tirto.id - Pemilihan kepala daerah (pilkada) pada 15 Februari tidak hanya dilaksanakan di Jakarta, melainkan digelar secara serempak di tujuh provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten di seluruh Indonesia. Setidaknya ada 337 pasangan calon yang akan memperebutkan 101 posisi kepala daerah dalam pesta demokrasi yang diselenggarakan secara bersamaan tersebut.
Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menunjukkan, dari 101 daerah yang akan menggelar pilkada serentak, terdapat sembilan daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon atau calon tunggal. Kesembilan daerah itu antara lain: Kota Tebing Tinggi, Kabupaten Tulang Bawang Barat, Kabupaten Pati, Kabupaten Landak, Kabupaten Buton, Kabupaten Maluku Tengah, Kota Jayapura, Kabupaten Tambrauw, dan Kota Sorong.
Menariknya, berdasarkan penelusuran Tirto, dari sembilan daerah yang memiliki calon tunggal tersebut, delapan di antaranya adalah calon kepala daerah petahana. Misalnya pasangan calon walikota dan wakil walikota, Umar Zunaidi Hasibuan dan Oki Doni Siregar. Keduanya merupakan walikota dan wakil walikota Tebing Tinggi, Sumatera Selatan periode 2011-2016.
Hal yang sama juga terjadi pada Pilkada Kabupaten Tulang Bawang Barat yang memiliki pasangan calon tunggal Umar Ahmad dan Fauzi Hasan. Keduanya adalah bupati dan wakil bupati di salah satu kabupaten, di Provinsi Lampung.
Mereka diusung oleh 10 partai politik yang ada, seperti PDIP, PKS, Demokrat, PPP, Gerindra, Golkar, PAN, PKB, Hanura dan Nasdem. Karena tidak ada calon dari jalur perseorangan yang mendaftar, sehingga pasangan petahana ini menjadi calon tunggal dalam pilkada 15 Februari mendatang.
Bergeser ke Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Di sana ada Haryanto yang notabene adalah Bupati Pati periode 2012-2017. Ia menggandeng Saiful Arifin, pengusaha dan Ketua Kadin Bidang Usaha BUMN. Pasangan ini diusung delapan partai, yaitu PDIP, PKB, Gerindra, Demokrat, Hanura, Golkar, PKS, dan PPP yang memiliki sekitar 46 kursi di DPRD.
Pola yang sama juga terjadi di daerah lain yang memiliki calon tunggal. Misalnya, di Pilkada Kabupaten Tambrauw ada pasangan Gabriel Asem dan Mesak Metusala Yekwam, pasangan Tuasikal Abua dan Marlatu Leleury di Kabupaten Maluku Tengah, Lambert Jitmau dan Pahima Iskandar di Pilkada Kota Sorong, dan di Kabupaten Buton ada pasangan Samsul Umar Abdul Samiun dan La Bakry.
Berbeda dengan Karolin Margaret Natasa pada Pilkada Kabupaten Landak. Sebagai calon bupati di daerah itu, Karolin yang notabene bukan petahana menggandeng Herculanus Heriadi (wakil bupati saat ini) sebagai pendampingnya. Sehingga banyak pihak yang mengkategorikannya sebagai calon petahana. Apalagi Karolin juga tercatat sebagai anggota DPR RI dua periode dari daerah pemilihan Kamimantan Barat dan anak dari Cornelis, gubernur di daerah tersebut.
Mengapa ada Pilkada dengan Kandidat Tunggal?
Iza Rumesten R.S. dalam artikel “Fenomena Calon Tunggal dalam Pesta Demokrasi” di Jurnal Konstitusi (Vol. 13, No. 1, Maret 2016) menulis, ada beberapa faktor yang mempengaruhi fenomena calon tunggal dalam gelaran pilkada. Salah satunya adalah mahalnya mahar dari partai pengusung. Sehingga, jika ada calon petahana yang kuat, maka calon lain dipastikan akan berhitung ulang untuk maju sebagai kandidat.
Hal ini jelas masuk akal. Untuk maju menjadi calon saja, mereka umumnya harus membayar mahar. Belum lagi dana yang akan digunakan untuk kampanye, dana untuk meraih suara pemilih, dana untuk mengamankan suara mulai dari tingkat TPS sampai mengamankan suara di KPU, KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi, KPU pusat bahkan sampai di tingkat MK jika terjadi sengketa.
Selain itu, calon tunggal bisa juga disebabkan mesin partai yang seharusnya melakukan pendidikan politik bagi kader tidak berfungsi dengan baik. Akibatnya, partai tak punya kader mumpuni untuk diusung dalam pilkada. Tak heran jika partai politik kerap kebingungan mencari kader partai yang berkualitas dan bisa "dijual": memiliki elektabilitas.
Faktor lain yang juga dapat menyebabkan lahirnya calon tunggal adalah kriteria yang diatur dalam undang-undang mengenai syarat dukungan, terutama bagi calon perseorangan.
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), 29 September 2015, menentukan calon perorangan harus mengumpulkan KTP sebanyak 10 persen di daerah dengan jumlah daftar pemilih tetap (DPT mencapai 2 juta orang, 8,5 persen di daerah dengan DPT antara 2-6 juta, 7,5 persen di daerah dengan DPT 6-12 juta, dan 6,5 persen di daerah dengan DPT di atas 12 juta orang. Syarat ini jelas tak mudah dipenuhi.
Aturan Main Calon Tunggal
Fenomena calon tunggal pada pilkada serentak juga terjadi pada pilkada 2015. Saat itu, KPU sebagai penyelenggara pemilu bahkan dibuat pusing karena UU No. 8 tahun 2015 tentang Pilkada yang menjadi landasan hukum pelaksanaan pilkada belum mengakomodasi mengenai fenomena calon tunggal ini. Padahal UU Pilkada No. 8 tahun 2015 mensyaratkan bahwa pilkada dapat berjalan apabila minimal ada dua calon (sebelum direvisi menjadi UU No. 10 tahun 2016).
Dalam situasi tersebut, akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa calon tunggal dapat mengikuti pilkada serentak. Ketua MK Arief Hidayat mengatakan, keputusan yang diambil melalui pertimbangan sembilan hakim konstitusi itu untuk menghindari kekosongan hukum.
MK berpandangan bahwa pemilihan kepala daerah adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih kepala daerah secara langsung dan demokratis. Karena itu, pemilihan kepala daerah haruslah menjamin terwujudnya kekuasaan tertinggi di tangan rakyat.
Dalam pertimbangannya, lanjut Arief, hakim menilai rumusan dalam norma UU Pilkada secara sistematis menunjukkan bahwa pembentuk undang-undang menginginkan kontestasi berlangsung dengan setidaknya ada lebih dari satu pasangan calon. Namun, semangat kontestasi tersebut tidak disertai solusi saat terjadi kondisi hanya ada satu pasangan calon.
“Oleh karena itu, kita putuskan dan memberikan solusi untuk tetap menjalankan pilkada walau hanya satu pasangan calon,” ujarnya.
Hal tersebut diakomodir dalam UU No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada. Regulasi ini mengakomodir keberadaan calon tunggal dengan berbagai ketentuan yang disyaratkan. Misalnya, pasangan calon tunggal diperbolehkan apabila KPU telah melakukan perpanjangan pendaftaran, namun tetap saja tidak ada calon lain yang mendaftar.
Selain itu, calon tunggal juga diperbolehkan dengan catatan terdapat lebih dari satu calon yang mendaftar, namun dinyatakan tidak memenuhi syarat yang mengakibatkan adanya calon tunggal. Seperti ketentuan yang diatur dalam Pasal 54C ayat (1) UU No. 10 tahun 2016.
Anggota DPR RI, Arteria Dahlan mengatakan, UU Pilkada yang ada saat ini sudah menjawab persoalan adanya calon tunggal. Menurut dia, UU Pilkada yang baru disempurnakan telah mengatur metode pemilihan bumbung kosong yakni dalam surat suara terdapat dua kolom, satu untuk pasangan calon tunggal disertai foto, sedangkan kolom kedua dibuat kosong.
Aturan mainnya, menurut UU Pilkada No. 10 tahun 2016, calon tunggal dinyatakan menang jika mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari suara sah. Namun, apabila kurang dari 50 persen dari suara yang sah, maka yang menang adalah kolom kosong.
Bagaimana jika kolom kosong menang? Ada jawabannya dalam undang-undang pilkada. “Dalam hal belum ada pasangan calon terpilih terhadap hasil Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Pemerintah menugaskan penjabat Gubernur, penjabat Bupati, atau penjabat Walikota,” demikian bunyi Pasal 54D ayat (4).
Persoalan calon tunggal dan aturan main calon tunggal memang sudah sudah terjawab oleh UU No. 10 tahun 2016. Namun, akar persoalan kenapa munculnya fenomena calon tunggal ini belum sepenuhnya terselesaikan oleh regulasi tersebut.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Maulida Sri Handayani