Menuju konten utama

Ketua KPK Minta DPR Sahkan RUU Penyadapan & Perampasan Aset

KPK meminta DPR mengesahkan RUU Penyadapan dan RUU Perampasan Aset. Harapan lembaga tersebut dijawab dengan tantangan oleh DPR.

Ketua KPK Minta DPR Sahkan RUU Penyadapan & Perampasan Aset
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri (kiri) bersama Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae (kedua kanan) bersiap mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Ksmia (3/6/2021).ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/foc.

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta Komisi III DPR segera mengesahkan dua rancangan undang-undang yang mandek, yakni RUU Perampasan Aset dan RUU Penyadapan.

Dua beleid ini dinilai penting guna mendukung kinerja pemberantasan korupsi yang dilakoni KPK.

"KPK masih berharap dan terus berharap, mohon dukungan kepada Komisi III DPR terkait 2 rancangan undang-undangan yang sampai hari ini kita tunggu," ujar Ketua KPK Firli Bahuri dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (30/3/2022).

Anggota Komisi III DPR Fraksi Demokrat, Hinca Pandjaitan menagih Standar Operasional Prosedur penyadapan kepada KPK.

"Seharusnya ada SOP yang disampaikan ke kita. Jika ada SOP itu, kita naikan menjadi norma-norma baru di rancangan undang-undang," ujar Hinca dalam kesempatan yang sama.

Hinca juga menantang KPK menentukan target kerja, apabila dua RUU tersebut telah pemerintah dan DPR sahkan.

"Berapa banyak lagi KPK bisa menyelamatkan uang negara? Untuk apa minta itu, kalau tidak ada target tadi," ujar Hinca.

Dikutip dari dpr.go.id, anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengatakan, RUU Penyadapan masih tahap penyempurnaan naskah akademik dan draf. Legislator membuka diri terhadap usulan dan masukkan dari masyarakat termasuk penegak hukum.

Anggota Komisi Hukum DPR lainnya, Supriansyah menyebut sejumlah negara telah memiliki UU Penyadapan, di antaranya Inggris, Prancis dan Amerika. Namun demikian, implementasi penyadapan di negara tersebut berbeda-beda.

Sementara itu, peneliti dari Transparency Internasional Indonesia (TII), Alvin Nicola melihat konsep pemberantasan korupsi di Indonesia cenderung mengikuti tersangka dan tidak menelisik aliran uang.

“Pantauan TII, dari 2014-2018, ada kurang lebih 534 perkara tipikor namun penerapan delik pencucian uang dari UU TPPU di dalam dakwaan penuntut umum hanya 23. Sangat mungkin efek jera yang selama ini diharapkan tidak benar-benar hadir,” ujar Alvin kepada reporter Tirto, Kamis (18/2/2021).

Atas dasar itu, menurutnya, RUU Perampasan Aset memang penting untuk memberikan efek jera dan maksimalisasi pengembalian kerugian negara.

Baca juga artikel terkait KETUA KPK FIRLI BAHURI atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Fahreza Rizky