Menuju konten utama
28 November 1968

Bagaimana W.J.S. Poerwadarminta Menyusun Kamus-Kamusnya?

Sebuah karya magnum opus lahir dari pekamus yang dulunya diejek bergaji kecil. Bermodal ketekunan dan disiplin metode yang ketat, ia menjadi pekamus ulung hingga mangkat.

Bagaimana W.J.S. Poerwadarminta Menyusun Kamus-Kamusnya?
W.J.S. Poerwadarminta. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Sebagai pekamus ulung, Wilfridus Jozef Sabarija Poerwadarminta dikenal sangat tekun bekerja. Masa pensiun dan usia senja tak menghentikannya berkarya. Medio November 1968, di usianya yang ke-64, ia masih sempat mengumpulkan bahan untuk menyusun sebuah kamus Indonesia-Inggris.

Karena sudah sepuh, Pak Poerwa—panggilan akrabnya—meminta bantuan putri sulungnya untuk mengetik. Ia dan putrinya baru menyelesaikan sekitar seratus lembar ketika tiba-tiba saja Pak Poerwa mengeluh sakit perut. Tak mempan dengan obat biasa, keluarga memutuskan membawanya ke Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta.

Pak Poerwa akhirnya dioperasi. Tetapi, kondisi kesehatannya malah menurun kemudian. Dan pada Kamis Kliwon, 28 November 1968, tepat hari ini 51 tahun lalu, ia akhirnya mangkat. Sehari kemudian Pak Poerwa dimakamkan di pemakaman Kuncen, Yogyakarta.

Itu adalah sebuah pemakaman besar. “Hadir memberikan penghormatan terakhir para pimpinan, dosen, mahasiswa dari UGM, IKIP Sanata Dharma, Undip, Taman Siswa, para sastrawan, ahli-ahli bahasa dan pejabat P dan K, sahabat-sahabat,” tulis Putu Lasminah dalam W.J.S. Purwadarminta: Hasil Karya dan Pengabdiannya (1985: 82).

Profesor linguistik Universitas Cornell John M. Echols menulis obituari untuk Pak Poerwa, “In Memoriam: W.J.S. Poerwadarminta 1904-1968”, yang dimuat di jurnal Indonesia (No. 8, 1969). Echols menyebut, meninggalnya Pak Poerwa adalah suatu kehilangan besar bagi Indonesia dan dunia pendidikannya. “Seorang pekamus dan ahli tata bahasa terkemuka dengan banyak karya ditulis atas namanya” (hlm. 127).

Leksikograf Otodidak

Dalam bukunya, Dari Buku ke Buku (2016), P. Swantoro menyebut bahwa Profesor Piet Josephus Zoetmulder yang seorang sarjana lulusan universitas mengakui Pak Poerwa sebagai “leksikograf terbaik di Indonesia”. Padahal, pekamus kelahiran Yogyakarta, 12 September 1904, itu hanya lulusan Normaalschool Ambarawa—sekolah guru berdurasi empat tahun (hlm. 25).

Setelah lulus sekolah guru pada 1923, ia diterima mengajar di Sekolah Kanisius Kumendaman, Yogyakarta. Di zaman itu menjadi lulusan Normaalschool harus rela dipandang sebelah mata. Mereka sering dibandingkan dengan guru lulusan Kweekschool yang lebih sejahtera. Lulusan Normaalschool digaji 40 gulden sebulan, sedangkan lulusan Kweekschool 75 gulden.

Karenanya, lulusan Normaalschool diejek dengan julukan “sega abang” (nasi merah), berbeda dengan lulusan Kweekschool yang “sega putih” (nasi putih). Dalam obituari “In Memoriam: Leksikograf W.J.S. Poerwadarminta” yang terbit di Kompas (4/12/1968), J. Adisubrata menyebut bahwa ejekan itu bukan hanya soal gaji yang beda, tapi juga soal bahasa pengantar pelajaran mereka yang “beda derajat”.

“[...] hanya karena lulusan Kweekschool itu menerima pendidikan intensip tentang bahasa Belanda jang disekolah itu merupakan bahasa pengantar—berbeda dengan Normaalschool jang menggunakan bahasa Djawa sebagai pengantar,” tulis Adisubrata.

Menurut Swantoro yang juga pernah mewawancarai Pak Poerwa pada 1963, ejekan itulah yang kemudian memacunya belajar bahasa asing. Sambil terus mengajar, ia memasuki berbagai kursus bahasa asing seperti Belanda, Inggris, Perancis, dan Jerman.

Meskipun banyak kursus ia masuki, minatnya saat itu terutama tertuju pada filsafat, bahasa Belanda, dan bahasa Jawa Kuna. Filsafat dan bahasa Belanda dipelajarinya dari Pater van Rijkckevorsel, sedangkan bahasa dan sastra Jawa Kuna kepada Pater L.C. Kock.

“Untuk mempraktekkan bahasa-bahasa yang dipelajarinya W.J.S. Purwadarminta mendapatkan suatu cara, yaitu dengan berbicara melalui para turis (wisatawan asing) yang berkunjung ke kraton Yogyakarta. Ia menjadi guide atau pemandu dan sekaligus menjadi juru bahasa atau penterjemah para turis tersebut,” tulis Putu Lasminah (hlm. 11-12).

Ketekunannya mempelajari bahasa-bahasa itu berbuah manis. Pada 1932 ia mendapat tawaran mengajar bahasa Melayu dari pemerintah Jepang. Jadilah ia kemudian berangkat ke Jepang dan mengajar di Geikokugo Gakko (Sekolah Bahasa Asing) Tokyo, Jepang. Pak Poerwa mengajar sambil mengikuti kuliah ekonomi dan sastra Inggris di Universitas Sophia hingga 1937.

“Selama di Djepang, dipeladjarinja pula bahasa negara itu. Dan ketika Djepang menduduki Indonesia, beliau sumbangkan pengetahuan itu dengan bukunya: Kamus Nippon-Indonesia dan Puntja Bahasa Nippon (1942), buku peladjaran praktis bahasa Djepang,” tulis Adisubrata dalam obituarinya.

Hidup dari Kamus ke Kamus

Kamus bahasa Jepang-Indonesia bukanlah kamus pertama yang disusun Pak Poerwa. Ia sudah menyusun kamus sejak masih mengajar di Kanisius. Kamus-kamus pertamanya menunjukkan minat awalnya kepada bahasa Jawa Kuna.

Seperti dicatat Putu Lasminah, kamus pertama susunan Pak Poerwa adalah Baoesastra Djawa I yang terbit pada 1930. Ia mendapat bantuan dari rekannya, Harjosudarmo dan Pujasudira. Kamus ini diterbitkan oleh Ikatan Triwikrama—sebuah kelompok pegiat bahasa dan sastra Jawa yang dipimpinnya.

Jilid kedua kamus itu terbit pada 1939. Kali ini diterbitkan oleh Penerbit Groningen yang berkantor di Batavia. Sebelum berangkat ke Jepang, ia juga sempat menyusun tiga jilid buku sastra dan tata bahasa Jawa Kuna berjudul Serat Mardi Kawi. Di tengah kesibukannya di Jepang, ia masih pula menjadi salah satu penyusun Baoesastra Walandi-Djawi (kamus Belanda-Jawa) yang terbit di Batavia oleh Penerbit Amsterdam (hlm. 63).

Karya magnum opus-nya tentu saja adalah Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI). Edisi pertamanya terbit pada 1952 oleh Penerbit Balai Pustaka. Menurut Swantoro, penyusunan kamus ini kira-kira dimulai pada 1943. Sekira tujuh tahun dihabiskan untuk mengumpulkan kata-kata dan tiga tahun berikutnya untuk menyusunnya menurut sistem yang ia sebut “sederhana dan praktis” (hlm. 28-29).

Sebagai patokan awal pengumpulan kata-kata, Pak Poerwa mempergunakan novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana yang diterbitkan Balai Pustaka pada 1936. Ia mengumpulkan juga kata-kata yang dipergunakan sebelum tahun 1925 dari sekitar 40 buku yang terbit di tahun yang sama atau sebelumnya.

“Semua kata yang terkumpul, disusun dalam sistem kartu menurut abjad. Setiap kata ditulis pada sehelai kartu, disertai keterangan-keterangan yang sekiranya diperlukan, seperti terdapat di mana saja, apa sajakah artinya, bagaimana penggunaannya. Semua bacaan yang sudah diambil kata-katanya harus disimpan baik-baik, didokumentasikan, sebagai bahan pertanggungjawaban,” terang Swantoro (hlm. 29).

Dalam memilih kata, Pak Poerwa punya suatu pedoman tersendiri. Seperti dicatat Lasminah, setiap kata itu harus sudah dipakai di lima tempat—yaitu Medan, Batavia, Surabaya, Ambon, dan Makassar—dan terdapat dalam lima buku atau majalah serta digunakan oleh lima pengarang berbeda (hlm. 59). Suatu kerja yang rumit. Maka tak heran bahwa ia butuh waktu hingga tujuh tahun untuk proses ini.

Persoalan pelik lainnya adalah memberi arti atau pemerian yang tepat untuk suatu kata. Tentang ini Adisubrata menulis, “Seringkali untuk penjelesaian satu kata sadja diperlukan waktu satu hari.”

Infografik Mozaik WJS Poerwadarminta

Infografik Mozaik W.J.S. Poerwadarminta. tirto.id/Nauval

Bagaimana Pak Poerwa bisa begitu tahan mengerjakan semua proses rumit itu sendirian?

Bekalnya adalah ketekunan dan disiplin metode ditunjang daya ingat yang kuat dan keduanya telah dikenal melekat pada diri Pak Poerwa sejak remaja. Itu diakui sendiri oleh Profesor A. Teeuw yang pernah bekerja bersama Pak Poerwa menyusun kamus Indonesia-Belanda.

“Impresi pertama saya tentang sosok Poerwadarminta adalah daya ingatnya yang luar biasa. Disiapkannya kartu-kartu indeks ekstensif yang digunakan untuk kamus dan Poerwadarminta bersetia dengan ketat pada disiplin ilmiah ala Barat ini. Sering pula, saat mendiskusikan kata-kata yang artinya tak sepenuhnya terang, dia akan tiba-tiba bangkit dari mejanya, berjalan ke rak buku dan mengambil beberapa buku atau terbitan berkala, lalu menekuni halaman-halaman tempat kata itu tertera beserta konteks yang memperjelas interpretasinya,” tulis A. Teeuw dalam surat kenangannya kepada istri Pak Poerwa, Agnes Sukirah, seperti dikutip Putu Lasminah (hlm. 87).

Profesor Teeuw sendiri menyanjung KUBI sebagai karya yang “datang di saat yang tepat di awal sejarah leksikografi bahasa Indonesia, dan unggul dalam pilihan contoh-contoh penggunaan kata-katanya”. Sementara itu, ahli linguistik Harimurti Kridalaksana menyebut, “tampaknya semua pekerjaan perkamusan bahasa Indonesia pada masa-masa yang akan datang harus mempergunakan kamus itu sebagai landasan”.

Meskipun begitu Pak Poerwa menganggap KUBI bukanlah karya yang sempurna. Menurutnya, sebagaimana lazimnya kamus, ia selalu terlambat lima tahun. Karena itu, usai edisi pertama KUBI terbit, ia masih harus memperbaikinya selang sepuluh atau 15 tahun (hlm. 58-59).

Begitulah Pak Poerwa yang tekun. Tak heran jika kemudian ahli-ahli bahasa setelahnya banyak menjulukinya sebagai Bapak Perkamusan Indonesia. Sifat tekun itulah yang agaknya membuat ia tak berhenti berkarya hingga menjelang mangkatnya.

Putu Lasminah mencatat, kepada seorang Romo yang datang untuk mendoakannya, Pak Poerwa masih sempat memberi pesan bahwa ia telah menyelesaikan perhitungan nilai murid-muridnya. Juga tentang rencananya membuat suatu standarisasi bahasa Indonesia berdasarkan kamusnya sendiri dan memperbaiki terjemahan doa-doa Misa Suci (hlm. 80-81).

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 21 April 2018 dengan judul "W.J.S. Poerwadarminta dan Kamus-Kamusnya". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait KAMUS INDONESIA atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan