tirto.id - Rapat pleno KPU Kota Makassar memutuskan kolom kosong unggul dari pasangan calon tunggal, Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu). Berdasarkan hasil rekapitulasi suara yang digelar penuh drama selama dua hari, paslon Appi-Cicu hanya mendapat 264.245 suara (47 persen), sementara kolom kosong merebut 300.795 suara (53 persen).
“Karena ini calon tunggal, maka tidak ada yang kalah dan menang. Jadi bahasanya: pasangan calon Appi-Cicu tidak mendapatkan perolehan suara lebih dari 50 persen. Jadi pilkada akan diulang,” kata komisioner KPU Kota Makassar Abdullah Mansyur.
Proses rekapitulasi suara Pilwalkot Makassar 2018 memang penuh drama. Meski hanya diikuti calon tunggal, situasinya menegangkan, bahkan diwarnai insiden aksi walk-out saksi dari Appi-Cicu hingga pemukulan terhadap anggota panwas kecamatan oleh sekretaris KPU Kota Makassar.
Detik-Detik Menegangkan
Jumat, 6 Juli, saya berada di lantai tiga Hotel MaxOne di Jalan Taman Makam Pahlawan Makassar. Aula yang lapang menjadi tempat penyelenggaraan rapat pleno KPU Kota Makassar. Orang-orang bisa mengikuti hasil rekapitulasi suara di 15 kecamatan dari dua layar lebar yang ditembakkan proyektor.
Di halaman hotel, ada sekitar 1.000 personel gabungan Polri dan TNI berjaga. Jalan utama ditutup. Penjagaan berlapis. Para wartawan harus mengenakan kartu pengenal khusus dari KPU. Dan untuk masuk ke ruangan pleno, kita mesti melewati pintu detektor, dilarang membawa makanan dan minuman. Korek api pun ditahan.
Para anggota panitia pengawas (Panwas) Pilwalkot Makassar duduk berhadapan dengan tim KPU Makassar yang mengimput data. Di depan pimpinan, ada seratusan kursi berderet rapi. Di kursi ini saksi Appi-Cicu duduk. Kontras dari lawan mereka, kolom kosong, yang nihil saksi.
Sejak Kamis malam, 5 Juli, rekapitulasi suara untuk Pilwalkot Makassar bermula. Tapi, hingga pukul 01.00 dini hari, baru dua kecamatan, yaitu Biringkanaya dan Sangkarrang, yang kelar. Sidang ditunda hingga pukul 09.00 esok harinya.
Maka, pada Jumat, molor sejam dari agenda, sidang lanjutan rekapitulasi digelar kembali. Belum apa-apa kegaduhan sudah terjadi. Sabri, Sekretaris KPU Makassar, memukul seorang anggota panwas kecamatan. Sidang ditunda kembali hingga pukul 2 siang. Dan baru dilanjutkan menjelang jam 3 sore. KPU mengelarkan hasil penghitungan suara Kecamatan Manggala, Mamajang, dan Makassar.
Lepas pukul 4 sore sidang kembali diskors. Usai menjalani salat asar, rekapitulasi kembali digelar untuk membacakan hasil suara dari kecamatan Mariso, Tallo, Panakukkang, dan Rappocini. Sidang ditunda kembali hingga pukul 8 malam. Setengah jam kemudian, tanpa dua orang saksi pasangan Appi-Cicu, KPU Makassar membacakan rekapitulasi suara untuk Kecamatan Tamalanrea, Ujung Pandang, Tamalate, Ujung Tanah, Wajo, dan Bontoala.
Saat hendak membuka kotak suara untuk Kecamatan Bontoala, ketegangan bermula. Saksi Appi-Cicu keberatan untuk melanjutkan proses itu. Mereka menilai suara di wilayah itu cacat sebab tak memiliki dokumen DA1-KWK atau sertifikat hasil rekapitulasi dan rincian penghitungan suara.
Saksi Appi-Cicu meninggalkan ruangan, menyatakan walk-out. Selang 10 menit kemudian mereka kembali masuk dan meminta formulir keberatan.
"Ini lelucon," kata seorang petugas kepolisian berbisik kepada saya.
Mengapa drama pemilihan wali kota Makassar menjadi perbincangan luas di tingkat nasional?
Jawabnya gamblang. Calon tunggal Appi-Cicu gagal mendapatkan suara melebihi 50 persen, melainkan hanya mempu meraup 47 persen. Padahal pasangan ini diusung oleh 10 partai politik yang menguasai DPRD Makassar: Gerindra, Golkar, Hanura, NasDem, PAN, PBB, PDIP, PKPI, PKS, dan PPP.
Sedangkan kolom kosong mendapatkan perolehan suara hingga 53 persen. Jumlah suara yang mengungguli pasangan Appi-Cicu ini kemudian dinilai sebagai kemenangan warga Makassar, bahkan ada yang menyebut sebagai kedewasaan politik masyarakat.
Total daftar pemilih tetap untuk Pilwalkot Makassar sebanyak 990.836 elektorat. Namun, pemilih yang mendatangi TPS di 15 kecamatan dalam Kota Makassar hanya 57,02 persen atau sekitar 564.776 pemilih. Artinya, ada 43 persen atau sekitar 426.059 elektorat yang golput.
Tak Benar-Benar Calon Tunggal
Calon tunggal pada Pilwalkot Makassar bukanlah terjadi sejak awal. Mulanya diikuti dua pasangan calon. Selain Appi-Cicu, KPU Makassar menetapkan Mohammad Ramdhan Pomanto–Indira Mulyasari Paramastuti Ilham (dengan memakai inisial kampanye "DIAmi").
Ramdhan Pomanto atau akrab disapa Danny Pomanto adalah petahana. Saat menjabat wali kota, pro-kontra mewarnai program kerjanya. Misalnya, ia memoles beberapa lorong-lorong di Makassar dengan tanaman gantung dan mewarnainya dengan cat terang. Warga menyebutnya sebagai lorong garden.
Beberapa orang menilai program yang dijalankan Danny sekadar pencitraan. Sebagai arsitek, ia minim mempraktikkan latar pendidikannya dalam menata kota. Misalnya, ia mengenalkanpete-pete smart, moda transportasi lokal, tapi kemudian mandek dan lenyap begitu saja. Atau gerakan bersih kota yang menempatkan beberapa tempat sampah di jalan-jalan utama. Dalam praktiknya, tong-tong sampah ini disebut oleh warga Makassar sebagai “gendang dua” yang menghabiskan anggaran hingga Rp27 miliar.
Kepemimpinan Danny dalam perbincangan lepas di warung kopi—tempat terbaik bagi bagi siapa pun yang ingin tahu obrolan politik lokal di Kota Makassar—dianggap "lelucon" dan tak berdampak apa-apa. Tapi, setelah menyatakan diri ingin menggenapkan dua periode, beberapa lembaga survei menempatkan elektabilitasnya di atas 70 persen; jauh melampaui Appi-Cicu yang hanya meraup 18 persen.
Hasil survei itu bikin panas politik lokal di Makassar. Pasangan Appi-Cicu, yang jelas telah mengantongi dukungan 10 partai, bisa kalah elektabilitasnya dari Danny yang maju sendirian. Demi memenuhi prosedur KPU, serta mengumpulkan dukungan yang besar, Danny menggandeng Indira. Pasangan ini percaya diri maju lewat jalur independen. Mereka juga dinilai menguasai debat terbuka pertama yang digelar KPU pada 18 Maret di Hotel Clarion Makassar.
Belakangan, pasangan Appi-Cicu menggugat pencalonan Danny-Indira ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Makassar. Alasannya terkait program pemerintahan Danny yang membagi telepon seluler kepada rukun tetangga dan rukun warga. Pasangan Appi-Cicu menilai program itu dapat memengaruhi pemilihan wali kota dan menudingnya sebagai bentuk mobilisasi.
Pada 27 April, pengadilan mengabulkan gugatan tersebut, sehingga pasangan Danny-Indira didiskualifikasi. Maka, Pilwalkot Makassar resmi diikuti hanya calon tunggal.
Apakah pertarungan berakhir?
Setelah didiskualifikasi, Danny kembali berkantor di Balai Kota Makassar untuk menuntaskan masa jabatannya hingga Mei 2019. Pendukungnya terus menggunakan atribut pasangan "DIAmi". Pada pembacaan hasil rekapitulasi 5 Juli, misalnya, saya menemui beberapa orang yang berkerumun di sebuah jalan raya, sekitar 1,5 kilometer dari tempat KPU merekap suara di Hotel MaxOne. Mereka mengenakan seragam dominan oranye, warna khas pendukung petahana. Mereka datang ke dekat hotel untuk mengawal kotak suara kolom kosong.
Bahkan, di hari pemilihan suara pada 27 Juni, ketika lembaga survei Celebes Research Center mengumumkan kotak kosong unggul, Danny melakukan sujud syukur.
Belakangan, Partai Gerinda, salah satu partai pengusung Appi-Cicu, melaporkan Danny Pomanto ke Badan Pengawas Pemilu atas dugaan pelanggaran saat Pilwalkot Makassar. Gerindra menilai Danny memihak kotak kosong sehingga berdampak pada kekalahan Appi-Cicu.
Mengalahkan Klan Bisnis-Politik Terkuat
Rahman Pina, politikus Golkar yang menjadi saksi pasangan Appi-Cicu dalam rapat rekapitulasi KPU Makassar, berkali-kali protes. Ia menyela hal-hal kecil dan terus mengajak adu mulut.
Ketika seorang anggota Panwas Makassar berdiri di dekat tim pengimputan data, misalnya, Rahman Pina bersuara tinggi dan melayangkan keberatan. Menurutnya, anggota panwas dilarang berada di dekat KPU.
Tingkah Rahman teatrikal. Ia mengambil mikrofon, terus saja bicara, naik ke panggung pimpinan sidang, berjalan mondar-mandir di depan meja komisioner KPU Makassar.
Sejak hasil hitung cepat memenangkan kolom kosong, tim Appi-Cicu memang melemparkan kekesalan kepada panitia pengawas. Pada 6 Juli, para pendukung Appi-Cicu mendatangi Hotel MaxOne tempat KPU melakukan rekapitulasi suara. Mereka berkali-kali melempar isu bahwa panwas telah menggembosi suara Appi-Cicu. Mereka marah. Mereka melempar petasan. Mereka diadang para personel polisi dan tentara yang berjaga di lokasi tersebut.
“Bagaimana mungkin. Kami ini adalah pengawas pemilu. Kami dilindungi aturan dan memang tugas kami memastikan proses pemilihan umum berjalan lancar,” kata Nursari, Ketua Panwas Kota Makassar menjawab tudingan tim Appi-Cicu.
Kekalahan pasangan Appi-Cicu menimbulkan beragam tafsir. Haris Azhar dari Lokataru Foundation, yang memantau hasil rekapitulasi suara bersama beberapa lembaga dalam Koalisi Masyarakat untuk Kolom Kosong, mengatakan bahwa kemenangan kotak kosong merupakan tamparan keras bagi partai politik.
“Ini adalah pelajaran dalam sistem demokrasi yang baik. Bagaimana kekuatan bawah muncul dan melawan klan kekuasaan,” katanya.
Asumsi Haris Azhar punya landasan. Pasangan Appi-Cicu adalah perpanjangan tangan dari generasi klan pengusaha besar di Sulawesi Selatan: Aksa Mahmud dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Pada garis keluarga, Munafri Arifuddin atau Appi adalah anak mantu dari Aksa Mahmud, pemilik Bosowa Corporation. Di Makassar, Bosowa memiliki beberapa unit bisnis, dari tambang hingga transportasi, dari koperasi hingga universitas.
Sementara Aksa Mahmud adalah ipar Jusuf Kalla. JK adalah pemilik usaha Kalla Group, kelompok usaha terbesar di kawasan timur Indonesia yang berkantor pusat di Makassar. Unit bisnis Kalla merambah banyak sektor, dari penjualan dealer otomotif, tambang, energi, jalan, hingga mal.
Appi juga adalah ponakan Wakil Kepala Kepolisian Syafruddin. Kedekatan ini jadi sorotan setelah Syafruddin menyatakan bahwa hasil hitung cepat yang mengumumkan kolom kosong menang dalam Pilwalkot Makassar sebagai hoaks.
Belakangan omongan itu, yang dimuat di media online nasional, diklarifikasi Syafruddin dan humas Polri, membantah bahwa Wakapolri Syafruddin pernah mengeluarkan pernyataan tersebut. Dan tautan berita yang menampilkan pernyataan Wakapolri itu pun menghilang.
Bagaimana dengan rekam jejak Andi Rachmatika Dewi atau Cicu?
Cicu adalah putri Nurhayati Sirajuddin. Nurhayati adalah kakak perempuan Ilham Arif Sirajuddin, mantan Wali Kota Makassar dua periode. Ilham, atau akrab disapa Aco, menjadi tersangka kasus korupsi instalasi Perusahaan Daerah Air Minum Kota Makassar tahun anggaran 2006-2012.
Di Makassar, Ilham termasuk salah satu politikus yang cukup disegani. Ia pernah maju dalam bursa pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan, berpasangan dengan Azis Qahhar Muzakkar. Loyalisnya cukup kuat, biasa dikenal dengan sebutan "Kelompok Batu Putih", merujuk daerah kediamannya.
Dari garis Ilham, Cicu dianggap anak murid langsung dia dan diharapkan sebagai generasi yang melanjutkan klan politik. Garis darah dari pihak bapak Cicu pun tak bisa dipandang remeh. Bapaknya bernama Andi Ikbal, seorang bangsawan Bone.
Andi Ikbal adalah keluarga dari klan Kajuara, salah satu wilayah di Kabupaten Bone, yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Jenderal Jusuf. Dalam garis darah ini, Cicu adalah anak ponakan dari Andi Herry Iskandar, ponakan langsung Jenderal Jusuf.
Seorang kerabat dekat Cicu dari pihak bapak bercerita kepada saya bahwa sikap politik klan Kajuara tak begitu terbuka. Agak rumit menilai apakah semua keluarga mendukung atau tidak.
“Tapi dari pihak ibu Cicu, saya kira 80 persen mendukung,” katanya. “Sekarang Cicu kalah. Sebagai keluarga, dan dia adalah ponakan saya, saya pasti sedih. Tapi inilah proses untuk menjalani karier politik yang lebih jauh.”
Penulis: Eko Rusdianto
Editor: Abdul Aziz