Menuju konten utama

Polemik Rokok Elektronik: Antara Masalah Kesehatan atau Cukai

Rokok elektronik mendapat cukai sebesar 57 persen, sedangkan cukai untuk rokok konvensional hanya sebesar 10 persen.

Polemik Rokok Elektronik: Antara Masalah Kesehatan atau Cukai
Pekerja menata botol berisi cairan rokok elektronik (vape) di Bandung, Jawa Barat, Selasa (7/11/2017). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

tirto.id - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) merekomendasikan kepada pemerintah untuk melarang peredaran rokok elektronik (vape) di Indonesia. Ketua Umum IDI Daeng M. Faqih menyebut rekomendasi diberikan sebagai antisipasi atas polemik rokok eletronik yang manfaatnya masih simpang siur.

"Kami merekomendasikan untuk menerbitkan pelarangan. Kedua melarang peredaran rokok elektronik di Indonesia," ucap Faqih dalam diskusi bertajuk 'Fenomena Rokok Elektronik di Masyarakat: Ancaman atau Solusi?' di PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Selasa (14/52019).

Pada satu sisi, IDI mendapati banyak penelitian yang menyatakan rokok elektronik ini relatif lebih baik dibanding konvensional. Namun, di saat yang sama, konferensi WHO pada 2014 menyatakan belum ada cukup bukti bahwa klaim itu benar. Salah satu sebabnya, penelitian yang menunjukkan sisi positif itu dinilai belum konsisten.

Ketua Pokja Masalah Rokok Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Feni Fitriani memiliki temuan yang menguatkan keraguan WHO tersebut. Dalam kajiannya, ia mendapati cairan rokok elektronik mengandung nikotin yang dapat menimbulkan kecanduan, bahan penyebab kanker (karsinogen) seperti propylene glycol, gliserol, formaldehid, nitrosamine, serta bahan beracun lain seperti logam berat, silikat, dan nanopartikel.

"Rokok elektronik berpotensi menimbulkan adiksi, meningkatkan risiko kanker, dan risiko kesehatan lainnya," ujar Feni.

Risiko yang dipaparkan Feni juga diamini sejumlah penelitian yang dilakukan sejumlah ahli kesehatan. PDPI mengonfirmasi bahwa rokok elektronik dapat menyebabkan kerusakan pada sistem paru dan pernapasan.

Lalu Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (Perki) menyatakan rokok elektronik memiliki efek buruk dan menimbulkan penyakit bagi peredaran darah dan jantung.

Sementara itu, perhimpunan lainnya juga menyebut rokok elektronik memiliki dampak buruk bagi pencernaan, sistem imunitas, gigi-mulut, hingga memiliki risiko sakit TBC.

Risiko-risiko tersebut juga dikhawatirkan turut diterima anak-anak yang menjadi perokok pasif. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pun turut menyoroti adanya risiko bahwa target utama dari kehadiran rokok elektronik ini juga menyasar anak-anak.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Badan Khusus Pengendalian Tembakau PP Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat (IAKMI), Widyastuti Soerojo mengatakan pemerintah sebenarnya sudah menyiapkan draf pelarangan rokok elektronik. Namun, belakangan draf itu batal dan digantikan Permendag Nomor 86 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Rokok Elektrik (PDF) dan Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 146 Tahun 2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau (PDF).

Widyastuti mengatakan ketiadaan aturan yang melarang vape ini memancing investasi asing skala besar ke Indonesia. Meskipun ada klaim rokok elektronik memenuhi tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG’s), Widya yakin bahwa di balik ini ada kepentingan bisnis dari perusahaan rokok multinasional.

"Mereka ingin meningkatkan pendapatan perusahaan dengan rokok elektronik. Ini jadi isu bisnis, mereka tidak bicara kesehatan," ucap Widya.

Penyumbang Cukai

Menanggapi hal itu, Ketua Humas Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), Rhomedal Aquino mempertanyakan motif IDI yang tiba-tiba merekomendasikan pelarangan vape. Menurut Rhomedal, masih banyak barang konsumsi lain yang sama berbahayanya seperti junk food.

"Saat banyak hal yang bisa diurus, kok, malah nyerang vape," ucap Rhomedal saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (15/5/2019).

Rhomedal mengklaim penelitian di Inggris telah menyatakan bahwa vape 95 persen lebih aman dibanding rokok konvensional. Ia menambahkan Food and Drug Adminsitration (FDA) dari Amerika juga sudah menganjurkan vape sebagai pengganti rokok.

Sebaliknya, Rhomedal menilai sejumlah penjelasan yang disampaikan IDI dan asosiasi kedokteran lainnya sebatas asumsi ilmiah. Sebab di Indonesia, kata dia, belum ada penelitian yang membuktikan bahayanya.

"Coba kasih lihat kami data-datanya. Kemarin, kan, masih asumsi ilmiah belum penelitian kelembagaan seperti di Amerika," ujar Rhomedal.

Rhomedal meminta industri vape yang sedang berkembang ini tak banyak diganggu. Lagi pula, industri vape kini menjadi penyumbang cukai cukup besar dan sudah dilegalkan pemerintah. Rokok elektronik mendapat cukai sebesar 57 persen, sedangkan cukai untuk rokok bukan elektronik hanya sebesar 10 persen.

Kepala Seksi Tarif Cukai dan Harga Dasar II Ditjen Bea Cukai, Agus Wibisono mengatakan pemerintah meraih pendapatan sebesar Rp105 miliar dari cukai rokok elektronik pada 2018.

Agus menjelaskan, maraknya rokok elektronik yang memiliki dampak dalam masyarakat menjadikan pemerintah mengambil pungutan cukai. Liquid dalam rokok elektrik sendiri menjadi legal lantaran dikategorikan sebagai produk lain dari tembakau

"Perkembangan teknologi tidak bisa dihindari," kata Agus seperti diberitakan Antara, Jumat (22/3/2019).

Baca juga artikel terkait ROKOK ELEKTRONIK atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Gilang Ramadhan & Mufti Sholih