Menuju konten utama

Di Sini Ada Muslim Cyber Army, di AS Ada Aktivis Anti-muslim

Buntut pilkada DKI: politik kebencian meluber dari media sosial ke intimidasi di ranah privat offline. Penyebaran informasi pribadi dilakukan untuk mempermalukan orang yang dianggap musuh.

Di Sini Ada Muslim Cyber Army, di AS Ada Aktivis Anti-muslim
Cuplikan video memperlihatkan Nathan Damigo (atas) dan Emily Rose Marshall (bawah) saat perkelahian jalanan di Berkeley (15/04), yang viral. Reuters via ZUMA Press/Stephen Lam

tirto.id - Dua pekan terakhir, dua perempuan diintimidasi oleh FPI akibat tuduhan menista agama dan ulama melalui status di Facebook. Fiera Lovita, dokter berusia 40 tahun yang tinggal di Solok, Sumatera Barat, didatangi sejumlah anggota FPI yang mendesak Lovita mencabut pernyataannya tentang Rizieq Shihab. Status Facebook tentang Rizieq Shihab juga membuat Indri Soraya, seorang pengusaha travel di Tangerang, didatangi puluhan anggota FPI.

SAFEnet, jejaring pendukung kebebasan berekspresi di Asia Tenggara, menyebutkan terdapat setidaknya 48 individu yang saat ini mengalami tekanan, ancaman, dan teror dengan pola serupa. Sebelumnya, postingan kedua perempuan tersebut—lengkap beserta profil—disebarkan oleh akun-akun atau laman Facebook yang menamakan diri Muslim Cyber Army.

Bersaudara dalam Ideologi dan Taktik

Politik sektarian, klaim supremasi penganut agama mayoritas dan kampanye ‘pro-pribumi’ yang digelorakan oleh gerakan Muslim cyber Army menunjukkan kemiripan dengan kelompok-kelompok sayap kanan Amerika yang dalam pemilu kemarin mendukung Donald Trump. Mereka dicirikan dengan kampanye anti-minoritas dan anti-muslim.

Tak hanya itu, kelompok supremasi kulit putih ini melakukan teror fisik dan verbal, serta penyebaran informasi pribadi, untuk mempermalukan siapapun yang dianggap melecehkan Trump, membahayakan pemimpin-pemimpin gerakan, atau sekadar dipandang menghina warga kulit putih.

Fenomena ini berlangsung di Amerika sejak perhelatan pilpres 2016 lalu. Korban teranyar dari kampanye kebencian ini adalah Ricky John Best dan Taliesin Myrddin Namkai Meche. Seperti dilaporkan Reuters, Karena membela seorang muslim yang tengah dirisak seorang laki-laki rasis kulit putih, John dan Taliesin ditusuk hingga tewas.

Di Amerika Serikat, anasir-anasir ultrakanan—kini digolongkan dalam satu label populer “Alt-Right” atau “Kanan Alternatif”—mengorganisir diri secara online melalui kanal-kanal di situs reddit maupun 4Chan. Media yang menjadi panggung mereka adalah situs Breitbart, yang berfokus pada isu-isu terkini yang dibingkai dalam perspektif kanan. Sementara untuk muatan yang lebih teoretis dan ideologis dapat ditemukan di media semacam Arktos atau The Right Stuff.

Andrew Breitbart, pendiri situs ini, disebut-sebut sebagai salah satu figur yang membentuk kultur internet dewasa ini. Konten-konten Breitbart bersifat provokatif, menyerang dan mempermalukan pihak-pihak yang berseberangan serta mencampurkan gosip dan teori konspirasi dengan berita politik.

Setelah Andrew Breitbart meninggal pada 2012, jabatan CEO perusahaan Breitbart New dipegang oleh Steve Bannon, yang selama pilpres AS lalu menjabat manajer kampanye Donald Trump dan kini duduk di posisi penasihat strategis presiden.

Tokoh gerakan supremasi kulit putih dan anti-muslim lainnya adalah Richard Spencer, direktur National Policy Institute (NPI), sebuah think-tank sayap kanan. Situsweb Wiredmengklasifikasikan NPI sebagai organisasi yang membuat rasisme nampak terhormat. NPI, demikian menyebut tujuannya didirikan, "dipersembahkan untuk warisan, identitas, dan masa depan orang-orang keturunan Eropa di Amerika Serikat dan di seluruh dunia”.

Dalam pelantikan presiden baru pada 20 Januari 2017, seorang aktivis anti-fasis meninju Spencer dan diabadikan oleh kamera. Pemukulan Spencer menjadi momentum perayaan kalangan anti-Trump yang segera membanjiri media sosial dengan ratusan meme dan remix video detik-detik pemukulan Spencer. Ini pertama kalinya kaum rasis pro-Trump mendapat jotosan dan disiarkan ke seluruh negeri.

Setelah protes-protes jalanan anti-Trump dan pemukulan Spencer, kerusuhan di kampus Berkeley sebagai buntut penolakan atas kedatangan tokoh Alt-Right asal Inggris Milo Yiannipoulos, akhirnya mendorong aktivis Alt-Right untuk mendirikan Fraternal Order of Alt Knights. Berdalih membela kebebasan berbicara, kelompok ini melatih anggota-anggotanya untuk berkelahi di jalan.

Bersamaan dengan itu pula mereka mulai menyusun daftar buruan yang memuat nama, identitas pribadi, dan alamat siapapun yang dianggap mengancam gerakan. Pada April 2017, kericuhan terjadi lagi di kampus Berkeley antara gerakan anti-fasis dan kelompok supremasi kulit putih.

Emily Rose Marshall dari kubu anti-fasis, tertangkap video tengah dipukuli seorang laki-laki kekar. Dalam hitungan jam setelah insiden, video pemukulan tersebut langsung viral disertai data-data pribadi Marshall, termasuk alamat rumah, akun media sosial, nomor telepon, hingga video seksi yang pernah dia rekam beberapa tahun sebelumnya. Keluarga Marshall dikabarkan mengalami intimidasi verbal. Belakangan diketahui, sejumlah akun di forum 4chan aktif mengumpulkan segala informasi tentang Marshall sebelum disebarkan ke publik.

Doxxing, demikian mereka menyebut siasat pembocoran informasi pribadi, secara sadar digunakan sebagai taktik untuk mempermalukan siapapun yang mengkritik dan melawan gerakan tersebut. Belakangan, taktik ini justru berbalik. Para aktivis anti-fasis mulai menggunakan metode yang sama untuk mengekspos kehidupan pribadi para penebar kebencian, termasuk Richard Spencer.

"Doxxing betul-betul mengerikan dan bikin orang takut. Saya benci mengatakan ini, tapi doxxing adalah senjata untuk menyerang orang dengan tingkat keberhasilan yang tinggi,” ujar Spencer seperti dikutip The Guardian.

INFOGRAFIK Alt-Right Nazi Modern

Mewahnya Privasi

Senin (29/05/17), laman Muslim Cyber Army bernama Daftar Buronan Muslim dibekukan oleh Facebook setelah dilaporkan beramai-ramai. Layaknya akun Muslim Cyber Army lainnya, laman ini memuat foto dan profil pengguna Facebook yang dituduh menista ulama dan agama. Namun, dari penelusuran Tirto, sebelum laman ini ditutup, ulama yang dimaksud adalah Rizieq Shihab.

Muslim Cyber Army mulai dikenal sejak protes-protes anti-Ahok tahun lalu. Setidaknya pada Desember 2017, laman Jonru Ginting memuat pengumuman pelatihan Muslim Cyber Army. Tidak diketahui apa materi training yang dimaksud. Laman Jonru malah mengumumkan topik-topik diskusi seperti “Cetak Biru (Blue Print) Membangun Ekonomi Ummat Berbasis Masjid”, ”Tips & Trik Menarik Pengunjung dan Kebanjiran Rezeki Melalui Facebook”, ”Sharing Session Di Puja dan di Benci di Sosial Media, Strategi Mendapat Banyak Follower”, ”Tips & Trik Mengelola Medsos di Media Massa”,”Dan Orang-orang pun Membicarakan dan Menshare Tulisan Anda di Medsos, Bagaimana Caranya?”

Namun, selama Pilkada berlangsung, akun-akun dengan nama Muslim Cyber Army menjamur, menebarkan pesan-pesan sektarian, dan beberapa mempublikasikan siapapun yang dipandang musuh (dengan berbagai sebutan seperti “ahokers”, “cebong”, “kafir”, “munafik”, “penista ulama”, dan seterusnya). Aktivitas yang terakhir ini, ditambah ajakan untuk melaporkan beramai-ramai, juga ditengarai membuat sejumlah pengguna Facebook ditangguhkan akunnya.

Ketika laman Daftar Buronan Muslim tumbang, Jonru Ginting dalam statusnya mengatakan: “MCA [Muslim cyber Army] bukan organisasi, bukan lembaga, bukan komunitas, bukan yayasan, bukan perusahaan, bukan partai politik, bukan ormas. Setiap umat Islam yang tergerak hatinya dan melakukan action untuk berdakwah membela kebenaran di media sosial, maka dia adalah MCA.”

Di negeri Paman Sam, propaganda rasisme yang sebelumnya hanya marak di internet berkembang menjadi arus kekerasan di dunia nyata ketika Trump berkuasa. Di Indonesia, kultur rasisme di media sosial meluber ke ranah offline melalui politisasi masjid selama pilkada DKI Jakarta. Bersamaan dengan itu, privasi di internet tiba-tiba menjadi barang mewah.

Baca juga artikel terkait INTOLERANSI atau tulisan lainnya dari Windu Jusuf

tirto.id - Politik
Reporter: Windu Jusuf
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Maulida Sri Handayani