Menuju konten utama

KPK: Ketimbang Revisi UU KPK, Sebaiknya Benahi UU Tipikor

KPK memandang, ketimbang merevisi UU KPK, sebaiknya pemerintah dan DPR memperbaiki UU Tipikor.

KPK: Ketimbang Revisi UU KPK, Sebaiknya Benahi UU Tipikor
Sejumlah pegiat menggelar aksi selamatkan KPK di Jakarta, Kamis (5/9/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/ama.

tirto.id - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang menegaskan, tidak ada urgensi untuk merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurutnya, jika DPR dan pemerintah serius memberantas korupsi, yang harus direvisi adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

"Di dalam UU Tipikor kita masih banyak yang belum inline dengan Piagam PBB yang sudah kita ratifikasi," tegas Saut saat berorasi di aksi #SaveKPK yang digelar di lobi Gedung Merah Putih KPK, Jumat (6/9/2019).

Piagam PBB yang dimaksud adalah Konvensi PBB Anti Korupsi tahun 2003 yang sudah diratifikasi pemerintah Indonesia lewat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Beberapa yang belum diakomodir dalam UU Tipikor adalah: korupsi di sektor korporasi, perdagangan pengaruh, memperkaya diri sendiri secara tidak sah, perampasan aset, hingga pelayanan publik.

Dalam Rapat paripurna Kamis (5/9/2019) kemarin, DPR setuju merevisi UU KPK. Revisi ini diusulkan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR. Revisi ini diputuskan tiba-tiba, saat KPK tengah mencari pemimpin baru untuk periode selanjutnya. DPR akan melakukan fit and proper test terhadap 10 kandidat.

Revisi UU KPK justru membuat Indonesia berjalan mundur, kata Saut. Sebab dalam beleid itu ditegaskan, negara yang menandatangani konvensi itu harus membuat badan pemberantasan korupsi yang bebas dari pengaruh manapun.

Sementara dalam rencana revisi UU KPK, KPK tidak disebut lagi sebagai lembaga independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Dalam revisi, KPK diupayakan berada di pada cabang eksekutif alias pemerintahan. Otomatis, pegawai KPK akan dimasukkan dalam kategori Aparatur Sipil Negara.

Ketentuan itu bisa mengganggu independensi pegawai KPK yang menangani kasus korupsi di institusi pemerintahan.

KPK menyatakan penolakannya terhadap rencana revisi UU ini. Rencana itu dianggap membuat KPK berada di ujung tanduk.

Setidaknya ada sembilan implikasi jika revisi terjadi, kata Ketua KPK Agus Rahardjo. Pertama, independensi KPK terancam; kedua, penyadapan dipersulit dan dibatasi; ketiga, pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR yang sarat kepentingan politis; dan keempat, sumber Penyelidik dan Penyidik dibatasi.

Agus menyebut UU KPK yang baru juga membuat penuntutan perkara korupsi harus berdasarkan koordinasi dengan Kejaksaan Agung; perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria; kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas; kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan; dan kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas.

"Pembahasan Revisi UU KPK yang secara diam-diam, menunjukkan DPR dan Pemerintah tidak mau berkonsultasi dengan masyarakat yang diwakilinya," simpul Agus atar rencana ini.

Harapan saat ini ada di pundak Presiden Joko Widodo. Agus berharap, Presiden tidak serta merta menindaklanjuti revisi UU KPK sebelum berkonsultasi dengan KPK, akademikus, dan masyarakat sipil.

Agus masih memegang janji Jokowi yang menyatakan tidak akan melemahkan KPK. Menurutnya, isu pemberantasan korupsi makin krusial di periode kedua kepemimpinan Jokowi yang hendak mengedepankan pembangunan SDM.

Baca juga artikel terkait REVISI UU KPK atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino