tirto.id - Guru di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 2 Kubu, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah gerah sekolah mereka dilempari tinja. Para guru merasa pelemparan itu terkait sikap orang tua siswa yang tak kooperatif dengan pihak sekolah. Akhirnya sebuah spanduk dengan sejumlah kalimat sindiran dipasang. Bunyinya: “Info untuk siswa dan wali murid, orang yang anaknya tidak mau ditegur/dididik oleh guru SDN 2 Kubu, 1. Silakan didik sendiri, 2 Buat kelas sendiri, 3. Buat aturan sendiri, 4. Buat sekolah sendiri, 5. Buat raport dan ijazah sendiri”.
Saat spanduk itu dipotret dan diunggah ke media sosial dengan cepat ia menjadi viral. Konflik antara guru dengan wali murid sebagaimana tergambar dalam isi spanduk itu jelas bukan yang pertama. Dalam beberapa kasus, konflik wali murid dan guru bahkan berujung penganiayaan dan kematian yang melibatkan siswa.
Agustus 2016 seorang wali murid di SMK Negeri 2 Makassar meninju guru mata pelajaran arsitek. Tinju itu membuat darah ngocor dari hidung sang guru. Kejadian bermula saat siswa berinisial MAS (15 tahun) keluar masuk kelas tanpa membawa kertas gambar. Saat ditegur lantaran tidak mengejarkan tugas dan malah mengganggu teman-temannya MAS malah mengeluarkan kata-kata tidak patut. Emosi sang guru berinisial D (45 tahun) tersulut, ia menampar pipi MAS. Mengetahui penamparan itu AA (38 tahun) orang tua dari MAS tak terima. Ia datang ke sekolah dan meminta alasan hingga akhirnya meninju wajah D. Kasus penamparan D kepada siswanya dan pemukulan AA kepada MAS berujung proses hukum di Polsek Tamalate.
Medio Desember 2017, IT guru SMKN 1 Pagar Dewa Kecamatan Lubai Ulu Kabupaten Muara Enim mesti menjalani perawatan di Rumah Sakit Siti Khadijah Palembang usai dihajar A yang merupakan wali murid siswa berinisial K. Penganiayaan itu bermula ketika IT menegur K yang memarkir motornya di tempat parkir guru. K tidak terima ia bilang tanah sekolah itu milik neneknya dan selanjutnya melaporkan teguran itu ke A.
Tanpa basa-basi A langsung menghajar kepala dan wajah IT saat sang guru sedang mengajar di ruang kelas. A juga menginjak-injak badan IT yang tersungkur. A yang sempat melarikan diri akhirnya berhasil diciduk petugas Polres Muara Enim. A ditahan di Mapolsek Rambang Lubai untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Februari 2018 foto guru perempuan dengan wajah bersimbah darah menjadi viral di jagat maya. Guru sekaligus kepala sekolah SMP 4 Lolak, Sulawesi Utara berinisial AT (57 tahun) itu terluka lantaran dihatam dengan meja kaca oleh orang tua murid berinisial DP (41 tahun).
Emosi DP terbakar saat ia dipanggil AT untuk membahas unggahan berita di media sosial yang dilakukan anaknya dengan konten salah satu siswa SMP membawa alat tes kehamilan. DP tidak terima anaknya dibina dan dipersalahkan AT. Sebab menurutnya yang mengunggah berita itu bukan hanya anaknya. AT lantas melaporkan penganiayaan ini ke Polda Sulawesi Utara.
Penganiayaan terhadap guru bukan cuma dilakukan wali murid tapi juga murid. Awal Februari 2018, seorang guru berinisial ABC (26 tahun) di Sampang Madura meregang nyawa karena mengalami mati batang otak usai dihajar hingga tersungkur oleh siswanya sendiri di dalam kelas. Pelaku berinisial HI tidak terima wajahnya dicoret dengan cat karena dianggap tidak mengindahkan tugas ABC. Ia ditahan Polres Sampang dengan jerat hukum pelanggaran Pasal 351 ayat 3 KUHP tentang penganiayaan yang mengakibatkan matinya seseorang. Ancaman hukumannya 7 tahun penjara.
Benarkah Hanya Kasuistis?
Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO Kemendikbud Arief Rahman menganggap penganiayaan wali murid dan siswa kepada guru hanya bersifat kasuistik. Ia beralasan sistem pendidikan di Indonesia dan sekolah tidak ada yang membenarkan perilaku kekerasan. “Apa ada sekolah yang mengajarkan anaknya untuk membunuh? Kalau ada, saya yakin sudah 30 ribu guru ini meninggal di Indonesia,” kata pembina sekolah Garuda Cendekia dan sekolah Labschool Cibubur ini kepada Tirto.
Bagi Arief masih banyak murid dan wali murid yang menghargai profesi guru. Arief mencontohkan di sekolah yang ia bina para guru, murid, dan wali murid berinteraksi dengan baik. Namun persoalannya hal-hal positif semacam ini tidak diangkat oleh media massa sebagai berita. “Tapi kan itu tidak diekpos untuk berita,” ujarnya.
Kekerasan menurut Arief merefleksikan pengalaman hidup pelakunya yang juga akrab dengan hukuman fisik. Namun ia juga mengingatkan seorang guru mesti punya cara tepat menghukum siswa. Sebab, setiap siswa memiliki karakteristik emosi yang beragam. Mencoret pipi siswa di dalam kelas dengan cat misalnya, bisa saja dianggap sebagai hukuman yang mempermalukan.
Namun bukan berarti hukuman fisik tidak diperlukan. Arief mengatakan hukuman fisik serupa push-up masih wajar diterapkan. “Yang penting tujuannya bukan mempermalukan. Kalau anak harus malu terhadap kesalahannya, itu wajar. Tapi kalau mempermalukan murid, buat apa?” katanya.
Budi Trikorayanto, praktisi pendidikan di salah satu Sekolah Perkumpulan Mandiri memandang sistem pendidikan Indonesia sudah mengatur bentuk hukuman guru kepada siswa. Salah satunya tidak boleh adanya hukuman fisik bagi siswa. Yang dimaksud oleh hukuman fisik oleh Budi adalah bentuk pemukulan atau kontak fisik.
Aturan ini tertuang dalam Pasal 54 Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002. “Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan atau lembaga pendidikan lainnya,” tulis aturan tersebut.
“Jadi tindakan guru sudah jelas, siswa yang harusnya bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Kalau ada guru yang main fisik juga kita keluarkan, kok,” kata Budi menegaskan.
Ketua Persatuan Guru Seluruh Indonesia Unifah Rasidi meminta pemerintah memperhatikan perlindungan terhadap guru. Hal ini agar penganiyaan terhadap guru yang berujung luka dan kematian tidak kembali terulang. “Semoga Pak Menteri [Pendidikan dan Kebudayaan] bisa mengerti. Kami akan selalu profesional dalam bekerja,” kata Unifah dalam acara Kongkernas di Pacific Hotel Batam, Sabtu (3/2/2018).
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kemendikbud Ari Santoso mengatakan pihaknya telah memerintahkan sekola meningkatkan komunikasi antara guru dengan orang tua murid. Ari mengatakan guru mestinya melibatkan orang tua dalam pendidikan siswa. Sebab waktu delapan jam yang dimiliki sekolah untuk mendidik siswa tidak cukup untuk pendidikan karakter. “Ada kecenderungan pendidikan di rumahnya yang perlu ditingkatkan lagi. Selain pendidikan karakter. Komunikasi antara murid dan orangtuanya ini harus ditingkatkan,” kata Ari.
Ari merasa kasus kekerasan terhadap guru tidak perlu dibesar-besarkan. Ia menilai kasus semacam itu tidak menggambarkan kondisi pendidikan di Indonesia secara holistik. “Indonesia itu siswa ada [sekitar] 50 juta siswa, tenaga pengajar [sekitar] 3 juta. Di antara itu ada kejadian anomali (kekerasan) di antara proses mengajar. Tapi kita nggak bisa menggeneralisasi semua seperti itu,” katanya.
Kemendikbud, kata Ari, membolehkan guru menegur dan menghukum murid dalam rangka mendidik. Namun Kemendikbud melarang hukuman dan teguran yang bersifat kontak fisik. Perkara perlindungan guru, Ari mengatakan hal itu menjadi tanggung jawab dinas pendidikan di masing-masing daerah. Ia mengklaim sudah ada aturan matang dan ketat mengenai perlindungan guru. “Kalau di pengawasan itu kewajiban siapa? Di Dinas. Kementrian mengawasi di dalam koridor peraturan-peraturan itu dijalankan. Kementrian tidak bisa turun langsung ke sekolah. SMP/SMA itu di dinas provinsi,” katanya.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Jay Akbar