Menuju konten utama

Jika Calon Tunggal Kalah di 2024, Utamakan Pilkada Ulang di 2025

Kepemimpinan daerah definitif amat krusial agar agenda pembangunan daerah bisa berjalan dengan baik.

Jika Calon Tunggal Kalah di 2024, Utamakan Pilkada Ulang di 2025
Ilustrasi Titi Anggraini. tirto.id/Sabit

tirto.id - Jika calon tunggal gagal “mengalahkan” kotak kosong dalam pilkada, penyelenggara pemilu sebaiknya memilih opsi menyegerakan pemilihan ulang sesuai aturan undang-undang yang berlaku. Hal itu diutarakan oleh pengajar hukum pemilu dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, dalam webinar bertajuk “Putusan MK (Coba) Menghadang, Calon Tunggal Tetap Melenggang” yang diselenggarakan The Constitutional Democracy Initiative (CONSID), Minggu (1/9/2024).

Saran itu dilontarkannya untuk merespons narasi-narasi yang menyatakan bahwa jika calon tunggal kalah dari kotak kosong, daerah akan dipimpin penjabat (Pj) kepala daerah hingga pilkada yang akan datang.

Titi lantas menyodorkan UU Nomor 10/2016 untuk meluruskan narasi tersebut. Pasal 54D Ayat 1 UU tersebut menyatakan bahwa paslon tunggal ditetapkan terpilih jika memperoleh suara lebih dari 50 persen suara sah. Jika tidak, pilkada harus diulang.

Waktu penyelenggaraan pilkada ulang itu diatur dalam Ayat 3 yang menyatakan, “Pemilihan berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diulang kembali pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan.”

Aturan tersebut, menurut Titi, memberikan dua opsi waktu penyelenggaraan pilkada ulang. Opsi pertama adalah “pada tahun berikutnya”. Artinya, jika calon tunggal kalah di Pilkada 2024, pilkada berikutnya diadakan pada 2025.

Lalu terkait opsi kedua, Titi menyebut konteksnya sudah tidak relevan lagi untuk saat ini. Pasalnya, frasa “dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan” itu berkaitan dengan penataan jadwal pilkada serentak sebelum mencapai pilkada serentak nasional pada 2024 ini.

Penataan jadwal pilkada serentak yang dimaksud adalah pada 2015, 2017, 2018, dan 2020. Hal itu diatur dalam Pasal 201 UU Nomor 10/2016.

Titi mencontohkan bahwa peraturan itu berlaku pada Pilkada Kota Makassar 2018. Saat itu, calon tunggal kalah dari kotak kosong. Maka sesuai aturan Pasal 201 UU Nomor 10/2016, pemilihan ulang diselenggarakan kembali pada 2020.

“Waktu itu, relevan ketika KPU membuat opsi pilkadanya diulang dijadwal pilkada serentak 2020 dan tidak pada 2019. Karena, pilihan jadwal yang ada adalah pada 2020,” kata Titi.

Menurutnya, penjadwalan pilkada serentak itu telah tuntas. Yang ada saat ini adalah bahwa pilkada dilakukan setiap lima tahun dan undang-undang pun tidak lagi memuat angka tahun yang spesifik.

Ketiadaan penyebutan tahun yang spesifik itulah yang membuat opsi pertama bisa utamakan. Terlebih, konstruksi kalimat dalam pasal itu pun amat memungkinkan hal itu. Artinya, kalau calon tunggal kalah di 2024, pilkada berikutnya semestinya dilakukan pada 2025.

Oleh karena itu, kata Titi, narasi bahwa pilkada ulang baru bisa dilaksanakan pada 2029 itu sangat tidak masuk akal.

Dalam konteks ini, yang mestinya diutamakan adalah menyegerakan supaya ada kepemimpinan daerah definitif,” ujar Titi.

Kepemimpinan daerah definitif itu amat krusial agar agenda pembangunan daerah bisa berjalan dengan baik.

Lebih lanjut, Titi juga menyebut bahwa narasi pemilihan ulang pada 2029 pun rawan memengaruhi psikologi para pemilih.

“Seolah-olah pemilih nanti akan tersandera oleh kepemimpinan penjabat kepala daerah. [itu bisa memunculkan anggapan] ‘Daripada penjabat memimpin lima tahun dan pilkadanya masih lama, ya kita pilih calon tunggal saja’. Jangan seperti itu,” tuturnya.

Baca juga artikel terkait PILKADA 2024 atau tulisan lainnya dari Auliya Umayna Andani

tirto.id - Politik
Reporter: Auliya Umayna Andani
Penulis: Auliya Umayna Andani
Editor: Fadrik Aziz Firdausi