Menuju konten utama

Kemenkes Targetkan Indonesia Bebas Malaria pada 2030

Selain berantas malaria di Papua, Indonesia telah menyepakati rencana aksi dengan Papua Nugini untuk menekan angka malaria.

Kemenkes Targetkan Indonesia Bebas Malaria pada 2030
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (kedua kiri) bersama Wakil Menteri Dalam Negeri Ribka Haluk (kiri) menyerahkan sertifikat eliminasi malaria kepada Bupati Tanah Bumbu Andi Rudi Latif (tengah) pada Asia Pacific Leaders’ Summit on Malaria Elimination ke-9 di Nusa Dua, Badung, Bali, Selasa (17/6/2025). ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/tom.

tirto.id - Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin, menyebut 407 dari 514 kabupaten/kota atau sekitar 79 persen di seluruh Indonesia sudah bebas malaria. Saat ini, pemerintah fokus menekan angka malaria di Papua yang mencakup 90 persen dari kasus malaria di Indonesia.

"Memang sulit mengeliminasi malaria di Papua. Ada sedikit di Nusa Tenggara dan Kalimantan. Tapi, kalau kita bisa menyelesaikan di Papua, itu 90 persen selesai. Harapannya, kalau kita bisa memperbaiki Papua, kita bisa mengeliminasi malaria di Indonesia pada tahun 2030," kata Budi saat konferensi pers pada forum Asia Pacific Leaders' Summit on Malaria Elimination (APLMA), Selasa (17/06/2025).

Budi mengungkap, Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk mencapai target tersebut. Dari sisi skrining dan diagnostik, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah melakukan sekitar dua juta skrining malaria setiap tahunnya. Namun, menurut Budi, angka tersebut tidak cukup.

"Jika WHO (World Health Organization) mengidentifikasi bahwa estimasi malaria di Indonesia sekitar satu juta, maka paling tidak kita perlu melakukan delapan juta skrining. Jadi itulah mengapa kita harus meningkatkan empat kali lipat jumlah skrining, tes deteksi cepat pada masyarakat kita," jelasnya.

Selain itu, Budi juga menyebut upaya perlindungan masyarakat dengan menggunakan kelambu. Pihaknya telah menerima bantuan dari Global Fund untuk mendistribusikan 3,3 juta kelambu berinsektisida kepada masyarakat Papua setiap 2–3 tahun.

Terdapat pula proyek percontohan pemberian obat malaria massal untuk Timika dan Keerom. Pemberian obat "biru" tersebut dinilai terbukti mengurangi jumlah kasus malaria hingga 50 persen, tetapi biayanya cukup tinggi. Oleh sebab itu, Kemenkes sedang mengkaji pembiayaan yang efektif untuk distribusi masif.

"Tentang vaksin, ini hanya tersedia untuk negara-negara di Afrika, belum tersedia untuk wilayah Papua. Jadi kami sedang mengembangkan vaksinnya," terang Budi.

Selain memberantas malaria di Papua, Budi menyebut Indonesia telah menandatangani rencana aksi dengan Papua Nugini untuk bekerja sama menekan angka malaria di kedua negara. Papua Nugini sendiri merupakan wilayah dengan jumlah kasus masif, yakni menyumbang 26,4 persen kasus malaria di Asia Pasifik.

"Malaria ini dibawa oleh nyamuk dan nyamuk-nyamuk ini adalah penyelundup terburuk di dunia, karena mereka tidak peduli dengan visa dan paspor. Sulit mengendalikan pergerakan orang dari Papua Nugini ke Indonesia, tetapi lebih sulit lagi mengendalikan pergerakan nyamuk dari Papua Nugini ke Indonesia," kata Budi.

Sementara itu, Special Advisor APLMA sekaligus Presiden Keenam Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, menyebut kawasan Asia Pasifik mencatat 4,8 juta kasus malaria dengan 99,5 persen terkonsentrasi di delapan negara, yakni Afganistan, Bangladesh, India, Myanmar, Indonesia, Pakistan, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon.

"Kita dihadapkan pada kesenjangan pendanaan sebesar 4,3 miliar dolar. Di Asia Pasifik saja, kita membutuhkan tambahan 478,1 juta untuk tetap berada di jalur yang benar," ungkap Susilo di kesempatan yang sama.

Dari jumlah kasus malaria di Asia Pasifik, Indonesia menyumbang 12 persen. Susilo mengungkap tantangannya terdiri atas banyak aspek, termasuk pendanaan, koordinasi lintas batas, dan tingkat partisipasi.

"Namun saya percaya dengan Pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Presiden Prabowo dan Menteri Budi Gunadi Sadikin, dapat menyelesaikan misi kita [mengeliminasi malaria pada tahun 2030]," tutupnya.

Baca juga artikel terkait BEBAS atau tulisan lainnya dari Sandra Gisela

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Sandra Gisela
Penulis: Sandra Gisela
Editor: Siti Fatimah