tirto.id - Rabu, 5 Oktober, seluruh kru aplikasi kesehatan dari Cina bernama Chunyu Doctor berkabung. CEO sekaligus penciptanya, Zhang Rui tutup usia akibat serangan jantung di usia yang masih sangat muda, 44 tahun. Ia meninggal saat start-up itu sedang dalam masa genting. Dikutip dari Bloomberg, Juni lalu, start up itu berhasil meraup 1,2 miliar yuan atau sekitar $ 178 juta, yang menempatkan perusahaan dengan valuasi hampir $ 1 miliar dan berencana akan dijual ke publik.
Chunyu Doctor sedang membutuhkan perhatian besar setelah mendapatkan pendanaan. Zhang bekerja keras agar perusahaan rintisannya bisa sukses. Ia memang bekerja keras membesarkan Chunyu Doctor sejak merintisnya pada 2011 lalu. Di bulan-bulan pertama perusahaan ini dimulai, Zhang menerapkan “Jadwal 996”—bahasa slang di Cina untuk menggambarkan jam kerja 9 pagi sampai 9 malam, selama 6 hari seminggu. Etos kerjanya yang gila-gilaan inilah yang ditengarai sebagai salah satu penyebab kematiannya.
Kematian mendadak Zhang memang bukan yang pertama. Industri teknologi Cina lebih dulu kehilangan Ou Jiliang, Direktur Data dan Teknologi Alibaba serta Assosiate Editor Tianya, Jin Bo. Keduanya mati karena kelebihan bekerja, Ou Jiliang tewas di meja kerjanya tanpa gejala. Sementara Jin Bo mengalami pendarahan otak karena terlalu lama bekerja.
Di luar industri teknologi, ada Li Jianhua, seorang regulator perbankan Cina yang tutup usia di umur 48 tahun. Ia diduga kelelahan karena mengebut sebuah laporan sebelum matahari terbit.
Cina memang sedang menghadapi epidemik karena kelebihan kerja. Sekitar 600 ribu warganya meninggal karena bekerja terlalu keras. China Radio International bahkan melaporkan 1.600 meninggal per hari.
“Kami sadar peningkatan kerja berlebihan di Cina telah menjadi isu tersendiri,” kata Direktur Organisasi Internasional Buruh Cina Tim De Meyer pada Bloomberg. “Sangat mengkhawatirkan bagi fisik dan kesehatan mental.”
Di Cina, kerja berlebihan sehingga bisa menyebabkan kematian disebut guolaosi. Tidak hanya di Cina, tetapi etos ini juga terjadi di Jepang, namanya karoshi. Kematian akibat kerja keras juga tidak sedikit di Jepang.
Berdasarkan laporan Pemerintah Jepang, sejak 2013, sekitar 22 persen pegawai purna waktu Jepang bekerja lebih dari 49 jam seminggu. Sedangkan 8,8 persen, atau sekitar 4,74 juta orang bekerja lebih dari 60 jam per minggu.
Allard Dembe, seorang Profesor Kesehatan Umum di Universitas Negeri Ohio menemukan, bekerja lebih dari 40 jam per minggu akan mengganggu kesehatan secara brutal. Seperti dikutip dari Bloomberg, Dembe bilang kelebihan bekerja dapat menyebabkan gangguan jantung, kanker, encok, dan diabetes. Sehingga wajar angka kematian karena kelebihan bekerja di Jepang dan Cina begitu tinggi.
Di Indonesia sendiri, salah satu kasus kerja berlebihan sehingga menyebabkan kematian adalah meninggalnya Mita Diran, seorang copy writer. Sehari sebelum meninggal, ia mencuit di Twitter-nya: “30 jam kerja dan masih kuaaatt.” Nyatanya, ia tidak. Beberapa jam setelah cuitan itu terbit, Mita kolaps, koma, lalu meninggal.
Orang-orang macam Mita dan para bos teknologi di Cina sana mungkin termasuk ke dalam kategori “workaholic” alias pekerja keras.
Dalam Jurnal American Psychological Association disebutkan, mereka lebih senang menuntaskan pekerjaan, meski itu mengkorupsi jatah lain dari hidup seimbangnya. Jurnal yang sama mengingatkan bahwa, workaholic adalah pengaruh buruk dalam hidup. Ia meningkatkan risiko datangnya penyakit dan mengurangi rasa kepuasan hidup.
Tubuh sebenarnya sudah dilengkapi dengan “alarm”. Ketika bekerja terlalu lama, tubuh akan memberikan peringatan berupa rasa lelah, dan sakit ringan seperti flu, batuk, pilek sebagai penanda turunnya daya tahan. Ketika itu, setiap pekerja seharusnya sudah mulai peduli bahwa tubuhnya perlu istirahat. Memacu tubuh bekerja saat lelah bukan hal yang bijaksana. Jeda sejenak tidak akan merugikan daripada harus membayar kelelahan dengan nyawa.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti