Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Makna Seruan KSAD agar Purnawirawan Tak Pakai Simbol TNI di 2024

Fahmi sebut simbol militer bukan satu-satunya variabel untuk membuat purnawirawan sukses dalam berpolitik.

Makna Seruan KSAD agar Purnawirawan Tak Pakai Simbol TNI di 2024
Kasad Jenderal TNI Dudung Abdurachman mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi I DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (26/9/2022). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/hp.

tirto.id - Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Dudung Abdurachman mengimbau agar para purnawirawan tidak menggunakan atribut TNI dalam kegiatan politik mereka. Sebab, kata Dudung, penggunaan atribut TNI dalam kegiatan politik purnawirawan berdampak pada citra TNI yang semestinya netral.

Dudung mengatakan, penggunaan atribut TNI bagi prajurit yang telah diberhentikan dengan hormat (mengundurkan diri maupun purnawirawan), telah diatur dalam ketentuan yang berlaku di lingkungan TNI maupun TNI AD, berdasarkan ST Panglima TNI Nomor: 1681/2018 dan ST Kasad Nomor: 33/2019 tentang penggunaan hak berpolitik.

“Netralitas TNI merupakan harga mati yang tak bisa ditawar lagi. Oleh karena itu, TNI Angkatan Darat berkomitmen untuk tidak terlibat dalam politik praktis, baik secara institusi, personal, maupun dalam hal penggunaan sarana dan prasarana milik TNI AD,” kata Dudung dalam keterangan tertulis, Kamis (10/8/2023).

TNI AD, kata Dudung, tidak membatasi bagi purnawirawan TNI AD yang ingin menyalurkan aspirasi hak politiknya. Akan tetapi, Dudung berharap agar para purnawirawan TNI, terutama TNI AD tetap mematuhi ketentuan yang berlaku dalam menjalankan hak serta kewajibannya sebagai purnawirawan.

Sebagai catatan, purnawirawan TNI AD yang terjun ke dunia politik tidak sedikit, bahkan beberapa nama menjadi tokoh yang dikenal publik dan berada di semua koalisi parpol. Mereka juga akan mendukung bakal capres-cawapres jagoan mereka pada Pilpres 2024.

Sebut saja Prabowo Subianto, mantan Pangkostrad dan Danjen Kopassus yang kini menjadi bakal capres Partai Gerindra; Andika Perkasa, mantan Panglima TNI dan KSAD yang belakangan disebut-sebut sebagai kandidat ketua tim sukses untuk bakal capres PDIP, Ganjar Pranowo. Nama lain adalah Agus Harimurti Yudhoyono, eks Komandan Batalyon 203 Arya Kemuning, salah satu satuan TNI AD. Pria yang akrab disapa AHY ini kini disebut sebagai salah satu kandidat bacawapres pendamping Anies Baswedan.

Jika diambil sampel berdasarkan partai, PDIP memiliki caleg berlatar belakang TNI-Polri mencapai 20 orang pada Pemilu 2019. Sementara pada Pemilu 2024, PDIP memasukkan 17 nama dari pensiunan jenderal TNI-Polri. PPP juga mendapat tambahan anggota purnawirawan TNI-Polri jelang Pemilu 2024. Para purnawirawan ini diperkenalkan ke publik saat Harlah ke-50 PPP.

Imbauan KSAD Menjadi Pagar Api

Direktur Eksekutif Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi memandang, iimbauan KSAD Dudung tentang atribut memang tidak harus, tapi sebaiknya dilakukan pimpinan TNI. Fahmi menilai, imbauan tersebut dapat menjadi pagar api TNI antara purnawirawan dengan prajurit aktif.

“Itu penting untuk memberi rambu-rambu atau batasan dan sedapat mungkin menjadi ‘dinding api’ yang memisahkan antara aktivitas politik para purnawirawan dengan kiprah normatif kelembagaan TNI beserta para prajurit aktifnya,” kata Fahmi kepada reporter Tirto, Kamis (10/8/2023).

Fahmi menilai, purnawirawan yang menggunakan simbol TNI dalam kegiatan politik menandakan mereka tengah melakukan politik identitas. Identitas tersebut, kata Fahmi, bukan soal romantisme masa lalu atau kultur militer, tapi simbol identitas yang digunakan untuk mendapatkan efek elektoral.

“Jadi simbol-simbol itu harus diakui memang bisa digunakan untuk membangun solidaritas, menggalang dukungan, meningkatkan elektabilitas dan akhirnya meraup suara sebanyak-banyaknya," kata Fahmi.

Fahmi menambahkan, “Dari sisi pemilih juga begitu. Pemanfaatan simbol-simbol itu bisa memudahkan pemilih mengidentifikasi dan menentukan pilihannya. Baik bagi yang suka dengan kontestan berlatar belakang militer maupun yang tidak.”

Fahmi menekankan, simbol militer bukan satu-satunya variabel untuk membuat purnawirawan sukses dalam berpolitik. Simbol identitas atau latar belakang TNI tidak bisa menjadi satu-satunya brand sehingga perlu variabel lain. Ia mencontohkan modal sosial, kekuatan logistik, rekam jejak hingga narasi.

Dalam kacamata Fahmi, masalah netralitas TNI mirip dengan analogi kentut, yakni ada bau, tapi sulit dibuktikan pihak yang kentut. Saat ini, Laksamana Yudo Margono sebagai Panglima TNi sudah cukup tegas dalam menjaga netralitas TNI.

“Namun mengingat akan ada cukup banyak purnawirawan yang akan terjun dalam kontestasi Pemilu 2024 baik di pemilu legislatif melalui berbagai partai politik yang berbeda maupun pemilu presiden, maka saya lebih melihat apa yang disampaikan oleh KSAD itu sebagai ‘warning’ pada prajurit dan keluarga besar TNI sendiri,” kata Fahmi.

Ia mengingatkan, simbol identitas tidak boleh menjadi ajang kebencian atau perselisihan. Oleh karena itu, TNI harus terus diingatkan dan mengingatkan satu-sama-lain. Para purnawirawan pun harus diingatkan agar tidak melakukan aksi vulgar saat bermanuver politik.

“Bagaimanapun akan selalu ada celah masuk bagi TNI untuk ikut terlibat dalam urusan penyelenggaraan negara tanpa harus cawe-cawe dalam agenda politik elektoral para purnawirawan, terutama para senior. Kata kuncinya adalah politik negara. Sepanjang ada kebijakan dan keputusan politik negara yang mendasarinya, ya itu akan aman bagi TNI,” kata Fahmi.

Analis politik dari Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo menilai, perlunya pengontrolan purnawirawan TNI, terutama TNI AD dalam menggunakan atribut militer tidak bisa dilepaskan dari sejarah posisi TNI di masa Orde Baru.

Ia mengingatkan, TNI AD di masa lalu adalah matra anak emas Presiden Soeharto. Masa emas tersebut membuat memori publik terutama generasi baby boomers hingga generasi X mau memilih purnawirawan TNI. Akan tetapi, dalam konteks Pemilu 2024, peran purnawirawan akan berbeda.

“Kalau pengaruh langsung terhadap vote orang, terhadap bagaimana orang memilih, itu tampaknya tidak terlalu besar karena nyatanya, ya Pak Prabowo sendiri kalah dua kali pemilu, padahal beliau juga purnawirawan TNI AD, tapi Pak SBY menang. Jadi menurut saya bukan semata-mata purnawirawan TNI AD-nya,” kata Kunto.

Kunto juga mengingatkan, tidak sedikit purnawirawan TNI, tidak hanya TNI AD, yang juga mengadu peruntungan untuk maju sebagai anggota legislatif. Akan tetapi, tidak sedikit di antara mereka malah gagal lolos ke Senayan.

“Ada faktor lain yang kemudian membuat beberapa orang purnawirawan punya kapital yang besar, baik itu social capital maupun political capital yang besar," kata Kunto.

Kunto juga menilai, purnawirawan TNI mungkin tidak semua memiliki pengaruh vote besar di publik. Akan tetapi, mereka punya kemampuan memobilisasi massa, terutama para mantan pati TNI maupun kelompok intelijen. Keberadaan purnawirawan dengan kemampuan seperti itu akan mampu mempengaruhi politik Indonesia.

Di sisi lain, kata Kunto, TNI juga punya catatan mengenai hubungan kakak asuh-adik asuk. Meski sudah berstatus tidak di TNI, para purnawirawan ini bisa meminta tolong adiknya yang masih bertugas di TNI.

“Walau netralitas TNI itu harus dijunjung tinggi, tapi pada praktiknya kan sulit untuk mengukur, apalagi kalau yang dimobilisasi memang bukan anggota TNI, yang dimobilisasi adalah rakyat atau kelompok-kelompok atau ormas-ormas tertentu dan itu juga bisa membuat dinamika politik Indonesia akan bergeser," kata Kunto.

Saat ini, kondisi politik Indonesia kerap berupaya menghadap-hadapkan antara militer dengan sipil. Hal ini terlihat ketika awal reformasi dipimpin sipil lewat Abdurrahman Wahid maupun Megawati, kemudian berganti ke latar militer seperti SBY dan kini masuk sipil.

“Mungkin bandulnya akan kembali ke militer sehingga walaupun itu bukan sesuatu yang terbukti secara ilmiah, tapi kan itu menjadi kepercayaan bagi elite politik dan kita tahu ada self fulfilling prophecy, berbuat yang dipenuhi dengan sendirinya karena semua orang percaya itu," kata Kunto.

Bagi Kunto, setiap pemilih memiliki segmen masing-masing termasuk purnawirawan TNI. Segmen ini juga menjadi ruang partai untuk meraup suara demi mesin partai. Ia pun menilai kemunculan purnawirawan dalam politik adalah hal lazim, tapi ia berharap tidak berlebihan.

“Sesuatu itu enggak sehat kalau berlebihan. Ketika sangat banyak purnawirawan TNI hampir semua purnawirawan TNI masuk politik, nah itu jadi enggak bagus tuh buat iklim Indonesia, karena ini akhirnya jadi semacam politik akhirnya jadi pekerjaan pensiunan tentara gitu,” kata Kunto.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz