tirto.id - Kepolisian Republik Indonesia alias Polri harus membuktikan lahirnya Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) bukan sekadar hadiah dari Presiden ke-7 RI Joko Widodo.
Tidak ada cara lain selain menunjukkan bahwa Kortas Tipikor Polri bekerja tanpa tebang pilih. Termasuk, tidak ragu-ragu menyikat aparat penegak hukum bandel, baik di instansi kepolisian maupun lembaga penegak hukum lain.
Hanya itu satu-satunya cara membuktikan kepada masyarakat luas bahwa kehadiran Kortas Tipikor Polri berkorelasi positif terhadap upaya pemberantasan korupsi. Pasalnya, rencana membentuk lembaga ini sudah datang sejak lama. Bahkan, tidak berlebihan bila menyebut Kortas Tipikor begitu dinanti kelahirannya oleh Mabes Polri.
Maka, pembentukan Kortas Tipikor Polri lewat Peraturan Presiden Nomor 122/2024 harus menjadi momen pembuktian bagi Polri. Tentu Polri paham betul, sapu yang kotor tidak akan mampu membersihkan lantai yang kotor secara maksimal.
Sejarah Kortas Tipikor Polri
Deputi Sekjen Transparency International Indonesia (TII), Wawan Suyatmiko, menyatakan wacana membentuk Kortas Tipikor sudah ada sejak 2013 silam. Pada 2013, Kapolri kala itu, Jenderal Sutarman, berupaya membentuk tim pemberantasan korupsi khusus di kepolisian dengan nama Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi. Setelah kajian selama hampir sebulan, Sutarman membatalkan gagasan tersebut.
Wacana ini muncul kembali pada 2017, kala itu Kapolri dijabat Jenderal Tito Karnavian. Dalam rapat Komisi III DPR bersama Polri pada 23 Mei 2017 silam, Tito mengeluhkan anggaran Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dittipidkor) Bareskrim Polri yang rendah sehingga pengungkapan kasus tidak optimal.
Tito mengusulkan untuk membentuk Densus Antikorupsi di tubuh Polri, namun rencana ini juga menguap.
“Karena alasannya sudah ada Dittipikor di Bareskrim. Sekarang pun kan tidak berbeda jauh [Kortas Tipikor], hanya menaikkan kepala Korps nantinya dari bintang satu ke bintang dua,” kata Wawan kepada reporter Tirto, Jumat (18/10/2024).
Sapu Bersih Korupsi di Polri & APH Lain
Kortas Tipikor Polri memang merupakan pengembangan dari Dittipidkor di Bareskrim Polri. Berdasarkan Pasal 20A ayat 1 Perpres 122/2024, Kontras Tipikor Polri tidak berposisi di bawah Bareskrim, melainkan menjadi unsur pelaksana tugas pokok yang berada langsung di bawah tanggung jawab Kapolri.
Kortas Tipikor Polri dimandati tugas membina dan melakukan pencegahan, penyelidikan, serta penyidikan dalam pemberantasan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU), serta melakukan penelusuran dan pengamanan aset dari kejahatan korupsi.
Wawan melihat seharusnya jika Kortas Tipikor Polri merupakan improvisasi dari Dittipidkor, maka seharusnya korps ini juga tidak segan-segan menyapu tubuh internal Polri. Pasalnya, mesti ada peningkatan upaya pemberantasan korupsi setelah Kortas Tipikor Polri lahir.
“Misalnya di polisi terakhir pernah ada korupsi simulator SIM yang melibatkan jenderal bintang dua. Nah ini berani enggak? Ini jadi tantangan besar,” ujar Wawan.
Kortas Tipikor Polri diharapkan mempertajam rencana kebijakan umum lembaga untuk lima tahun ke depan. Korps ini harus memiliki fungsi, supervisi, hingga rencana kesinergian yang jelas.
Wawan percaya, peran Kortas Tipikor Polri dengan aparat penegak hukum lain yang punya tugas pemberantasan korupsi seperti KPK dan Kejagung, bisa saling melengkapi. Bahkan, kata dia, sangat baik jika terjadi kerja sama untuk saling bertukar informasi dan investigasi bersama dalam penanganan kasus dugaan korupsi tertentu.
“Seharusnya sudah tidak ada kendala memberantas kasus pungli, tapi juga kasus besar yang bicara sampai misalnya pencucian uang [di tubuh Polri], mereka harus lebih mandiri,” ujar Wawan.
Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, menilai pembentukan Kortas Tipikor memang dapat dibaca sebagai peningkatan kelembagaan di internal Polri. Tentu, adanya peningkatan kelembagaan internal berimplikasi pada kebutuhan sumber daya yang lebih, baik tenaga manusia dan logistik.
“Upgrade kelembagaan di internal Polri tentu punya potensi meningkatkan peran polri dalam menangani kasus korupsi,” ucap Zaenur kepada reporter Tirto, Jumat (18/10/2024).
Namun, Zaenur menilai lahirnya Kortas Tipikor Polri belum tentu berkorelasi dengan upaya pemberantasan korupsi yang lebih baik di Indonesia. Termasuk, belum tentu Korps ini berani menyapu dugaan kasus korupsi di pusaran penegak hukum. Hal ini, kata dia, mesti mereka buktikan sendiri kepada masyarakat.
Dengan potensi sumber daya lebih, Kortas Tipikor Polri diharapkan bekerja maksimal dalam memberantas korupsi. Terutama, kata Zaenur, pemberantasan korupsi dalam tubuh instansi penegak hukum yang kompleks dan rawan konflik kepentingan.
Sementara itu, Zaenur tidak melihat adanya potensi tumpang tindih tugas dengan KPK. Ia menilai, lemahnya KPK saat ini disebabkan oleh revisi Undang-Undang KPK yang membuat lembaga antirasuah jadi tidak independen. Buruknya kinerja KPK dinilai tidak ada kaitannya dengan kerja-kerja lembaga di eksternal mereka.
“Enggak ada kaitan dengan [kerja] KPK, selama politik hukum negara masih menghendaki KPK sebagai lembaga yang independen,” tegas Zaenur.
Meredam Ego Sektoral
Peneliti ISESS bidang kepolisian, Bambang Rukminto, memandang masalah korupsi bukan cuma terjadi di kementerian/lembaga, tetapi diduga terjadi di tubuh Polri dengan maraknya kasus pungli, fenomena beking, hingga jual beli pasal-pasal kasus.
Semangat pembentukan Kortas Tipikor, kata Bambang, justru didasari bahwa masalah korupsi begitu mengakar dan sistemis di tubuh penegak hukum.
Bambang menilai peningkatan kapasitas Dittipidkor di Bareskrim menjadi Kortas Tipikor Polri tanpa disertai peningkatan kualitas dan integritas Korps Bhayangkara, akan percuma saja. Termasuk improvisasi sistem kontrol dan pengawasan internal yang masih lemah di Polri.
“Alih-alih menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi yang efektif, justru malah sekadar menjadi alat untuk menakuti pejabat bahkan menjadi alat bargaining yang berujung kolusi dan korupsi,” jelas Bambang kepada reporter Tirto, Jumat (18/10/2024).
Selanjutnya, perlu ada sinergitas pemberantasan korupsi trisula lembaga penegakan pidana korupsi, yakni Polri, Kejagung, dan KPK. Kerja sama, menurut Bambang, perlu didefinisikan ulang dan disepakati bersama.
Jika tidak ada kesepakatan dan kejelasan peran masing-masing, berpotensi memunculkan tarik ulur yang bakal saling melemahkan. Belum lagi jika muncul ego sektoral dan gesekan antarlembaga yang justru berebut menjadi pemain utama dalam pemberantasan korupsi.
“Memang ada fakta minimnya koordinasi antara Polri dan KPK. Dan sangat naif bila problem tersebut dijawab dengan hanya peningkatan status dari Dittipidkor menjadi Kortas Tipikor, yang tak menyentuh substansi masalah,” ucap Bambang.
Di sisi lain, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memastikan kehadiran Kortas Tipikor Polri sebagai upaya dari Korps Bhayangkara bersama KPK dan Kejagung memberantas korupsi.
Listyo menyebut nantinya ada tiga direktorat di bawah Kortas Tipikor Polri, yakni Direktorat Pencegahan, Direktorat Pendidikan, dan Direktorat Penelusuran dan Pengamanan Aset.
"Tentunya ini sejalan dengan apa yang menjadi kebijakan Bapak Presiden, baik Presiden Jokowi, maupun Presiden terpilih, Prabowo Subianto," kata Listyo kepada wartawan di kawasan Monas, Jakarta Pusat, Jumat (18/10/2024).
Sementara itu, Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika, menyebut tidak ada potensi tumpang tindih antara tugas KPK dengan Kortas Tipikor Polri. Justru, kata Tessa, semakin banyak pemangku kebijakan yang terlibat, maka semakin baik dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Meski begitu, Tessa mengingatkan agar upaya ini dilakukan tanpa melemahkan satu sama lain. Tessa menilai pembentukan Kortas Tipikor Polri merupakan wujud keseriusan presiden Jokowi dalam memberantas korupsi.
"Semakin banyak stakeholder yang terlibat, semakin banyak pihak, diperkuat dengan tidak melemahkan pihak yang lain, akan mengakselerasi upaya pemberantasan korupsi," kata Tessa dalam keterangan tertulis, Jumat (18/10/2024).
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Bayu Septianto