tirto.id - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo mengklaim poin-poin dalam revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) sebagai pengkhianatan terhadap reformasi. Agus beralasan, pembentukan komisi antirasuah merupakan amanat reformasi pasca tumbangnya orde baru. Apabila UU KPK diubah mengarah kepada upaya melemahkan, DPR berarti melanggar semangat reformasi.
"Apakah berlebihan jika kita menyebut bahwa jika ada upaya melumpuhkan KPK adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanat reformasi? Tentu saja, tidak. Upaya melemahkan, melumpuhkan atau mematikan KPK adalah pengkhianatan terhadap semangat reformasi," kata Agus lewat keterangab tertulis pada Jumat (6/9/2019).
Pengentasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) memang jadi perhatian pasca runtuhnya orde baru. MPR sampai mengeluarkan dua ketetapan untuk itu, pertama Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Kedua, Tap MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN.
Selain itu, pemerintah juga melahirkan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN dan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pasal 43 beleid itu diperintahkan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Akhirnya, komisi antirasuah itu berdiri lewat UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Dalam 17 tahun perjalanannya, KPK berhasil menuntaskan lebih dari 1000 perkara. Tak tanggung-tanggung, 27 menteri berhasil dilempar ke penjara selain itu ada pula 255 kasus yang melibatkan anggota DPR dan DPRD serta 110 perkara yang melibatkan kepala daerah.
"Kasus-kasus tersebut tentu juga terkait ratusan proyek pemerintah dan perizinan. Proyek dengan nilai hingga ratusan Milyar atau bahkan triliunan rupiah dipotong untuk kepentingan sejumlah pejabat yg mereka sebut commitment fee," ujar Agus.
Hari ini pimpinan KPK telah mengirim surat ke Presiden Joko Widodo menyampaikan pendapatnya soal rencana revisi UU KPK. Agus berharap Jokowi masih memegang janjinya akan memperkuat KPK.
Agus juga mengingatkan, penindakan hukum yang konsisten terhadap korupsi merupakan bagian dari kepastian hukum yang bisa mengundang investor. Artinya, ketika presiden berusaha menarik investor dari luar negeri, justru keberadaan KPK makin relevan. Oleh karena itu, Agus menilai, nasib KPK saat ini dan ke depan tergantung Presiden selaku pimpinan.
"Jika Presiden tidak bersedia menyetujui maka RUU tersebut tidak akan pernah jadi UU. Jika Presiden ingin KPK kuat, maka KPK akan kuat," tutur Agus.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Andrian Pratama Taher