Menuju konten utama

Mengapa Kemampuan Multitasking Tak Seharusnya Diglorifikasi?

Manusia pada dasarnya didesain untuk fokus. Multitasking bikin otak lelah dan sulit berkonsentrasi pada hal-hal intelektual seperti membaca buku teks. 

Mengapa Kemampuan Multitasking Tak Seharusnya Diglorifikasi?
Header diajeng Multitasking Menyiksamu. tirto.id/Quita

tirto.id - Tak sedikit orang mengaku bisa multitasking—mengerjakan banyak tugas dalam waktu bersamaan. Namun, seberapa realistiskah kemampuan yang biasa “dijual” untuk melamar kerja ini? Atau ia sebenarnya omong kosong belaka?

Di dunia modern yang semakin mahal menghargai waktu, kemampuan untuk menyelesaikan tugas secara tepat waktu digadang-gadang sebagai suatu keharusan.

Contoh sederhananya—yang mungkin pernah kamu lakukan juga—seperti membuka surel sembari menerima instruksi bos via telepon.

Tak mengherankan, multitasking jadi semacam syarat “informal” yang acap kali diminta oleh perusahaan terhadap karyawan maupun calon karyawan.

Tuntutan tersebut jelas menimbulkan reaksi. Dari tahun ke tahun, semakin banyak militan pencari kerja, termasuk pegawai senior berpengalaman, yang mengklaim multitasking sebagai kemampuan kebanggaannya.

Ah, tapi apa betul manusia dapat mengerjakan berbagai macam hal secara bersamaan?

Ya bisa-bisa saja—dengan catatan tentunya.

David Strayer dan Jason Watson, dua orang psikolog dari University of Utah, dalam penelitian yang terbit di Psychonomic Bulletin and Review (2010) mengungkap hanya 2,5 persen dari populasi dunia yang mampu melakukan beberapa hal dalam waktu bersamaan dengan baik.

Jadi, kalau kamu menjumpai orang yang sesumbar tentang kemampuannya dalam multitasking, bisa jadi dia cuma membual.

Segelintir manusia yang memang bisa melakukannya disebut Strayer dan Watson “supertasker”.

“Menurut teori kognitif, orang-orang demikian seharusnya tak ada,” kata Watson dikutip dari situs University of Utah. “Namun, mereka [supertasker] ternyata memang bisa [multitasking], jadi kami pakai istilah supertasker sebagai sebutan yang sesuai untuk menggambarkan kemampuan multitasking mereka yang luar biasa.”

Catatan penting lainnya, otak manusia pada dasarnya tidak tercipta untuk multitasking. Ketika manusia melakukan banyak hal secara bersamaan, maksudnya adalah beralih dari satu tugas ke tugas lain dengan panik.

“Banyak orang percaya mereka termasuk dalam pengecualian dari aturan tersebut,” papar Watson dikutip dari National Geographic. “Namun faktanya, kemungkinannya sangat kecil.”

diajeng Multitasking Menyiksamu

Ilustrasi diajeng Multitasking Menyiksamu. (FOTO/iStockphoto)

Selain itu, BBC dalam artikel lawas 2005 berjudul “’Infomania’ worse than marijuana” pernah melaporkan temuan penelitian tentang pengaruh multitasking terhadap tingkat Intellegence Quotient (IQ).

Dalam riset yang dikerjakan tim dari Institute of Psychiatry, University of London tersebut, terungkap bahwa pekerja yang perhatiannya terpecah karena surel dan telepon mengalami penurunan IQ hingga 10 poin—setara dengan mereka yang begadang dan lebih tinggi dua kali dibandingkan yang sedang mengisap mariyuana.

Parahnya, lebih dari 50 persen responden studi tersebut, dari total 1.100 orang, mengaku merespons surel yang masuk “dengan segera”. Sebanyak 21 persennya bahkan melakukan interupsi dalam rapat untuk merespons surel baru masuk tersebut. Tim peneliti menyebutnya dengan istilah “infomania”.

Menurut studi lain di AS yang dimuat di Journal of Experimental Psychology: Human Perception and Performance (2001), ditemukan pula fakta bahwa anak sekolah perlu waktu lebih lama untuk menyelesaikan soal matematika yang rumit ketika harus mengalihkan konsentrasi mereka. Kinerjanya jadi lebih lambat 40 persen jika harus multitasking.

Yang lebih menyedihkan, seperti dipaparkan dalam studi yang terbit di jurnal CyberPsychology and Behaviour (2007), semakin sering kita habiskan waktu dengan multitasking, semakin kita kesulitan berkonsentrasi pada tugas yang bersifat intelektual, seperti membaca buku teks pelajaran.

“Ada harga yang harus dibayar akibat perubahan yang terjadi pada masyarakat kita. Manusia tidak diciptakan untuk bekerja dengan cara ini [multitasking],” kata Profesor Russell Poldrack, psikolog di University of California dikutip dari Dailymail, “Kita benar-benar diciptakan untuk fokus.”

Studi yang dilakukan oleh tim peneliti University of Stanford pada 2009 silam membenarkan hal itu. Dalam penelitian mereka, orang yang sering memproses banyak informasi elektronik pada waktu yang bersamaan memiliki konsentrasi, kemampuan mengingat serta kecepatan berpindah dari satu tugas ke tugas yang lain lebih buruk dibandingkan mereka yang melakukannya lebih sedikit.

“Mau tak mau, mereka memikirkan tugas yang tak mereka lakukan,” kata Eyal Ophir, anggota tim peneliti, “Pelaku multitasking selalu menarik diri dari semua informasi di hadapannya. Mereka tak bisa menjaga hal-hal agar tetap terpisah di pikirannya.”

Merujuk pada berbagai temuan riset di atas, jelaslah supertasker hanya mencakup segelintir orang tertentu dengan bakat khusus.

Mereka yang tidak tercipta demikian—dan memaksakan diri untuk melakukan multitasking – pada akhirnya hanya akan bikin capek dirinya sendiri karena berpindah dari satu tugas ke tugas lain sangatlah melelahkan.

diajeng Multitasking Menyiksamu

Ilustrasi diajeng Multitasking Menyiksamu. (FOTO/iStockphoto)

Kelelahan akibat multasking ini timbul karena aktivitas berpindah-pindah fokus menghabiskan glukosa beroksigen dalam otak, bahan bakar yang sama yang dibutuhkan untuk fokus pada sebuah tugas. Itulah yang mungkin dapat menjelaskan kenapa banyak orang terobsesi dengan kafein sebagai “kompensasi” setelah kelelahan gara-gara multitasking.

“Beralih [dari satu ke yang lain] datang dengan harga biologis yang akhirnya membuat kita merasa lebih cepat lelah daripada jika kita mempertahankan perhatian pada satu hal,” kata Daniel Levitin, profesor ilmu saraf perilaku di McGill University.

“Orang-orang mengonsumsi makanan lebih banyak, termasuk kafein. Acap kali yang benar-benar kamu butuhkan bukan kafein, melainkan istirahat. Kalau kamu tidak istirahat teratur setiap beberapa jam, otakmu tak akan diuntungkan oleh tambahan secangkir kopi tersebut,” papar Levitin.

Lebih lanjut, Levitin mengatakan bahwa beberapa studi juga menunjukkan jika kamu mengambil jeda istirahat selama 15 menit setiap beberapa jam, kerjamu bisa lebih produktif.

Kini, tentu bisa dipahami kenapa ibu-ibu rumah tangga, yang melakukan banyak tugas dalam sehari seperti mencuci baju, memasak, dan merawat anak dalam satu waktu secara bersamaan, juga merasa lelah seperti pegawai yang kerja seharian di kantor.

Kesimpulannya? Kalau kamu ingin lebih produktif dalam bekerja, fokuslah pada suatu tugas pada suatu waktu—atau single tasking—dan jangan lupa istirahat teratur secara berkala.

Selamat bekerja, ya!

* Artikel ini pernah tayang di tirto.idpada 16 September 2016. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk keperluan redaksional Diajeng.

Baca juga artikel terkait DIAJENG atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti & Sekar Kinasih