tirto.id - Wacana pelarangan konsumsi vapealias rokok elektrik kembali bergulir menyusul rencana Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 tahun 2012.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugihantoni mengatakan, revisi itu akan jadi landasan bagi Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan (BPOM) untuk menindak penjualan rokok elektrik.
"Kalau bicara rokok elektrik secara keseluruhan termasuk hasil diskusi dengan Pak Menko PMK. Posisi kita adalah melarang. Nanti BPOM yang punya otoritas untuk melakukan pelarangan sebuah produk,” ucap Anung di Kemenkes Senin (11/11/2019).
Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Daeng M. Faqih mendukung langkah pemerintah tersebut. Menurutnya, klaim bahwa rokok elektrik lebih aman dan bisa menjadi solusi alternatif dari rokok kretek dan putih terbantahkan dengan sendirinya.
"Bahayanya ke kesehatan sama saja dengan rokok biasa. Rokok elektrik juga tidak bisa menjadi cara berhenti merokok. Enggak bisa,” ucap Daeng saat dihubungi reporter Tirto Selasa (12/11/2019).
Menurut kajian Perhimpunan Dokter Paru Indonesia pada Mei 2019 lalu, rokok elektronik tetap akan menimbulkan kecanduan karena memiliki kandungan nikotin cair.
Dalam kajian itu, IDI memuat kajian WHO tahun 2003 yang menyatakan nikotin pada rokok elektrik tidak memenuhi syarat pengganti nikotin. Sebab, perokok seharusnya berhenti merokok usai beralih ke vape, tetapi yang terjadi malah sebaliknya: konsumsi vape malah jadi kebiasaan baru.
Di samping itu, vape juga dinilai sama berbahaya dengan rokok sebab, meski tidak mengandung TAR dan karbon monoksida, ada kandungan lain seperti propylne glycol, gliserol, formaldehid, nitrosamin yang sama berbahayanya sebagai penyebab kanker.
Belum lagi kandungan logam berat, silikat, dan nanopartikel dalam vape dinilai bisa menyebabkan iritasi, peradangan dan kerusakan sel.
Selain masalah kesehatan, IDI juga mengkhawatirkan konsumsi rokok elektrik pada remaja dan anak-anak. Apalagi, Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 menunjukkan bahwa prevalensi merokok penduduk usai 18 tahun naik dari sebelumnya 7,2 persen ke 9,1 persen.
Hilangnya Potensi Penerimaan
Ketua Bidang Hubungan Masyarakat Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), Rhomedal mengaku tak terkejut dengan wacana larangan konsumsi rokok elektrik tersebut. Sebab, meski terus digaungkan, wacana itu tak pernah terealisasi.
"Ini sudah sering terjadi. Sudah terbiasa. Kita sudah terlalu sering melewati ini, jadi kami fokus kerjain bisnis kami saja,” ucap Rhomedal dihubungi reporter Tirto Selasa (12/11/2019).
Kendati demikian, asosiasinya tetap meminta pemerintah tidak melakukan pelarangan begitu saja apalagi ia menilai belum ada kajian yang jelas mengenai dasar kebijakan ini.
Ia meminta pemerintah duduk terlebih dahulu dengan pelaku usaha, sebab selama ini permintaan mereka untuk bertemu kerap tidak ditanggapi. Bahkan jika perlu diadakan penelitian seperti di Inggris. Ia bilang hasil penelitian di negara itu menyebutkan vape lebih aman.
Bagaimana pun, pelarangan vape bisa berdampak pada industri yang masih bertumbuh sekaligus akan memengaruhi penerimaan negara karena rokok elektronik juga menyumbang cukai yang cukup besar.
Sejak Juli 2018 lalu, pemerintah menggolongkan vape ka dalam kategori hasil produk tembakau lainnya (HPTL) dan menerapkan tarif sebesar 57 persen.
Saat itu, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) memperkirakan penerimaan negara dari cukai vape mencapai Rp50-70 miliar selama rentang enam bulan.
Dengan asumsi tersebut, cukai vape yang bisa masuk ke kantong pemerintah di atas Rp100 miliar selama setahun. Berdasarkan data DJBC sepanjang semester I/2019 saja penerimaan cukai vape sudah mencapai Rp85,6 miliar.
Ketika ditanya mengenai tudingan bahwa vape menyasar perokok muda dan di bawah umur, Rhomedal membantahnya. Ia bilang selama ini rokok elektronik yang dijual anggotanya selalu disertai peringatan 18+. Peredarannya pun tidak seperti rokok elektronik di Amerika yang sempat menembus supermarket sehingga terjangkau anak-anak.
"Kita anggota asoiasi selalu ada 18 plus. Kami jaga komitmennya benar dan ada tanda tangan kode etik,” pungkas Rhomedal.
Kepala BPOM Penny K. Lukito mengatakan, peredaran vape di Indonesia sebenarnya ilegal karena lembaganya tak pernah mengeluarkan izin edar. Namun, karena Perpres 109/2012 hanya mengatur pengamanan produk tembakau berupa rokok konvensional, pengendalian vape berada di luar kewanangan BPOM.
"Harus ada payung hukumnya, karena [rokok elektrik] mengandung nikotin dan berbahaya,” ucap Penny.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana