tirto.id - Tahun Baru Cina atau Imlek pada tahun ini digelar pada hari Selasa, 1 Februari 2022. Imlek adalah salah satu momen terpenting di Tiongkok dan acara besar di beberapa negara Asia Timur lainnya, termasuk di Indonesia.
Di masa lalu, perayaan Imlek di Indonesia sempat mendapat pelarangan dari pemerintah Orde Baru sehingga membuat masyarakat keturunan tidak bisa bebas merayakannya. Lantas, seperti apa sejarahnya?
Seperti tertuang dalam buku Imlek dan Budaya Cina di Indonesia (2019:hlm 17) yang disusun Pusat Data dan Analisa Tempo, kala itu, membawakan atraksi kesenian berbau budaya Cina bisa dituduh subversif. Bukan hanya di ruang publik, di lingkungan sendiri pun dipersulit, terlebih untuk menggelar upacara adat.
Salah satu penyebab dari semua itu adalah Inpres Nomor 14 Tahun 1967 karena mengekang kebebasan warga keturunan Cina.
Menurut akademisi sekaligus keturunan Tionghoa, Arief Budiman, penyebab pemerintah Orde Baru membuat peraturan itu adalah rivalitas antara Angkatan Darat dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Saat itu PKI punya hubungan yang sangat kuat dengan Republik Rakyat Cina. Kedekatan itu, kata Arief, membuat Presiden ke-2 Soeharto mengaitkan bahkan mengidentikkan komunis dengan Cina. Pada kenyataannya, itu adalah dua hal yang berbeda.
Walaupun Inpres Nomor 14 Tahun 1967 masih memperbolehkan pesta agama dan adat, asal tidak mencolok dan digelar di lingkungan intern, pada kenyataannya, aparat kantor sosial sering punya tafsir sendiri.
Sebab, berdasarkan pengalaman sutradara teater N. Riantiarno yang hendak mementaskan Sampek Engtay pada tahun 1988 di Jakarta, ia nyaris dilarang badan intel. Padahal, kata Riantiarno, yang ingin ia tampilkan adalah drama percintaan bukan cerita politik.
Walaupun mendapat izin untuk mementaskan itu, tetapi ada syarat yang tidak boleh langgar, yakni tidak boleh ada huruf Cina, tak boleh membakar hio, dan yang terakhir, liong (naga) hanya boleh ditaruh di dalam gedung.
Sedangkan di Medan, polisi melarang pentas itu dengan alasan belum mendapat izin dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat. Padahal, panitia pementasan sudah mengantongi sepuluh izin dari instansi lain dan sudah selesai.
Departemen Penerangan kala itu juga turut melarang penayangan orang sembahyang di kelenteng, aksi barongsai atau penggunaan bahasa Cina di layar Cina. Akan tetapi, menurut Ishadi S.K., eks Direktur Jenderal RTF (Radio, Televisi dan Film) isu yang berkembang saat itu adalah pemikiran dogmat satu arah.
"Pelarangan itu dimaksudkan untuk mendorong orang-orang Cina di sini melupakan budaya mereka agar mereka mudah masuk dan beradaptasi dengan budaya kita," kata Ishadi.
Hendra Kurniawan dalam buku Kepingan Narasi Tionghoa Indonesia: The Untold Histories (2020: hlm 58) menuliskan, larangan ini dicabut setelah Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjadi presiden.
Sikap yang ia lakukan untuk warga Tionghoa adalah mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967. Menurut Gus Dur, Inpres itu membatasi perkembangan agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina.
Sebagai gantinya, Gus Dur menerbitkan Keppres Nomor 6 Tahun 2000. Aturan itu menjadi pelindung bagi warga Tionghoa yang kenyang mendapatkan sikap rasialis, diskriminatif, dan anti-Tionghoa.
Editor: Iswara N Raditya