Menuju konten utama

Ketika Vladimir Putin Gagal Memahami Sejarah

Melalui esai berjudul On the Historical Unity of Russians and Ukrainians, Vladimir Putin menganggap Ukraina milik Rusia.

Ketika Vladimir Putin Gagal Memahami Sejarah
Ukraina. foto/istockphoto

tirto.id - Pada 12 Juli 2021 lalu, dalam esai berjudul "On the Historical Unity of Russians and Ukrainians," Vladimir Putin menganggap masyarakat yang kini mendiami Rusia, Ukraina, dan Belarusia sebagai satu kesatuan utuh, keturunan langsung dari orang-orang yang, ribuan tahun lalu, mendiami Ancient Rus (Kievan Rus)--salah satu negara terbesar di Eropa.

Dipimpin oleh St. Vladimir, orang-orang Kievan Rus tersebut bersatu, selain karena kesamaan suku budaya (Slav), atas dasar ekonomi serta kesamaan agama (Kristen Ortodok) dan bahasa.

Masyarakat yang kini terpisah melalui batas-batas teritori tiga negara itu hidup makmur bersama dan berikrar, mengucap sumpah atas nama Oleg the Prophet (Oleg of Novgorod), untuk menjadikan Kiev--pusat Kievan Rus--sebagai "ibu dari semua kota", pusat negara yang harus dijaga bersama-sama dari marabahaya apapun.

Janji itu sayangnya tak bisa mereka tepati karena Kiev dan hampir semua wilayah Kievan Rus, berhasil ditaklukan ketika cucu Genghis Khan, Batu, menginvasi Kiev.

Mereka yang tercerai berai lantas membentuk negara-kota baru yang, perlahan-lahan, melunturkan kesamaan yang dimiliki hingga akhirnya memunculkan Rusia, Ukraina, dan Belarusia modern saat ini.

Dalam tulisan yang terbit di laman resmi Kremlin (situs down, cache bisa diakses di sini) itu, Putin tak terima dengan fragmentasi/perpecahan yang dialami masyarakat keturunan Kievan Rus ini. Dalam pidato yang disampaikannya pada 21 Februari lalu, mengesampingkan pembicaraan tentang Belarusia, Putin mengelaborasi esainya lebih jauh dengan menyebut Ukraina adalah "negara fiksional" yang sengaja dibentuk oleh Vladimir Lenin, pemimpin revolusi Bolshevik, dalam rangka pembentukan Uni Soviet.

"Ukraina," kata Putin, "merupakan negara ciptaan kami, negara yang seutuhnya dibentuk untuk kepentingan Rusia. "Masalahnya, Lenin (dan Mikhail Gorbachev) salah mengkalkulasi pembentukan Ukraina hingga membuat masyarakat di sana terpikir untuk mendirikan negara sendiri (independen dari Rusia). Rusia dan Ukraina adalah satu kesatuan utuh."

Maka, seakan mengelak dari ketakutannya terhadap ekspansi North Atlantic Treaty Organization (NATO), Putin, yang percaya bahwa ialah satu-satunya sosok yang dapat mengembalikan kejayaan Kievan Rus (atau Uni Soviet), mendeklarasikan diri untuk mengambil-alih kekuasaan Ukraina dengan serangan militer--empat hari selepas pidato disampaikan--atas dasar sejarah. Dasar sejarah yang, seperti alasan Adolf Hitler mengokupasi Sudetenland (wilayah Cekoslowakia, kini wilayah Republik Ceko) pada 1943, gagal dipahami Putin dengan baik.

Ukraina

"Jauh sebelum Kievan Rus terbentuk," tulis Geoffrey Hosking dalam bukunya, Russian History: A Very Short Introduction (2012), "orang-orang Mongol selalu berhasil menanamkan ketakutan dalam diri masyarakat Rus."

Silih berganti, desa-kota yang bertebaran di Eropa Timur yang menjadi tempat masyarakat Rus hidup, diserang untuk ditaklukkan Mongol. Maka, tatkala masyarakat Rus akhirnya sepakat membentuk negara pada abad ke-9, mereka menyerahkan diri pada kekuatan yang--mungkin--dapat membendung serangan Mongol. Raja bangsa Rus, Kievan Great Princes, mengundang bangsa Viking untuk menjadi pemimpin.

"Tanah kami sangat luas dan makmur, tetapi tidak ada pemimpin di sini. Kemarilah (Viking), pimpin dan bimbing kami," catat The Primary Chronicle, semacam kitab asal-usul bangsa Rus yang menjadi rujukan utama Hosking.

Viking, suku bangsa asal Skandinavia (kini Denmark, Norwegia, dan Swedia, bukan yang di Bandung itu) yang terkenal akan keganasannya, menerima undangan tersebut. Tentu, bukan karena Viking ingin gagah-gagahan melindungi bangsa Rus dari serangan Mongol.

Namun, dengan mengendalikan tanah yang dilalui tiga sungai besar (Volkhov, Dvina, dan Dnieper) di Eropa, Viking dapat menjadikannya sebagai jalur perdagangan. Menjadi titik penghubung antara Skandinavia dan Bizantion (Byzantium). Dan untuk menyukseskan niat ini, Viking menunjuk titik paling Selatan wilayah Slavic, sebuah kota bernama Kiev, menjadi ibukota--tempat mereka memerintah bangsa Rus.

Tentu, meminta Viking sebagai pemimpin tak dilakukan bangsa Rus dengan sepenuh hati. Meskipun kekuatan memerintah negara didelegasikan kepada bangsa lain, bangsa Slavic membentuk Mir untuk mengendalikan desa-kota. Tatkala Viking menjadi raja, strategi ini lancar-lancar saja dilakukan. Namun, saat Viking tak lagi memimpin mereka, "raja-raja lokal" atau para keturunan Kievan Great Prince, saling berebut mengambil alih kekuasaan negara. Untunglah, tak ingin melihat perpecahan di antara bangsa Rus, salah satu raja lokal mereka, Pengeran Vladimir, berhasil mempersatukan negara melalui cara klasik: agama.

Infografik Isu Domestik Rusia sebelum invasi

Infografik Isu Domestik Rusia sebelum invasi. tirto.id/Fuad

Membaptis dirinya sebagai penganut Kristen Ortodok atau "Kristen versi Bizantion," Vladimir mendeklarasikan diri sebagai "utusan Tuhan" untuk memimpin Rus. Karena Bizantion akhirnya berpisah dengan kekuatan Roma (Katolik), Vladimir, yang kemudian mati dan digantikan anaknya bernama Iaroslav, memilih membangun Gereja Katedral St. Sophia (Cathedral of St. Shopia) sekaligus membangun Kievan Caves Monastery di Kiev sebagai tempat suci masyarakat Rus beribadah dan menimba ilmu Ortodok.

Melalui tangan Iaroslav pula, untuk pertama kalinya bangsa Rus memiliki undang-undang sendiri, Russkaia Pravda. Dan di titik inilah, sebuah negara Slavic bernama Kievan Rus perlahan-lahan dipanggil dengan nama lain, Rus-ia atau "negara bangsa 'Rus' yang dipimpin 'Ia'-roslav."

Yang menarik, tak ingin mengikuti langkah ayahnya memberikan kekuatan, suksesi kekuasaan, pada anak atau keturunan, Iaroslav memilih menunjuk penerusnya dari kalangan saudara. Saudara pria tertua, titah Iaroslav, akan menjadi penggantinya sebagai raja Rus. Sebuah aturan yang cukup aneh, tetapi, kembali merujuk apa yang dipaparkan Hosking, ini sengaja dilakukan Iaroslav karena menilai bahwa tanah Rus, tanah yang dipimpinnya, sebagai "harta keluarga." Harta yang wajib dibagi-bagikan ke seluruh anggota keluarga, bukan hanya dirasakan anaknya semata.

Naas, tatkala Iaroslav meninggal, keputusannya ini berbuah malapetaka. Adik-kakak Iaroslav, serta anak-anak Iaroslav, saling berebut kekuasaan Kievan Rus. Bahkan, menambah sengketa yang terjadi, masyarakat Kiev kala itu memilih menunjuk Vladimir of Pereiaslavl, salah satu prajurit terbaik Kievan Rus, sebagai pemimpin mereka. Perpecahan dalam masyarakat Rus ini kian parah manakala, pada awal abad ke-13, dicambuk oleh kesuksesan mengambil alih kendali Cina, Mongol tiba untuk menganeksasi Kievan Rus.

Di bawah kekuatan Batu Khan, seperti Viking, Mongol menjadikan Kievan Rus, atau kemudian disebut Golden Horde, sebagai jalur perdagangan. Bukan antara Skandinavia dan Bizantion, tetapi antara Cina dan Eropa Barat. Seketika, Kiev pun diubah Mongol menjadi kota yang makmur. Terlebih, karena Mongol tidak memperdulikan agama yang dianut masyarakat jajahannya, sosio-budaya masyarakat pun bergeliat.

Sebagai catatan: pendapat sejarawan terpecah tentang kondisi masyarakat Kievan Rus di zaman penjajahan Mongol. Sebagai berpendapat kondisi masyarakat memburuk/hancur. Namun, sebagian lain, termasuk Hosking, berpendapat sebaliknya.)

Tentu, meskipun Mongol membawa kemakmuran, sebagian masyarakat Kievan Rus (khususnya yang tinggal jauh dari Kiev) tak terima negaranya dijajah. Maka, dengan semangat ingin menghidar dari pengaruh Mongol, mereka memilih mengasingkan diri dari Kievan Rus, membangun desa-kota baru yang otonom-tak mengikuti aturan main Kiev. Salah satu kota baru itu adalah Novgorod.

Dipimpin salah satu keturunan Kievan Great Princes, Daniil membentuk kota lain, The Grand Principality of Muscovy atau Moscow, lengkap dengan gereja agung Ortodok yang baru. Di titik ini, karena masyarakat Rus yang bermigrasi ke Novgorod dan Moscow mengisolasi dirinya dengan Kiev (Mongol), perlahan-lahan fragmentasi sosio-kultural terbentuk. Di mana, ratusan tahun kemudian, terbentuklah dua negara yang berbeda, Ukraina dan Rusia. Negara yang, merujuk khusus pada Ukraina, disebut Herodotus sebagai "tanah paling makmur di Eropa. Di bagian manapun kalian ingin bercocok tanam, tetumbuhan tumbuh subur di sana."

Anne Applebaum, dalam buku Red Famine: Stalin's War on Ukraine (2017), menyebut bahwa Ukraina kesulitan menjadi negara yang benar-benar otonom hingga akhir abad ke-20. Karena mereka tak memiliki fitur geografis yang benar-benar memisahkan wilayah Ukraina dengan negara lain, Ukraina mudah diserang dari segala penjuru mata angin. Ini sisi negatif yang juga dialami Rusia.

Namun, melalui konsep yang digagas Tsar pertama Rusia, Ivan the Terrible atau Ivan IV Vasilyevich, yang memilih menyerang negara-negara yang berbatasan langsung untuk dianeksasi dan dijadikan bumper atau pelindung serangan, Rusia berhasil menjadi negara modern otonom lebih dulu dibandingkan Ukraina. Menariknya, atas strategi nyeleneh Rusia ini pula, Ukraina dipaksa ikut menjadi bagian Rusia. Membentengi Rusia dari serangan musuh dan, melalui pembentukan Uni Soviet, dilegalisir menjadi wilayah kekuasaan Rusia.

Namun, tulis Applebaum, meskipun sempat menjadi bagian Uni Soviet, "Ukraina adalah bangsa tersendiri, yang memiliki bahasa, kultur, serta mitos dan legenda yang berbeda dibandingkan Rusia."

Ukraina memang ditakdirkan menjalani berbagai aral sebelum merdeka. Tak cuma sempat merasakan menjadi bagian Soviet, Ukraina pernah dikuasai Polandia atau Polish-Lithuanian Commonwealth dan hampir diduduki Turki Usmani. Dan, tatkala berada dalam lingkup Soviet, terjadi upaya-upaya paksa dari Kremlin menjadikan Ukraina seragam dengan Rusia. Bukan dengan akulturasi budaya, tentu saja, tetapi dengan bedil dan kebijakan-kebijakan busuk yang sengaja membuat masyarakat Ukraina kelaparan. Rangkaian kesengsaran ini akhirnya sirna manakala, pada 1991, Ukraina memberanikan diri terbebas dari pengaruh bangsa lain, merdeka.

Maka, pembenaran Vladimir Putih menyerang Ukraina atas nama sejarah hanya bisa dianggap sebagai omong kosong belaka. Andai Putih teguh dengan nalar sejarahnya, ia seharusnya menyerahkan kekuasaan Rusia pada bangsa Viking. Atau, andai nalar ini digunakan secara global, celakalah negara-negara bekas jajahan Inggris, Perancis, Portugal, dan Belanda.

Baca juga artikel terkait UKRAINA atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Politik
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Nuran Wibisono