Menuju konten utama

Kisah Gus Dur Mencabut Larangan Imlek Tahun Baru Cina

Berikut kisah Gus Dur membebaskan perayaan Tahun Baru Cina atau Imlek di Indonesia. 

Kisah Gus Dur Mencabut Larangan Imlek Tahun Baru Cina
ilustrasi al ilmu gus dur. tirto.id/Quita

tirto.id - Sebentar lagi, warga keturunan Tionghoa akan merayakan Imlek atau Tahun Baru Cina, tepatnya pada hari Selasa, 1 Februari 2022. Perayaan Imlek adalah salah satu momen terpenting di Tiongkok dan acara besar di beberapa negara Asia Timur lainnya, termasuk di Indonesia.

Bagaimana sejarahnya?

Di zaman Orde Baru, tepatnya saat Presiden ke-2 Soeharto berkuasa, perayaan Imlek di Indonesia sempat mendapat pelarangan dari pemerintah. Hal itu membuat warga keturunan tidak bisa dengan bebas merayakannya, bahkan mesti sembunyi-sembunyi. Larangan itu tertuang dalam Inpres Nomor 14 Tahun 1967.

Baru ketika Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjadi presiden larangan itu tidak berlaku lagi. Ia pun langsung mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 karena membatasi perkembangan agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina.

Sebagai gantinya, Hendra Kurniawan dalam buku Kepingan Narasi Tionghoa Indonesia: The Untold Histories (2020: hlm 58) menuliskan, Gus Dur membuat payung hukum dengan menerbitkan Keppres Nomor 6 Tahun 2000.

Sontak, kebijakan itu tidak hanya disambut baik, tetapi menjadi cahaya yang menerangi warga keturunan yang selama itu sering mendapatkan perlakuan rasialis, diskriminatif, dan anti-Tionghoa.

Sebagaimana diberitakan Liputan 6 pada 28 Januari 2001, saat itu Gus Dur amat menentang perlakuan diskriminatif seperti yang dilakukan pemerintah Orde Baru terhadap keturunan Tionghoa di Indonesia.

Infografik Mozaik Sejarah Imlek

Infografik Mozaik Pasang-Surut Imlek di Indonesia. tirto.id/Nauval

Pernyataan tentang itu Gus Dur sampaikan saat berpidato dalam peringatan Imlek 2.552 yang dilaksanakan oleh Majelis Tinggi Agama Kong Hu Chu Indonesia di Senayan, Minggu, 28 Januari 2001.

Dalam kesempatan itu, Gus Dur sempat mengaku bahwa leluhurnya adalah keturunan Tam Kim Han dari Cina. Oleh sebab itu, pemerintah tidak lagi memakai istilah warga keturunan atau bukan.

Gus Dur juga mengatakan bahwa warga Tionghoa sudah bisa bebas menggunakan nama asli mereka, sesuatu yang sempat dilarang pada zaman Orde Baru.

Sebagaimana ditulis Lan fang dalam buku Imlek Tanpa Gusdur (2012: hlm 37), sebagai orang keturunan Tionghoa, ia mengaku kaget atas perubahan kebijakan itu, terlebih kala Gus Dur menjadi presiden.

Sebab, perayaan Imlek yang selama itu harus dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi kini bisa digelar secara meriah, bahkan sampai ditetapkan sebagai hari libur nasional.

Ia yang sudah terbiasa terbungkam selama berpuluh-puluh tahun sempat tidak siap dengan kebahagiaan sebesar itu, terlebih saat melihat iringan barongsai di jalan-jalan secara nyata. Sebab, sejak kecil, barongsai hanya bisa ia saksikan di film-film silat.

Menurut dia, apa yang dilakukan Gus Dur tidak hanya menghadirkan barongsai ke tengah-tengah masyarakat Indonesia, tetapi sangat berarti bagi bangsa dan negara. Meskipun hanya menjadi presiden dalam waktu singkat, tetapi apa yang dilakukan Gus Dur akan terus dikenang sampai saat ini.

Baca juga artikel terkait GUS DUR atau tulisan lainnya dari Alexander Haryanto

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Iswara N Raditya