Menuju konten utama

Kerusuhan Anti-Muslim dan Ancaman Ekstremis Buddhis di Sri Lanka

Terhitung sejak Selasa (6/3), Pemerintah Sri Lanka mengumumkan keadaan darurat nasional selama 10 hari, menyusul kerusuhan bermotif agama.

Kerusuhan Anti-Muslim dan Ancaman Ekstremis Buddhis di Sri Lanka
Militer berjaga di lokasi bentrok antara umat Buddha dengan minoritas muslim di distrik Kandy, Sri Lanka. FOTO/REUTERS

tirto.id - Sri Lanka tengah membara. Selama berhari-hari negara pulau yang terletak di sebelah tenggara India dan timur laut Maladewa ini diguncang konflik berdarah. Rabu (7/2) lalu, para perusuh menyerang masjid dan membakar pertokoan milik warga Muslim di distrik Kandy, Sri Lanka tengah.

Ratusan aparat gabungan militer dan polisi diterjunkan di Kandy dan melepaskan tembakan gas air mata untuk membubarkan perusuh.

Guna mengembalikan ketertiban, otoritas keamanan telah memberlakukan aturan jam malam sejak Selasa (6/3). Sudah tujuh orang ditahan karena melanggar jam malam dan dicurigai memancing keresahan di daerah multi-etnis itu.

Juru bicara kabinet Rajitha Senaratne, mengatakan bahwa pemerintah mendesak penyedia jasa internet untuk memblokir media sosial setelah muncul pesan-pesan yang menyerukan serangan kepada umat Muslim di Facebook. Tak hanya Facebook, layanan pesan seperti Viber dan Whatsapp juga bakal diblokir selama 72 jam.

Pemerintah Sri Lanka telah mengumumkan kondisi darurat sipil selama 10 hari, terhitung sejak Selasa pekan ini. Namun belum ada tanda tensi kerusuhan akan turun.

Kerusuhan pun tak hanya terjadi di Kandy. Guardianmelaporkan kerusuhan juga meledak di kota Digana. Sekitar 150 rumah, toko dan kendaraan diperkirakan rusak berat akibat kerusuhan pada awal pekan ini.

Pola Berulang

Dilansir dari Reuters, selama setahun terakhir ketegangan antara sejumlah kelompok Buddhis garis keras dengan komunitas minoritas Muslim meningkat. Kelompok-kelompok Buddhis ekstremis menyebarkan tuduhan bahwa warga Muslim telah memaksa orang untuk masuk Islam dan merusak situs arkeologis agama Buddha.

Api pemantik kerusuhan lainnya adalah kematian seorang pria beretnis Sinhala di tangan sekelompok warga Musim pekan lalu. Ditemukannya seorang Muslim dalam keadaan tewas di dalam sebuah bangunan yang terbakar dalam kerusuhan Selasa (6/3) akhirnya semakin memperkeruh situasi.

Sinhala adalah etnis mayoritas di Sri Lanka dengan persentase 75 persen dari total 21 juta penduduk Sri Lanka. Sebagian besar beragama Buddha. Adapun Muslim di Sri Lanka mencapai 10 persen dari seluruh jumlah penduduk.

Antara 17 April dan Juni 2017, tercatat ada lebih dari 20 serangan terhadap umat Islam berupa pembakaran di ruko-ruko milik warga Muslim dan serangan bom molotov di beberapa masjid. Lima orang ditangkap. Polisi menduga para pelakunya berafiliasi dengan ormas ultra-nasionalis bernama Bodu Bala Sena (BBS) yang beranggotakan warga Buddha dari etnis Singhala.

Lima orang tersebut ditangkap seminggu setelah para diplomat dunia mengecam kekerasan terhadap warga Muslim di Sri Lanka dan mendesak pemerintah menegakkan hak-hak minoritas dan kebebasan beragama.

Pada 2014 lalu BBS mendalangi kerusuhan anti-Muslim. Distrik Aluthgama dan sekitarnya menjadi medan paling berbahaya selama kampanye kebencian di tahun itu.

“Situasi semakin sulit,” kata Mohamed Hisham, seorang aktivis media sosial dan pengusaha yang tinggal di Kota Dharga, dekat Aluthgama. “Tapi saya yakin kehadiran (BBS) punya dampak besar. Merekalah yang harusnya disalahkan karena telah menghasut,” ujar Hisham kepada CNN.

Media lokal Sri Lanka The Sunday Leader melaporkan bahwa sekitar 8.000 Muslim dan 2000 warga Sinhala mengungsi akibat kerusuhan sektarian di Aluthgama pada 2014 silam. Kerusuhan tersebut menewaskan empat orang dan menghancurkan sejumlah rumah dan tempat bisnis.

Konflik berdarah ini tamparan keras bagi pemerintah Sri Lanka. Namun saking malunya, kekerasan itu justru ditutup-tutupi. Menurut laporan Report Without Border, pemerintah mendesak media-media arus utama di Sri Lanka untuk menyensor berita tentang kerusuhan 2014.

Bangkitnya Ekstremis Buddhis

Nama ormas Bodu Bala Sena (BBS) mencuat sebagai aktor penting dalam kekerasan sektarian di Sri Lanka selama beberapa tahun terakhir. Organisasi yang lahir pasca-perang sipil Sri Lanka (1983-2009) kerap memicu kekacauan serius.

Dalam buku berjudul If You Meet the Buddha on the Road: Buddhism, Politics, and Violence (2018), Michael Jerryson menyebut bahwa organisasi BBS didirikan pada 2012 oleh dua biksu bernama Galagoda Aththe Gnanasar dan Kirama Wimalajothi. Sejak awal pembentukannya, organisasi sudah memandang keberadaan minoritas Muslim sebagai ancaman.

Gnanasar pun muncul sebagai pemimpin spritual dengan banyak pengikut. Khotbah-khotbah kebencian membesarkan namanya. Ketika kerusuhan anti-Muslim meletus di Aluthgama pada 2014 lalu, Gnanasar memprovokasi para penganut Buddha Sinhala dengan ceramah kebencian yang memojokkan minoritas Muslim.

Kesuksesan hasutan Gnanasar terbukti dibuktikan dengan pengerahan massa Buddha Sinhala untuk menyerang rumah-rumah warga Muslim. Pejabat BBS Dilanthe Withanega mengklaim bahwa ormasnya hanya melakukan tindakan preventif untuk melindungi Sri Lanka dari apa yang disebutnya sebagai ancaman Muslim yang kian besar.

Pasca-perang sipil, kehidupan komunitas Muslim Sri Lanka memang lebih baik dari segala aspek, baik secara ekonomi, sosial hingga budaya. Mereka menonjol di sektor perdagangan dan kehadirannya cukup mencolok di kota-kota. Seperti yang disebutkan Kalinga Tudor Silva dalam “Gossip, Rumor, and Propaganda in Anti-Muslim Campaigns of the Bodu Bala Sena” (2016), sebagian pihak beranggapan bahwa pencapaian ini dapat menggeser dominasi pihak mayoritas etnis Sinhala dan umat Buddha.

BBS memang menempatkan segala hal yang berbau Islam sebagai ancaman, termasuk penggunaan jilbab dan niqab. Mereka menuduh warga Muslim telah bersikap kasar, tak ramah pada tetangga—pendeknya, eksklusif. Rumor-rumor kebencian ini disebarkan BBS lewat akun-akun media sosial seperti Facebook.

infografik sri lanka membara

Dalam kampanyenya, BBS senantiasa menyebut-nyebut nasib warga Sri Lanka yang diperlakukan dengan buruk sebagai buruh migran di Timur Tengah serta kekerasan terhadap minoritas Buddhis di Bangladesh. Dari sini pula BBS menarik garis lurus antara problem perburuhan dengan identitas keagamaan, antara kekerasan sektarian yang melibatkan Muslim sebagai pelaku di luar negeri (Bangladesh) dengan imajinasi tentang Muslim lokal Sri Lanka.

Namun tak hanya Muslim yang jadi bulan-bulanan propaganda hitam BBS. CNN menyebutkan, organisasi ultranasionalis ini juga mengecam aktivitas dakwah Kristen serta keberadaan klub Buddha Bar di hotel-hotel Sri Lanka.

Menurut catatan CNN, Ilmuwan politik dan mantan diplomat Sri Lanka Dayan Jayatilleke menggambarkan ormas keagamaan BBS sebagai fasis dan saudagar ideologi kebencian, khususnya Islamofobia. Kendati BBS adalah organisasi marjinal, pengaruhnya mulai diterima oleh biksu-biksu setempat.

Gnanasar pernah menjadi politikus dan bergabung dengan partai nasionalis Sinhala, Jathika Hela Urumaya (JHU), namun keluar beberapa tahun silam. JHU sendiri merupakan partai sayap kanan yang mendukung pemusnahan terhadap gerakan Macan Tamil, kelompok separatis yang menjadi kalah dalam Perang Sipil Sri Lanka. JHU masuk dalam koalisi pendukung Presiden Mahinda Rajapaksa yang berkuasa hingga 2015.

Perang Sipil Sri Lanka meletus sejak 23 Juli 1983 serta melibatkan tentara pemerintah dan kelompok Macan Tamil yang menuntut kemerdekaan wilayah Tamil Eelam dari Sri Lanka. Gerakan separatis Macan Tamil yang didukung India ini akhirnya kalah dalam perang berakhir pada 18 Mei 2009.

Baca juga artikel terkait KERUSUHAN atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Politik
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf