Menuju konten utama

Ketika Kotak Kosong Menang di Pilkada Serentak 2018

Kemenangan kotak kosong dinilai sebagai kritik keras kepada calon. Mereka seharusnya lebih mendekati masyarakat daripada menguasai mayoritas partai.

Ketika Kotak Kosong Menang di Pilkada Serentak 2018
Petugas KPPS (kelompok penyelenggara pemungutan suara) menghitung surat suara Pilkada Kota Tangerang yang bergambar Pasangan Arief Rachadiono-Sachrudin dan kolom kosong, Banten, Rabu (27/6/2018). tirto.id/Andrey Gromico.

tirto.id - Pelaksanaan pilkada serentak 2018 di 171 daerah, pada Rabu (27/6/2018) menguak sejumlah fakta. Mulai dari tersangka kasus korupsi yang unggul di Pilkada Tulungagung, maraknya politik uang, hingga calon tunggal kepala daerah yang kalah dari kolom kosong di Pilkada Makassar.

Berdasarkan hitungan cepat atau quick count yang dilakukan lembaga riset Celebe Research Center (CRC), misalnya, pasangan calon walikota dan wakil walikota Munafri Afifuddin-Rachmatika Dewi (Appi-Cicu) harus mengakui keunggulan kolom kosong. Pasangan Appi-Cicu ini hanya memperoleh 46,55 persen, kalah dengan kotak kosong yang mendapat 53,45 persen suara.

“Data yang masuk untuk Pilkada Makassar sudah 86 persen dan kolom kosong unggul tipis dari paslon tunggal,” kata Direktur CRC, Herman Heizer di Makassar, Sulawesi Selatan, seperti dikutip Antara, Rabu (27/6/2018).

Tak hanya itu, pasangan Appi-Cicu ini bahkan harus mengalami kekalahan di TPS-nya sendiri, yaitu di TPS 03 SD Mangkura 1, Kelurahan Sarewigading, Kecamatan Ujungpandang, Makassar. Munafri yang juga mencoblos di TPS itu hanya mendapatkan 43 suara, sementara kolom kosong tercatat 91 dari total suara 139, sedangkan lima suara tidak sah.

Herman menyatakan, kemenangan kolom kosong di Pilkada Makassar cukup mengejutkan, mengingat pasangan Appi-Cicu ini diusung oleh koalisi 10 parpol yang mengontrol 43 kursi di DPRD Makassar. Sedangkan mantan petahana Wali Kota Makassar, Moh Ramdhan Pomanto yang menggandeng Wakil Ketua DPRD Makassar Indira Mulyasari Paramastuti yang maju melalui jalur perseorangan dinyatakan tidak memenuhi persyaratan sehingga Pilwakot Makassar diikuti calon tunggal.

Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Sumatera Barat, Feri Amsari menyatakan, kemenangan kotak kosong tersebut sebagai kritik keras kepada calon bahwa seharusnya mereka lebih mendekati masyarakat sebagai pemegang suara daripada menguasai mayoritas partai.

Sebab, kata Feri, berdasarkan UU Pilkada No. 10 tahun 2016, calon tunggal dinyatakan menang jika mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari suara sah. Artinya, bila kurang dari 50 persen dari suara yang sah, maka pemenangnya adalah kolom kosong.

“Proses dan tahapan pilkada diulang sehingga calon lain bisa mendaftar. Untuk sementara dilantik Pj [Penjabat kepala daerah]” kata Feri saat dihubungi Tirto, pada Rabu (27/6/2018).

Akan tetapi, kata Feri, pengulangan pilkada yang dimenangkan kolom kosong, seperti di Pilwakot Makassar ini tidak dilakukan langsung, melainkan menunggu pilkada serentak berikutnya, yaitu Pilkada 2020.

“Itu kelemahan kotak kosong, tetapi itu bagian dari wujud kedaulatan rakyat,” kata pria yang juga peneliti di Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas ini.

Hal senada juga diungkapkan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Wahyu Setiawan. Menurut dia, jika kotak kosong yang menang, KPU akan menggelar pemilihan pada pilkada serentak gelombang berikutnya, yaitu Pilkada 2020. Sementara untuk mengisi kekosongan jabatan di daerah yang dimenangkan kolom kosong itu akan ditunjuk Plt atau penjabat kepala daerah sebagaimana diatur dalam UU Pilkada.

“Tapi itu jadi kewenangan pemerintah, sehingga sesuai mekanisme akan menentukan siapa Plt itu, dan berapa lama [menjabat Plt] itu jadi kewenangan pemerintah,” kata Wahyu kepada Tirto, Selasa (26/6/2018).

Fenomena Calon Tunggal vs Kolom Kosong

Fenomena calon tunggal di Pilkada 2018 tidak hanya terjadi di Pilwakot Makassar, tetapi juga di sebelas daerah lainnya. Berdasarkan data KPU, setidaknya terdapat 11 kabupaten/kota lain yang juga memiliki satu pasangan atau calon tunggal.

Ke-11 daerah itu: Kota Prabumulih (Sumatera Selatan), Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang (Banten), Kabupaten Pasuruan (Jawa Timur), Kabupaten Enrekang (Sulawesi Selatan), Kabupaten Minahasa Tenggara (Sulawesi Utara), Kabupaten Tapin (Kalimantan Selatan), Kabupaten Mamasa (Sulawesi Barat), Kabupaten Jayawijaya (Papua), dan Kabupaten Padang Lawas Utara (Sumatera Utara). Kandidat di daerah-daerah ini adalah petahana, berbeda dengan Kota Makassar.

Calon tunggal di 11 daerah itu juga lebih beruntung dari pasangan calon Munafri Afifuddin-Rachmatika Dewi di Pilwakot Makassar. Di Pilkada Kabupaten Mamasa, misalnya, pasangan Ramlan Badawi-Marthinus Tiranda berdasarkan hitungan cepat Indikator Politik Indonesia unggul dari kotak kosong, yaitu 60,84 persen suara, sementara kolom kosong hanya 39,16 persen dari 92,00 persen data yang masuk.

Hal yang sama juga terjadi di Pilkada Tapin. Data hasil hitung cepat berdasarkan entri Model C1 di laman KPU menunjukkan, pasangan Muhammad Arifin Arpan-Syafrudin Noor unggul sementara. Paslon yang diusung 8 parpol ini memperoleh 66,90 persen, sementara kolom kosong tercatat 33,10 persen suara (data ini baru 133 dari 446 TPS).

Infografik CI Melawan Kotak kosong di pilkada 2018

Mengapa pilkada serentak kerap diikuti calon tunggal?

Iza Rumesten R.S. dalam artikel “Fenomena Calon Tunggal dalam Pesta Demokrasi” di Jurnal Konstitusi (Vol. 13, No. 1, Maret 2016) menulis, ada beberapa faktor yang mempengaruhi fenomena calon tunggal dalam gelaran pilkada. Salah satunya adalah mahalnya mahar dari partai pengusung. Sehingga, jika ada calon petahana yang kuat, maka calon lain dipastikan akan berhitung ulang untuk maju sebagai kandidat.

Hal ini jelas masuk akal. Untuk maju menjadi calon saja, mereka umumnya harus membayar mahar. Belum lagi dana yang akan digunakan untuk kampanye, dana untuk meraih suara pemilih, dana untuk mengamankan suara mulai dari tingkat TPS sampai mengamankan suara di KPU, KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi, KPU pusat bahkan sampai di tingkat MK jika terjadi sengketa.

Biaya mahal ini juga pernah diakui Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Prabowo Subianto dalam pidatonya, di acara halal bihalal dan silaturahmi nasional di Pondok Pesantren Al–Ishlah, Bondowoso, pada 23 Juli 2017. Ia menyebut paling tidak calon gubernur mengeluarkan dana Rp300 miliar.

Saat itu, Prabowo mengatakan bahwa soal modal adalah aspek pertama yang selalu ia tanyakan pada siapa pun yang ingin maju lewat Gerindra. “Kalau ada yang mau nyalon gubernur, datang ke saya, apa pertanyaan pertama yang saya kasih ke dia? Ente punya uang enggak. Saya tidak tanya Anda lulusan mana, prestasinya apa, pernah nulis buku apa? yang saya tanya ente punya uang berapa?” kata Prabowo.

Selain itu, menurut Iza Rumesten, calon tunggal bisa juga disebabkan mesin partai yang seharusnya melakukan pendidikan politik bagi kader tidak berfungsi dengan baik. Akibatnya, partai tak punya kader mumpuni untuk diusung dalam pilkada. Tak heran jika partai politik kerap kebingungan mencari kader partai yang berkualitas dan bisa "dijual": memiliki elektabilitas.

Faktor lain yang juga dapat menyebabkan lahirnya calon tunggal adalah kriteria yang diatur dalam undang-undang mengenai syarat dukungan, terutama bagi calon perseorangan.

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), 29 September 2015, menentukan calon perorangan harus mengumpulkan KTP sebanyak 10 persen di daerah dengan jumlah daftar pemilih tetap (DPT mencapai 2 juta orang, 8,5 persen di daerah dengan DPT antara 2-6 juta, 7,5 persen di daerah dengan DPT 6-12 juta, dan 6,5 persen di daerah dengan DPT di atas 12 juta orang. Syarat ini jelas tak mudah dipenuhi.

Baca juga artikel terkait PILWAKOT MAKASSAR 2018 atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Politik
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz