Menuju konten utama

Upayakan Sita Jaminan Aset Koruptor demi Pemulihan Kerugian Negara

ICW mendorong sita jaminan kepada koruptor untuk meningkatkan pemulihan keuangan negara di kasus korupsi.

Upayakan Sita Jaminan Aset Koruptor demi Pemulihan Kerugian Negara
Pekerja membersihkan logo Komisi Pemberantasan Korupsi di gedung KPK, Jakarta, Senin (5/2/2018). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

tirto.id - Upaya penegakan hukum tindak pidana korupsi masih belum optimal. Lantaran pemulihan kerugian keuangan negara yang tidak maksimal. Indonesia Corruption Watch (ICW) menghimpun data kerugian negara akibat korupsi tidak sebanding dengan jumlah uang pengganti.

Data ICW pada 2017, kerugian keuangan negara akibat korupsi mencapai Rp24,4 triliun, akan tetapi uang penggantinya hanya Rp 1,4 triliun. Pada 2018, kerugian keuangan negara Rp9,2 triliun namun uang pengganti hanya Rp838 miliar.

Pada 2019, kerugian keuangan negara Rp12 triliun. Namun, uang pengganti Rp748 miliar. Tahun 2020 terjadi kesenjangan tinggi, keuangan negara merugi Rp56 triliun, tetapi uang penggantinya hanya Rp19,6 triliun.

Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana menilai hal tersebut disebabkan oleh aparat penegak hukum yang tidak memaksimalkan penggunaan instrumen hukum Pasal 77 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencucian Uang dan Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 199 Jo. UU 20 Tahun 2001 tentang Korupsi.

“Sepanjang 2020 hanya 20 terdakwa yang didakwa dengan UU TPPU. Padahal terdakwanya sampai 1.200 orang,” ujar Kurnia dalam konferensi pers ‘Urgensi Pengaturan Sita Jaminan Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi’ pada Senin (28/3/2022).

ICW mendorong terjadinya perubahan UU Tipikor dan mendukung kehadiran RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal dan RUU Perampasan Aset. Tiga landasan hukum tersebut akan mendukung kerja aparat penegak hukum dalam memulihkan keuangan negara akibat tindak pidana korupsi secara signifikan.

“Kami menawarkan agar hukum perdata diakomodir ke hukum pidana. Goalnya perubahan UU Tipikor atau UU 8/1981. Mengingat proses legislasi yang memakan waktu, bisa juga diatur dalam Perma,” ujar Kurnia.

ICW juga mendorong agar diberlakukannya metode sita jaminan saat proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan atau setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Gunanya untuk menghindari pelaku korupsi mengalihtangankan aset hasil tindak pidana.

“Mengenakan sita jaminan kepada pelaku akan berkontribusi meningkatkan pemulihan keuangan negara,” ujar Kurnia.

Meski demikian, menurut Kurnia, pelaksanaan sita jaminan mesti melalui penetapan persidangan dari pengadilan setempat. Dan terbuka untuk digugat dalam mekanisme praperadilan.

Pakar Hukum Pidana Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan menilai konsep sita jaminan tidak bertentangan dengan prinsip hak asasi kemanusiaan. Sebab, pemilik dalam hal ini terpidana korupsi, masih bisa menguasai dan memanfaatkan barang tersebut. Konsep sita jaminan ini hanya untuk membatasi, agar barang tidak dipindahtangankan oleh terpidana korupsi.

“Kalau kita tidak perkenalkan sita jaminan dalam konteks pelaksanaan Pasal 18 [UU Tipikor]. Kita mengutamakan kepentingan individu, kepentingan tersangka, terdakwa, tapi mengabaikan kepentingan masyarakat luas,” ujar Agustinus dalam kesempatan yang sama.

Menghapus Hukuman Pengganti

Selama ini, ICW juga melihat penerapan subsider atau hukuman pengganti dalam penegakan hukum menjadi kendala dalam pemulihan kerugian keuangan negara. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 18 ayat (3) UU Tipikor misalnya, terpidana koruptor bisa saja tidak membayar denda uang pengganti jika hartanya tidak mencukupi, sebagai gantinya ia akan diberikan tambahan sanksi penjara.

“Karena ada perkara yang uang penggantinya Rp5 miliar tapi dikenakan 6 bulan penjara. Ada yang uang penggantinya ratusan juta tapi penjara pengganti 2-3 tahun. Ini problematik dan mesti diatasi,” ujar Kurnia.

Kasubdit Jamdatun Kerjaksaan Agung, Irene Putrie juga menilai bahwa konsep subsider menjadi tantangan dalam penegakan hukum di Indonesia. Menurutnya, Indonesia perlu mencontoh hukum di Belanda, tidak ada lagi hukuman pengganti dalam penegakan denda.

“Kalau ada pedoman MA dan Peraturan Kejagung, barangkali ini bisa membuat jaksa dan hakim lebih peduli pemulihan aset, ini penting, tidak hanya upaya memenjarakan yang bersangkutan saja,” ujar Irene dalam kesempatan yang sama.

Menurut Hakim Agung Mahkamah Agung, Surya Jaya tantangan lainya ialah kemampuan aparat penegak hukum selaku eksekutor dalam melacak aset-aset terpidana korupsi. Ia juga mendukung penegakan hukum yang tidak melulu berfokus pada pemidanaan penjara.

“Seperti denda dan uang pengganti sebaiknya tidak disubsider dengan penjara. Kita lakukan penyitaan, kita rampas. Kalau belum cukup UP maka diganti penjara tapi ada hak tagih negara,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.

Sementara itu, anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani juga mendaku sempat mengusulkan agar pasal subsider dihapus saja.

“Orang denda Rp25 miliar subsider 6 bulan penjara. Daripada denda, mending pilih penjara. Apalagi kalau sistem Lapas kita masih ada sistem kelas kayak hotel,” ujar Arsul dalam kesempatan yang sama.

Menurut Arsul, setiap terpidana korupsi mesti bertanggung jawab atas kerugian keuangan negara. Koruptor mesti dimiskinkan. Sebab itu ia mesti diberikan kesempatan untuk mencicil denda atau uang pengganti dalam waktu tertentu.

“Perampasan aset juga perlu disosialisasikan, terutama di kalangan parpol. To be honest, ini menakutkan bagi para politisi,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait KASUS KORUPSI atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Maya Saputri