Menuju konten utama

Ketika Putusan MK Menyulut Harapan Baru tentang Upah Layak

Keputusan MK membawa angin segar untuk penetapan UMP 2026. Namun bagaimana formula hitungan yang tepat untuk menentukan kenaikan UMP tahun depan?

Ketika Putusan MK Menyulut Harapan Baru tentang Upah Layak
Sejumlah buruh melakukan aksi di depan Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (28/8/2025). Dalam aksi tersebut mereka menuntut agar RUU Perampasan Aset dan berantas korupsi segera disahkan. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/foc.

tirto.id - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 168 Tahun 2024 menjadi acuan bagi buruh untuk mendesak kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) pada 2026. Tidak muluk-muluk, buruh hanya menginginkan kehidupan yang layak dengan kenaikan gaji yang pantas. Atau setidaknya, tidak menyeret mereka ke dalam jurang kemiskinan.

Sesuai Putusan MK, formula kenaikan UMP harus memperhitungkan tiga komponen: nilai inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu, serta mempertimbangkan pemenuhan Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

Dalam hitung-hitungan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), UMP tahun depan berpotensi naik sekitar 8,5 persen hingga 10,5 persen jika mengacu formula putusan MK, atau lebih tinggi dibandingkan tahun ini yang hanya naik 6,5 persen. Angka kenaikan 8,5 persen itu berasal dari penjumlahan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional sepanjang periode Oktober 2024 hingga September 2025.

Inflasi selama periode Oktober-September 2025 tercatat 3,26 persen, sedangkan pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 5,1 hingga 5,2 persen. Dengan demikian, hasil penjumlahannya mencapai 8,46 persen dan kemudian dibulatkan menjadi 8,5 persen.

Formulasi tersebut, menjadi dasar bagi Presiden KSPI dan Partai Buruh, Said Iqbal, untuk mendesak pemerintah agar mengakomodir kenaikan UMP 2026 sebesar 8,5 persen. Menurut Said, ini sebagai bentuk perjuangan untuk memulihkan daya beli dan menjamin kesejahteraan pekerja.

“Kita realistis. Buruh juga memperhitungkan kondisi ekonomi nasional. Jadi, tidak ada alasan untuk mengatakan usulan ini berlebihan,” tegas Said Iqbal, dalam keterangannya dikutip Rabu (15/10/2025).

Said Iqbal menjelaskan alasan mengapa kisaran usulan UMP bisa mencapai batas atas 10,5 persen. Menurutnya, angka tersebut merepresentasikan daerah-daerah dengan pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata nasional. "Tapi ada provinsi seperti Maluku Utara yang pertumbuhannya mencapai di atas 20 persen. Maka indeks tertentu kami gunakan 1,4. Dari situ ketemu angka 10,5 persen,” ungkapnya.

Ia menekankan bahwa kenaikan upah bukan semata-mata soal angka, tetapi merupakan strategi untuk menggerakkan perekonomian nasional melalui peningkatan daya beli masyarakat. Ia lantas menyoroti bahwa pada Agustus 2025 lalu terjadi deflasi, yang menunjukkan melemahnya konsumsi rumah tangga.

“Kami tetap mengusulkan kenaikan 8,5 sampai 10,5 persen. Tapi bila pemerintah memutuskan sepihak tanpa dialog yang bermakna dengan buruh, kami akan mengorganisir pemogokan besar-besaran di seluruh Indonesia,” tegasnya.

Pengamat dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI), Ronny P Sasmita, sejatinya mendukung bahwasanya kenaikan UMP memang harus mengacu pada Putusan MK yang memperhatikan pengembalian prinsip kebijakan upah yang lebih kontekstual dan pro-KHL.

Artinya pemerintah tidak boleh asal 'ketuk palu' tanpa mempertimbangkan inflasi riil, laju pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional, serta kebutuhan makanan, pendidikan, transportasi, rekreasi, dan lainnya.

"Ketika menetapkan UMP, dalam hemat saya, putusan ini akan membuka ruang bagi kebijakan pengupahan yang lebih adil, memperhatikan daya beli riil pekerja, dan lebih adaptif terhadap kondisi ekonomi riil tiap daerah, selama formulasi baru disusun transparan, berbasis data, dan berdasarkan konsensus, pemerintah bersama serikat pekerja dan pengusaha," kata Ronny saat dihubungi Tirto, Rabu (15/10/2025).

Bagaimana Hitungan Ideal untuk UMP 2026?

Namun tidak bermaksud mengesampingkan tuntutan buruh, Ronny menegaskan bahwa ideal penetapan UMP seharusnya tetap mengacu pada asumsi dasar pada data makro, seperti inflasi tahunan, pertumbuhan ekonomi, dan kompensasi KHL atau penyesuaian regional. Itu sebabnya, desakan kenaikan UMP sebesar 8,5-10 persen diharapkan tidak hanya berupa desakan semata, namun harus mewakili dua kepentingan, buruh dan para pengusaha.

"Kisaran kenaikan ideal nasional yang seimbang antara keadilan pekerja dan kemampuan dunia usaha adalah sekitar 5-6,5 persen secara nasional. Tapi itu ideal minimal. Ambang batas bawah 5 (persen), agar ada selisih agak lebar dibanding inflasi tahunan, sementara ke atasnya bisa lebih dari 6,5 (persen)," ungkapnya.

Angka dari serikat buruh harus dihargai, tetapi untuk hasil akhir memerlukan banyak negosiasi. Karena bagaimanapun, ujungnya tetap harus sejalan dengan kemampuan dunia usaha, khususnya usaha padat karya.

Dari sisi pekerja, tuntutan 8,5–10 persen tentu sangat bisa dibenarkan secara politik-sosial jika KHL dan kenaikan harga komponen penting, seperti makanan, transportasi, pendidikan memang meningkat, atau setidaknya jika pertumbuhan di wilayah tertentu sangat tinggi sehingga ada ruang redistribusi upah.

Namun dari sisi kemampuan dunia usaha (terutama padat karya/SME/eksportir sensitif harga), kenaikan 8,5–10 persen secara serentak berisiko menekan margin perusahaan padat karya, mendorong peningkatan biaya (upah, biaya produksi), dan berpotensi memicu relokasi atau pengurangan tenaga kerja jika tidak diimbangi produktivitas dan insentif.

Meski angka 8,5–10 persen tentu terbilang realistis di beberapa daerah dengan kondisi ekonomi kuat, namun desakan ini dianggap kurang memikirkan paket pendukung seperti fiskal atau insentif, bantuan likuiditas untuk SME (small and medium enterprises/UKM), atau mekanisme penyesuaian bertahap.

Karena dalam jangka pendek (1-2 bulan) daya beli akan meningkat, terutama bagi pekerja upah rendah akan mendorong konsumsi domestik. Namun, hal mengerikan lainnya akan mengikuti, seperti adanya tekanan inflasi biaya karena kenaikan upah meningkatkan biaya produksi atau harga jasa. Besarnya tergantung konteks, seperti proporsi upah terhadap total biaya. Bahkan, untuk sektor padat karya tekanan harga bisa sangat terasa.

"Secara makro, jika kenaikan gaji diikuti kenaikan supply barang yang memadai, biasanya kenaikan inflasi bisa moderat. Ada juga risiko penyesuaian tenaga kerja, seperti pengurangan jam, reduksi tenaga kerja, automasi pada bisnis yang marginnya tipis," ujarnya.

Untuk jangka menengah, daya saing industri, terutama padat karya pun bisa terganggu. Bahkan dapat memicu relokasi investasi ke daerah ber-upah rendah "Intinya, kenaikan yang terlalu tinggi bisa meningkatkan daya beli tapi membawa risiko inflasi dan tekanan bagi dunia usaha, karenanya perlu dikombinasikan kebijakan penopang," bebernya.

Formulasi UMP Harus Fleksibel dan Berbasis Data

Ronny pun memberikan siasat yang dapat didekati dengan kebijakan yang dikombinasikan dengan beberapa hal. Pertama, formulasi UMP fleksibel dan berbasis data. Lagkah ini bisa menggunakan rumus yang biasa seperti kompensasi inflasi, porsi pertumbuhan dan penyesuaian KHL daerah. Sehingga, sensitif terhadap perbedaan provinsi/kota mengenai KHL berbeda.

"Untuk data validnya bisa libatkan dewan pengupahan daerah, BPS, dan pihak terkait untuk survei KHL, seperti saran MK," terang dia.

Kedua, phasing dan diferensiasi untuk daerah atau sektor rentan, seperti padat karya, UMKM. Ini dapat menerapkan kenaikan bertahap, misalnya dua tahap dalam tahun fiskal atau batasan sektoral, sementara sambil memantau dampaknya. Di sisi lain sektor atau daerah dengan pertumbuhan tinggi bisa mendapatkan penyesuaian yang lebih besar.

Ketiga, perlu adanya dukungan untuk dunia usaha kecil dan padat karya. Insentif fiskal sementara, seperti kredit lunak, subsidi sebagian kecil upah, fasilitas relaksasi pajak dan utang untuk membantu perusahaan menyesuaikan biaya. Bisa juga dengan bantuan program peningkatan produktivitas seperti pelatihan kerja, adopsi teknologi, dan lainnya untuk mengurangi beban jangka menengah.

Keempat, kebijakan makro perlu dipastikan kebijakan upah disinkronkan dengan kebijakan moneter dan fiskal agar inflasi terkendali, dan perlu monitoring ketat pasca-kenaikan untuk memantau potensi inflasi lanjutan.

"Putusan MK, dalam hemat saya, bisa membuka jalan bagi penetapan upah yang lebih adil dan berbasis KHL. Namun, implementasinya harus hati-hati, kenaikan upah yang ideal secara nasional kemungkinan berada di kisaran 4–6,5 persen, dengan fleksibilitas regional atau sektoral dan dibutuhkan paket dukungan bagi dunia usaha agar tidak merusak iklim investasi, apalagi jika sampai merusak kondisi lapangan kerja yang sudah ada," tuturnya.

Menurut data dari Trading Economics, sebuah perusahaan asal New York, Amerika Serikat (AS), memprediksi bahwa upah minimum bulanan di Indonesia diproyeksikan akan naik sekitar 5,9 persen saja pada 2026. Proyeksi ini menyusut dari tahun sebelumnya yakni 6,5 persen pada 2025.

Wajar sekiranya UMP tahun depan berada di bawah tuntutan buruh. Sebab menurut Pengamat Ketenagakerjaan, Timboel Siregar, penetapan UMP tidak bisa hanya didasarkan pada desakan buruh saja atau pertumbuhan ekonomi. Peran inflasi sebagai penentu kenaikan UMP pun jangan ditinggalkan.

Jika MK menetapkan UMP harus memenuhi KHL, maka Timboel menyarakan untuk para pemangku kepentingan berkaca pada Permenaker 18 Tahun 2020, yang menjelaskan 64 item terkait KHL.

"Nah 64 item KHL itu nanti disurvey untuk melihat berapa harga inflasinya, sehingga itu nanti menjadi rujukan bagi pembentukan atau penetapan UMP yang baru tahun 2026," jelasnya pada Tirto.

Penetapan UMP yang didesak para buruh pun seharusnya memiliki hitung-hitungan sendiri. Hal ini karena adanya ekonomi di masing-masing daerah berbeda. Sehingga, penetapan UMP tidak bisa dipukul secara rata di setiap wilayah.

"Padahal pertumbuhan ekonominya berbeda, inflasinya berbeda. Di Sumatera itu secara umum rata-rata inflasinya udah 5,2 persen loh. Walaupun (inflasi) rata-rata nasional tuh 2-2,4 persen. Jadi tidak bisa dijeneralisir. Harus berbasis regulasinya apa," ungkapnya.

Timboel menegaskan tuntutan buruh pun belum realistis dan dianggap terlalu tinggi, karena faktor dunia usaha juga seharusnya menjadi acuan desakan penetapan UMP. Dia menyarankan, permintaan UMP harus mengacu pada data dan fakta yang ada, bukan lontaran kalimat kosong.

"Belum realistis, itu ketinggian juga 10 persen. Artinya kita harus melihat dunia usaha juga kalau dihantam 10 persen naiknya. Seperti tahun lalu semuanya (dipukul rata) 6,5 persen, dari Sabang sampai Marauke, kan gak sehat namanya," ujarnya.

Ia lantas meminta para buruh untuk duduk bersama dengan pemerintah dan para pemangku kepentingan untuk merumuskan kenaikan UMP. Selain itu, KHL yang ditetapkan oleh Keputusan MK seharusnya bukan hanya tugas para pengusaha saja untuk memenuhi keinginan buruh, tapi pemerintah diminta terlibat dari sisi spending. "Buat apa kita punya Rp10 juta upah minimum kalau harga-harga (bahan pangan) tinggi?" ujarnya mempertanyakan.

Dari sisi pemerintah, rumusan kenaikan UMP saat ini masih digodok oleh Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Yassierli. Pihaknya sudah membentuk tim untuk mengkaji terkait kenaikan UMP, sehingga dapat memenuhi 'impian buruh' untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Pembahasan mengenai UMP 2026 itu, ditargetkan rampung pada November 2025, dan akan melibatkan berbagai pihak dan para pemangku kepentingan terkait.

"UMP 2026, memang ini proses, sedang berproses, sudah ada tim yang kita bentuk untuk melakukan kajian-kajian," kata Yassierli kepada wartawan dalam konferensi pers, di Gedung Kemnaker RI, Jakarta, Senin (13/10/2025).

Baca juga artikel terkait KENAIKAN UMP atau tulisan lainnya dari Natania Longdong

tirto.id - Insider
Reporter: Natania Longdong
Penulis: Natania Longdong
Editor: Dwi Aditya Putra