Menuju konten utama

Kemensos Buat Gelang untuk Disabilitas, Bisa Deteksi Kekerasan

Grita bisa mendeteksi denyut nadi melalui sensor. Apabila denyut nadi melonjak drastis, jam akan keluarkan suara keras yang bisa menarik perhatian sekitar.

Kemensos Buat Gelang untuk Disabilitas, Bisa Deteksi Kekerasan
Menteri Sosial Tri Rismaharini mengikuti rapat kerja dengan Komisi VIII DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (13/4/2022). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/wsj.

tirto.id - Kementerian Sosial (Kemensos ) membuat Gelang Disabilitas Grahita (GRITA) untuk penyandang disabilitas agar mereka dapat mendeteksi dari ancaman dan kekerasan. Termasuk bahaya kekerasan seksual kepada kelompok disabilitas.

Pembuatan gelang ini karena pengalaman Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini sebelumnya yang mengetahui banyak penyandang disabilitas rentan terhadap berbagai jenis kekerasan.

Ia menyatakan, dengan inovasi di dalamnya, membuat Grita bisa menjadi penanda awal (early warning) bagi penyandang disabilitas dari berbagai ancaman. Hal ini karena Grita telah memanfaatkan artificial intelligence atau kecerdasan buatan.

"Grita bisa mendeteksi denyut nadi melalui sensor. Apabila denyut nadi melonjak drastis, maka jam ini akan mengeluarkan suara keras yang bisa menarik perhatian orang-orang di sekitarnya," kata Mensos melalui keterangan tertulisnya, Jumat (11/8/2023).

Gelang ini juga, kata Risma, dapat mendeteksi bahaya dari suara di sekitar. Misalnya jika tunarungu yang memiliki keterbatasan mendengar tengah menyeberang di rel kereta api atau jalan, ketika terdapat ancaman gelang pun akan memperingatinya atau orang lain akan membantunya.

Soal kualitas gelang, Risma menjamin gelang tunagrahita ini karena quality control alat bantu tersebut diuji langsung oleh para penyandang disabilitas.

"Quality control di akhir proses itu yang buat anak disabilitas. Jadi dia tahu benar merasakan. Ini enggak bisa. Dicek, dikembalikan. Dia tahu bagaimana [Alat] itu harus bekerja," ucapnya.

Grita merupakan inovasi lanjutan dari gelang rungu dan wicara (Gruwi) yang telah diluncurkan sebelumnya. Sedikit berbeda dengan pendahulunya yang aktif dengan cara menekan panic button, Grita menggunakan sensor denyut nadi dimana gelang itu akan berbunyi saat denyut nadi melebihi batas wajar.

Baik Grita maupun Gruwi sama-sama memiliki desain yang fashionable sehingga anak-anak tidak perlu malu memakainya.

“Anak-anak bisa tidak perlu malu karena gelangnya sangat fashionable. Jadi saya berharap anak-anak kita bisa gunakan dan mereka bisa lebih safe berada di mana pun,” ujarnya.

Saat ini hak paten Grita sedang dalam proses dan nantinya seluruh alat dari Kementerian Sosial akan dipatenkan secara internasional. Untuk saat ini, Kementerian Sosial akan memproduksi sendiri.

Produksi komersial dikhawatirkan akan membuat harga alat-alat bantu melonjak dan tidak terjangkau para penyandang disabilitas.

Pada waktu yang sama, Kepala Sentra Terpadu Inten Soeweno Cibinong Mokhamad O. Royani memaparkan, Grita menggunakan sensor untuk detak jantung yang direpresentasikan ke dalam denyut nadi. Gelang dipakai di pergelangan tangan supaya sensornya terkena denyut nadi kita.

"Denyut nadi normal untuk anak-anak hingga dewasa awal adalah rata-rata 100 detak per menit. Artinya apabila terjadi denyut nadi di atas 100 per menit, maka terjadi kondisi yang luar biasa. Termasuk juga bila terjadi kekerasan seksual," kata Royani.

Baca juga artikel terkait DISABILITAS atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Restu Diantina Putri