Menuju konten utama

Ketika Partai Republikan Curang di Pilpres Amerika Serikat 2000

Republikan mencurangi pemilu 2000. Hasilnya? Bush menang. Gore tersungkur.

Ketika Partai Republikan Curang di Pilpres Amerika Serikat 2000
Presiden George W. Bush berbicara dalam sebuah konferensi energi di Institut Bush di Dallas, 12 September 2013. Foto/AP

tirto.id - Joe Biden dinyatakan telah memenangkan pilpres AS 2020 pada Sabtu (8/11) menjelang siang waktu setempat setelah mendapatkan 20 suara tambahan (electoral college) dari Pennsylvania. Itu membuat suara elektoralnya terkumpul sebanyak 273 melampaui syarat minimum kemenangan sebesar 270 suara elektoral. Bahkan sejak Kamis (5/11) atau dua hari pasca-pilpres, pintu Gedung Putih sudah tampak terbuka lebar untuk Biden saat meraup 264 suara elektoral. Sementara petahana Donald Trump saat itu masih tertinggal di angka 214 suara.

Ketika Biden sudah nyaman berpidato bahwa “Tidak akan ada negara bagian merah (Republikan) dan biru (Demokrat) saat kami menang. Hanya Amerika Serikat”, Trump di akun media sosial Twitter dan Facebook sibuk menuduh pilpres kali ini adalah “kecurangan terbesar di negara kita” dan menuding lawannya telah mencuri hasil kemenangan pemilu. Sebelumnya Trump dengan percaya diri mendeklarasikan kemenangan secara prematur. Dua informasi tersebut segera dilabeli hoaks oleh para pemeriksa fakta dan Twitter.

Tidak hanya bikin gaduh di media sosial, kubu Trump lantas mencoba mengubah hasil dengan mengajukan gugatan hukum ke pengadilan dengan mempermasalahkan penghitungan suara di tiga negara bagian, Pennsylvania, Michigan, dan Georgia yang menjadi medan pertempuran sengit bagi kedua kandidat. Nahas, gugatannya untuk menghentikan penghitungan suara ditolak oleh para hakim di masing-masing negara bagian. Di luar sidang, para pendukung Trump menerjemahkan seruan kecurangan dengan aksi protes di tempat-tempat pemungutan suara. Beberapa peserta terlibat menenteng senjata api.

Sikap Trump yang tak mau kalah ini sebenarnya bukan hal baru. Dalam debat terakhir di pilpres 2016 lalu, Trump bersikukuh menolak mengakui keputusan panitia pemilu apabila dirinya dinyatakan kalah. Ia berulang kali memperingatkan bahwa gerombolan orang Afrika-Amerika dan imigran ilegal bakal mencuri suara melalui surat suara ilegal. Ia mendesak para pendukungnya untuk memantau daerah-daerah tertentu. Waktu itu Trump memenangkan pemilu dan mulut besarnya terselamatkan.

Tuduhan kecurangan yang dilontarkan Trump sekaligus mengingatkan peristiwa 20 tahun silam saat kemenangan George W. Bush ditentukan oleh keputusan Mahkamah Agung berkat intervensi partainya, Republikan.

Pemilu 2000 diadakan pada 7 November 2000 dengan menampilkan dua kandidat paling atas yang bersaing ketat, Al Gore dari Demokrat dan George W. Bush yang berbendera Republikan. Gore dilaporkan unggul dalam suara populer nasional dan memimpin suara elektoral sebanyak 260 (sedangkan Bush 246). Namun, pertarungan yang sangat menentukan pemenang terjadi di negara bagian Florida.

Malam harinya, masih di hari pencoblosan, siaran berita di televisi bergantian menyebut Gore dan Bush sebagai pemenang di Florida yang menunjukkan perolehan hasil suara yang sangat ketat bersaing.

Komisi Pemilihan Florida keesokan harinya mengumumkan Bush menang di Florida dengan 1.784 suara. Karena ternyata selisih suara keduanya sangat kecil yaitu kurang 0,5 persen, maka hukum Florida mengharuskan diadakannya penghitungan ulang. Para pengacara dari kedua kubu sudah dihadirkan untuk mengawal proses. Hasil penghitungan ulang pada 10 November menunjukkan Bush unggul 327 suara meski secara selisih berkurang dari hasil penghitungan sebelumnya. Setelah saling tuntut di pengadilan, pada 26 November Bush menutup penghitungan ulang dengan kemenangan selisih 537 dari Gore yang membuatnya mengumpulkan 271 suara elektoral, menyalip Gore di angka 266.

Ceritanya tidak berhenti sampai di situ. Di balik kemenangan Bush sebagai Presiden AS ke-43, ia sebenarnya diuntungkan oleh sistem pemilu yang cacat. Banyak negara bagian masih memakai surat suara berlubang di tengah. Surat suara yang dijulukibutterfly ballot” ini ialah warisan sistem pemungutan suara tahun 1960-an. Dalam sejarahnya, model surat suara ini punya problem teknis, di antaranya membuka peluang salah pilih kandidat.

Pada pilpres 2000, celah teknis itu benar-benar membawa masalah serius khususnya di Florida. Robert Speel, dosen ilmu politik Penn State University menceritakan kepadaThe Conversation bahwa media nasional menemukan surat suara cacat yang membikin bingung ribuan pemilih di Palm Beach County, Florida, pada hari pemilihan. Banyak yang mengira mereka mencoblos Gore. Rupanya, mereka memilih kandidat lain tanpa sadar. Pemungutan suara di Duval County juga menyebabkan kebingungan; sekitar 22.000 suara didiskualifikasi karena memilih kandidat ganda atau overvote. Alat pelubang kertas yang digunakan di tempat lain di negara bagian tersebut terkadang tak berfungsi dengan sempurna sehingga tak terbaca mesin penghitung. Jeffrey Toobin dalam bukunya Too Close to Call: The Thirty-Six-Day Battle to Decide the 2000 Election (2002) mencatat, desain surat suara membikin puluhan ribu Demokrat salah memilih Pat Bunchanan, kandidat dari Partai Reform. Wilayah-wilayah yang suaranya condong ke Republikan bahkan punya teknologi pemilihan yang lebih sedikit menghasilkan kesalahan pembacaan surat suara ketimbang di daerah pemilih Demokrat.

Ada sekitar 170.000 surat suara yang tidak terbaca saat penghitungan. Dari jumlah tersebut, sekitar 60.000 surat suara di Florida yang kebanyakan berjenis surat berlubang berstatus undervote alias belum dicoblos. Namun, pada banyak dari surat tersebut ditemukan potongan-potongan kertas kecil yang menggantung, menandakan pemilih telah menentukan pilihannya. Surat-surat suara inilah yang tidak dihitung. Gore lantas mengadukan masalah 60.000 surat undervote ke pengadilan agar dilakukan penghitungan manual sebagaimana diizinkan oleh hukum di negara bagian. Wilayah tempat Gore menuntut penghitungan ulang juga dikenal sebagai basis pemilih Demokrat.

Infografik Kontroversi Pilpres AS 2020

Infografik Kontroversi Pilpres AS 2020. tirto.id/Fuadi

Republikan Menjegal Demokrat

Bush dan Partai Republikan yang merasa hasil pemilu sudah sangat menguntungkan mereka langsung sekuat tenaga menjegal tuntutan Gore di pengadilan agar tidak ada penghitungan ulang secara manual seperti yang dikehendaki Demokrat. Selain bertarung di pengadilan, kubu Bush terus melancarkan kampanye bahwa Gore adalah pecundang lantaran tidak mau menerima kekalahan. Banyak media nasional kala itu dengan bersemangat mengikuti narasi ini.

Bush dan partainya terus bersikeras bahwa seluruh suara telah dihitung ulang, padahal belum. Dosen Hubungan Internasional Universitas Gajah Mada, Nur Rachmat Yuliantoro, dalam penelitiannya berjudul "Pemilihan Presiden Amerika Serikat Tahun 2000 dan Hikmahnya Bagi Indonesia" (2000) mengisahkan kubu Bush jelas khawatir dengan tuntutan penghitungan manual karena akan membuat kertas suara yang tidak terhitung oleh mesin--akibat pemilih tidak bisa melubanginya dengan sempurna--bakal terlihat apabila dihitung dengan kasat mata. “Republikan khawatir bahwa bila tuntutan penghitungan ulang itu diloloskan oleh pengadilan, maka akan ada tambahan seribu atau dua ribu suara untuk Gore,” tulis Rachmat.

Kerusuhan yang melibatkan massa pendukung Republikan sempat pecah di Florida. Massa juga menekan para pemuka agama di gereja dan sinagog untuk ikut menjaga suara agar tidak “dicuri Demokrat”.

Tuntutan Gore berjalan dengan proses hukum yang berbelit-belit dan tidak tuntas. Pada 8 Desember, Mahkamah Agung Florida menolak permintaan Gore untuk penghitungan ulang di empat wilayah yang disengketakan dan memerintahkan penghitungan ulang surat undervote di seluruh negara bagian Florida.

Namun, proses penghitungan ulang itu hanya berjalan beberapa hari. Pada 12 Desember, lima hakim Mahkamah Agung dari Republikan menganulir keputusan Mahkamah Florida dengan memerintahkan penghentian penghitungan suara total. Keputusan tersebut sekaligus mengakhiri sengketa hasil pilpres secara sepihak. Walhasil, Bush resmi dinyatakan menjadi presiden. Gore sebenarnya masih bisa melawan putusan tersebut, tetapi pengacaranya menyatakan bahwa tindakan Gore akan menimbulkan keributan yang luar biasa. Gore sendiri akhirnya memberikan ucapan selamat atas kemenangan Bush.

Setahun kemudian, pada November 2001, Pusat Penelitian Opini Nasional di Universitas Chicago (NORC) mengumumkan hasil pemeriksaan terhadap 170.000 surat undervote dan overvote. NORC menemukan bahwa dengan penghitungan ulang seluruh negara bagian, Gore menang di Florida dengan margin kemenangan bervariasi antara 60 hingga 171 suara. Menanggapi temuan tersebut, Gore memilih mengatakan “pilpres tahun 2000 sudah berakhir”. Temuan itu juga terkubur oleh kasus serangan 9/11.

Drama 20 tahun lalu mungkin saja tak pernah terulang lagi dalam pilpres Paman Sam. Yang tersisa dari sana adalah sikap politikus Republikan yang getol jualan histeria tiap pilpres bahwa Demokrat pernah berusaha mencuri suara atau menolak hasil pilpres seperti tahun 2000.

Baca juga artikel terkait PILPRES AS atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Politik
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf