tirto.id - Salah satu orang yang menanggapi dingin kematian pemimpin terakhir Uni soviet sebelum bubar, Mikhail Sergeyevich Gorbachev, adalah Presiden Rusia Vladimir Putin.
Ia memang menyampaikan pernyataan belasungkawa, tapi terasa dingin. Isinya disusun hati-hati tanpa mengandung kata sifat bermakna positif—sebatas deskripsi kaku tentang Gorbachev, yaitu seorang “politisi dan negarawan yang memberikan dampak besar pada jalannya sejarah dunia.”
Putin juga memutuskan tidak menyelenggarakan hari berkabung nasional sebagaimana saat Presiden ke-1 Federasi Rusia Boris Yeltsin meninggal dunia pada 2007 lalu. Ia bahkan tidak hadir pada pemakaman Gorbachev dengan alasan sibuk—meskipun beberapa hari sebelumnya dikabarkan sudah meletakkan setangkai mawar merah di samping peti jenazah di rumah sakit.
Sentimen kekecewaan terhadap Gorbachev yang dipupuk sekian dekade bisa menjelaskan sikap dingin pemimpin Rusia sekarang.
Bagi banyak pihak, Gorbachev adalah biang keladi keruntuhan Uni Soviet pada 1991 berikut karut-marut politik dan ekonomi yang menyertainya sepanjang dekade tersebut. Sementara Putin terang-terangan menganggap perpecahan Uni Soviet sebagai “malapetaka geopolitik terbesar pada abad [ke-20] ini.”
Gorbachev Melawan Putin
Di samping apa yang terjadi di masa lalu, ketidaksenangan Putin juga mustahil dipisahkan dari kritik-kritik Gorbachev terhadapnya selama ini.
Pada 2007 atau di akhir periode kedua Putin sebagai presiden, Gorbachev pernah menyatakan prihatin terhadap pemerintah karena tidak selalu tanggap terhadap “perkembangan yang mengganggu dalam hubungan antaretnis dan xenofobia serta intoleransi.”
Dalam artikel opini di New York Times tersebut, Gorbachev juga mengkritik otoritas yang belum maksimal mengatasi kejahatan terorganisir dan pembunuhan terhadap jurnalis (setidaknya 31 jurnalis Rusia meninggal dunia—sebagian karena dibunuh—selama dua periode pertama pemerintahan Putin).
Kritik lain disampaikan lebih keras pada 2016 dalam artikel di Timeyang diadaptasi dari naskah buku Gorbachev, The New Russia. Di situ Gorbachev menyayangkan keputusan Putin mencalonkan diri lagi sebagai presiden untuk kali ketiga pada 2012. Menurutnya hal tersebut adalah sebuah “kesalahan”.
“Saya pernah mengkritik Putin karena kesombongannya. Saya menghormati dia sebagai pemimpin politik dan sebagai seorang manusia, namun saya yakin bahwa kebijakannya sekarang menghambat kemajuan,” ujar Gorbachev.
Gorbachev percaya bahkan sejak sepanjang dekade pertama abad ke-21 pemerintahan Putin telah menciptakan semacam “ilusi tentang stabilitas dan kemakmuran.” Dikatakan demikian karena menurutnya pada masa itu justru sumber daya alam Rusia disia-siakan.
Pemerintahan Putin, menurutnya, dibangun dari berbagai unsur bermasalah: “Tipu muslihat, penyalahgunaan sumber daya administrasi negara, dan undang-undang munafik yang membuat perubahan rezim mustahil dilakukan.”
Oleh karena itu, menurutnya, rakyat Rusia perlu presiden yang kuat dan bisa dipercaya, namun figur tersebut “bukanlah Führer, bukan juga Stalin.”
Setahun kemudian, Gorbachev kembali menulis untuk Time. Bedanya, artikel kali ini dibuka dengan “halus”. Ia memuji Putin yang menurutnya “berhasil menstabilkan situasi [krisis], mempertahankan negara Rusia, dan memperkuat kedudukan ekonominya.” Menurut Gorbachev, unsur-unsur otoriter dalam pemerintahan Putin selama ini adalah “semacam kontrol manual—yang bisa dijustifikasi.”
Tentu saja ada harga yang tetap harus dibayar untuk itu semua, Gorbachev menuturkan. Dari mulai parlemen yang kekuatannya dikerdilkan sampai berkurangnya kemerdekaan pers, kehidupan masyarakat sipil, dan proses hukum.
Gorbachev meyakini sistem pemerintahan yang lebih demokratis adalah resep utama untuk kemajuan bangsa. Dan Rusia, menurutnya, dapat melakukan itu.
“Saya yakin, Rusia bisa sukses melalui demokrasi. Rusia siap untuk menjalankan kompetisi politik, sistem multipartai yang sesungguhnya, dan rotasi rutin dalam pemerintahan. Itulah yang seharusnya jadi peran dan tanggung jawab presiden.”
Meskipun gencar melayangkan kritik, ada satu pandangan Gorbachev yang sama dengan rezim, yaitu terkait aneksasi Semenanjung Krimea pada 2014. Saat diwawancarai oleh media Inggris Sunday Times dua tahun kemudian, Gorbachev mengaku akan melakukan hal sama seperti Putin.
Menurut dia, aneksasi tersebut selaras dengan penghargaan terhadap prinsip kebebasan yang di dalamnya termasuk keputusan sebuah masyarakat tentang masa depannya sendiri. Dalam hal ini apa yang dilakukan Putin adalah mengakomodasi keinginan banyak warga Krimea yang memang bersedia gabung dengan Rusia—tercermin dari hasil referendum.
Pandangan Gorbachev di atas tentu problematis dan kontradiktif dengan sikapnya sendiri. Ia selama ini dikenal sebagai orang yang menyayangkan perpecahan negara-negara Uni Soviet—yang tentu saja dulu merdeka karena kehendak bebasnya juga. Sampai tahun 2011 atau dua dekade setelah Soviet bubar, Gorbachev masih mengaku menyesalinya.
Sebagai tanggapan atas sikap pro-Kremlin tersebut, otoritas Ukraina pun memasukkan Gorbachev dalam daftar hitam orang-orang yang dilarang masuk.
Lalu bagaimana dengan sikap Gorbachev terhadap isu terkini, yaitu invasi ke Ukraina?
Paling maksimal adalah seruan agar “operasi militer Rusia di Ukraina” segera diakhiri. Hal ini disampaikan melalui Gorbachev Foundation,think tank untuk riset politik, sosial, dan ekonomi yang didirikan Gorbachev tiga dekade silam
Publik Ukraina merasa hal tersebut jauh dari cukup. Mereka kecewa karena Gorbachev tidak terang-terangan mengutuk perang yang Putin layangkan ke Ukraina awal tahun ini
Alih-alih figur yang membantu mereka meraih kemerdekaan, publik Ukraina masih menilai Gorbachev sebagai seorang “imperialis”.
Selain Ukraina, eks-negara Soviet yang mengenang buruk Gorbachev adalah mereka yang gerakan kemerdekaannya pernah dilindas oleh aparat militer Soviet ketika Gorbachev berkuasa, seperti Lithuania, Georgia, dan Latvia.
Editor: Rio Apinino