnya bersama Echols dengan bantuan tim dari Cornells.
Selain menyusun kamus, Hassan Shadily juga sempat terlibat dalam penyusunan Ensiklopedia Umum yang bertugas sebagai penyunting. Ia belajar dari cara kerja tim
Encyclopedia Britannica. Tak hanya itu, ia juga menjadi pemimpin redaksi dalam penyusunan 7 jilid Ensiklopedia Indonesia terbitan Ichtiar Baru van Hoeve. Di bidang sosiologi, Hassan Shadily tercatat sebagai pengajar di Universitas Indonesia sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Ia menulis buku Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia (1983). Dalam Sosiologi: Memahami dan Mengkaji Masyarakat (2007:17) karangan Janu Murdiyamoko yang merupakan buku pelajaran sosiologi untuk anak kelas satu SMA disebutkan bahwa, ”buku [Hassan Shadily] merupakan [buku] pelajaran pertama dalam bahasa Indonesia yang memuat bahan-bahan pelajaran sosiologi modern.”Bidang lain yang pernah dikerjakan Hassan Shadily adalah mengelola penerbitan bernama Antarkarya. Ia seperti terdapat dalam Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984 (1984), juga sempat menjadi pemborong musiman dengan dibantu salah satu anaknya yang arsitek.
Meski berasal dari keluarga muslim, riwayat pendidikan formal Hassan Shadily dimulai ketika ia masuk Frobelschool (TK) Kristen yang mengajarkan bahasa Belanda. Kemudian dilanjutkan ke Hollandsch Inlandsche School (HIS) dengan nilai bahasa Belanda yang selalu bagus. Lalu dilajutkan lagi ke Meer Uitgebrid Lager Onderwijs (MULO), dan sekolah pamong praja di MOSVIA sebelum akhirnya kuliah ke luar negeri.Hassan Shadily sempat ingin jadi dokter, tetapi setelah berhitung waktu dan biaya, ia akhirnya memilih MOSVIA yang bisa cepat kerja. Hassan Shadily wafat di Jakarta pada 10 September 2000, tepat hari ini 20 tahun lalu.
Editor: Irfan Teguh Pribadi