Menuju konten utama

Keajaiban Hukum Kasus SYL: Korupsi Besar tapi Hukumannya Ringan

Uang pengganti dengan nominal yang besar seharusnya menjadi keputusan hakim agar tak ada lagi penyelenggara negara terlibat korupsi.

Keajaiban Hukum Kasus SYL: Korupsi Besar tapi Hukumannya Ringan
Terdakwa kasus dugaan pemerasan dan gratifikasi di Kementerian Pertanian Syahrul Yasin Limpo (kiri) menjawab pertanyaan wartawan usai sidang lanjutan dengan agenda pembacaan putusan oleh majelis hakim di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (11/7/2024).ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/nym.

tirto.id - Perjalanan kasus korupsi eks Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL) perlahan menemui buntutnya. Teranyar, vonis SYL oleh hakim yaitu 10 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider empat bulan penjara.

Pembacaan vonis dilakukan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada Kamis (11/7/2024).

Jauh sebelum pembacaan putusan sidang, kasus yang menyeret SYL diwarnai dengan sederet kejadian yang bahkan menyeret pimpinan KPK.

Penangkapan SYL bermula saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima laporan dari masyarakat terkait dugaan tindak pidana korupsi di lingkungan Kementan. Dari laporan tersebut, KPK kemudian melakukan serangkaian pemeriksaan.

Ketika KPK mulai melakukan pemeriksaan, SYL mengundurkan diri sebagai Mentan. Pengunduran diri dilakukan melalui penyerahan surat kepada Menteri Sekretariat Negara (Mensetneg) Pratikno pada 5 Oktober 2023.

Pada saat yang bersamaan, muncul isu pemerasan terhadap SYL yang dilakukan oleh pimpinan KPK. Tak tanggung-tanggung, pimpinan yang dimaksud adalah Ketua KPK Firli Bahuri.

Isu ini mencuat usai beredar surat berisikan pemanggilan terhadap sopir SYL oleh Polda Metro Jaya pada Oktober 2023. Akhirnya, Polda Metro Jaya menetapkan Firli Bahuri sebagai tersangka kasus pemerasan terhadap SYL pada 22 November 2023.

Di satu sisi, usai melakukan serangkaian pemeriksaan, KPK menetapkan SYL sebagai tersangka korupsi pada 11 Oktober 2023. SYL ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi berupa pemerasan dalam jabatan, gratifikasi, dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Selain SYL, KPK menetapkan dua orang lain sebagai tersangka, yakni Sekjen Kementan Kasdi Subagyono dan Direktur Kementan Muhammad Hatta. Pada 13 Oktober 2023, SYL dan dua tersangka lain resmi ditahan.

Persidangan kasus SYL dimulai dengan agenda pembacaan dakwaan pada 28 Februari 2024. Sidang SYL dan dua tersangka lain kemudian bergulir rutin setiap pekan dengan berbagai agenda, mulai dari pemeriksaan saksi hingga pemeriksaan alat bukti.

Jaksa penuntut umum (JPU) menyodorkan beberapa alat bukti terkait kasus korupsi SYL. Alat bukti yang kerap disodorkan berupa keterangan sejumlah saksi. Terungkap melalui keterangan alat bukti adalah SYL menyalurkan uang yang diduga berasal dari uang Kementan untuk biduan Nayunda Nabila.

Dari salah satu rangkaian sidang, terungkap fakta bahwa SYL pernah memberikan uang untuk cicilan apartemen Nayunda. Menurut biduan tersebut, uang itu berasal dari kantong pribadi SYL.

Keterangan alat bukti lain menyatakan SYL kerap meminta uang dari Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian Kementan untuk kebutuhan pribadinya selama empat tahun. Total uang yang disalurkan kepada SYL mencapai Rp6,8 miliar.

Dana tersebut diambil dari potongan dana perjalanan para pegawai di Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian. Pemotongan bisa mencapai 10-50 persen per dana perjalanan.

Tak berhenti di situ, SYL juga membelikan kado untuk putrinya, Indira Chunda Thita Syahrul alias Thita, sebuah senjata api dari dana Kementan. Tepatnya, SYL menggunakan dana dari Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementan.

Definisi sayang anak, SYL juga menuruti keinginan anak laki-lakinya, Kemal Redindo alias Dindo, untuk membayarkan tagihan sparepart kendaraannya. Tak cuma untuk sparepart tersebut, Dindo kemudian meminta uang untuk renovasi kamar.

Di satu sisi, SYL maupun kuasa hukumnya membantah keterangan alat bukti yang terungkap selama persidangan. Mantan Gubernur Sulawesi Selatan itu pun menyebut dirinya dizalimi atas tuntutan jaksa penuntut umum.

SYL mengatakan, tuntutan jaksa kejam karena merasa tidak pernah melakukan aksi korupsi selama menjadi mentan. Pria yang sempat menjadi kader Partai Golkar ini juga menyayangkan pandangan publik seolah dirinya dan keluarga adalah rakus.

"Bagaimana mungkin istri, anak dan cucu saya bisa kenal dan tahu apalagi melakukan hal tersebut kalau tidak dimulai pendekatan dan cari muka," ucap SYL, saat sidang di Pengadilan Tipikor, 5 Juli 2024.

SYL bercerita, aksi cari muka para pejabat di internal Kementerian Pertanian berkaitan upaya naik jabatan karena punya akses dekat dengan dirinya selaku mentan. Pria kelahiran tahun 1955 ini mencontohkan para pegawai menawarkan fasilitas kepada dirinya dan keluarga.

"Semua ini seakan-akan menjadi fasilitasi untuk keluarga menteri. Dengan ucapan khas 'nanti kami yang selesaikan'," ujar SYL.

Usai serangkaian sidang pemeriksaan alat bukti dan bantahan SYL, majelis hakim membacakan putusan sidang pada 11 Juli 2024. SYL lantas divonis 10 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider empat bulan penjara. Vonis ini lebih rendah daripada tuntutan jaksa, yakni 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta.

Salah satu pertimbangan hakim yang meringankan adalah SYL termasuk warga lanjut usia (lansia), yakni 69 tahun. SYL juga belum pernah dihukum. Selama menjadi Mentan, politisi kawakan ini juga dinilai berkontribusi aktif selama penanganan pandemi Covid-19 dan menerima serangkaian penghargaan.

Hakim kemudian memutuskan SYL terbukti bersalah berdasarkan Pasal 12 huruf e juncto pasal 18 Undang-Undang Indonesia nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang Undang Republik Indonesia nomor 31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi junco ayat 55 ayat 1 ke1 KUHP junco ayat 64 ayat 1 KUHP sebagaimana dakwaan alternatif pertama.

Selain pidana kurungan, SYL juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp14 miliar dan 30.000 dolar Amerika Serikat. Uang pengganti tersebut harus dibayarkan paling lama satu bulan setelah putusan dibacakan.

Sidang lanjutan Syahrul Yasin Limpo

Terdakwa kasus dugaan pemerasan dan gratifikasi di Kementerian Pertanian Syahrul Yasin Limpo berjalan untuk menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (8/7/2024). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/nym.

Hukuman Uang Pengganti Seharusnya Lebih Besar

Dosen hukum dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar, menilai sudah sepantasnya SYL divonis 10 tahun penjara. Vonis ini dinilai tak beda jauh dengan tuntutan JPU.

Sebab, menurut dia, hakim biasanya memvonis terdakwa dengan setengah masa tahanan dari tuntutan jaksa.

"Dari tuntutan 12 tahun diputus hakim 10 tahun, ini jelas telah sesuai dan menenuhi rasa keadilan masyarakat. Biasanya dalam perkara tindak pidana umum, putusan itu separuh tuntutan," urai Abdul melalui pesan singkat, Jumat (12/7/2024).

"Tetapi karena tipikor ini tindak pidana khusus, maka wajar saja dihukum tiga per empat tuntutan dan cukup adil," lanjutnya.

Ia menyatakan, persidangan kasus SYL juga sudah berjalan dengan baik. JPU selama persidangan telah mengajukan alat bukti berupa keterangan saksi, ahli, dan dokumen terkait kasus SYL.

"Terdakwa sudah menggunakan haknya mengajukan saksi yang meringankan dan melakukan pembelaan," tutur Abdul.

Sementara itu, pengamat hukum Fachrizal Afandi menyatakan uang pengganti dalam vonis SYL masih terlalu kecil. Seharusnya, SYL disebut membayar uang pengganti hingga Rp40 miliar.

Ia turut menilai pertimbangan meringankan hakim terkait jasa SYL tidak masuk akal. Pasalnya, SYL sebagai Mentan memang harus melayani masyarakat.

"Seharusnya hakim fokus di uang pengganti, memiskinkan koruptor, itu. Kalau alasannya meringankan karena dia [SYL] berjasa di pandemi, itu kan enggak masuk akal," sebut Fachrizal.

"Di penjara boleh 10 tahun karena sudah lansia kan, tapi perampasan aset itu harus dikejar. Jaksa kan minta Rp 40 miliar [sebagai uang pengganti]. Itu [vonis hakim] masih terlalu kecil," lanjutnya.

Ia menekankan uang pengganti dengan nominal yang besar seharusnya menjadi keputusan hakim agar tak ada lagi penyelenggara negara yang ikut menjadi koruptor.

"Harusnya ke depan kalau ada kejadian seperti ini biar ada pembelajaran juga biar [pejabat] enggak melakukan hal yang serupa, itu ada memiskinkan," tegas Fachrizal.

Baca juga artikel terkait KORUPSI atau tulisan lainnya dari Muhammad Naufal

tirto.id - News
Reporter: Muhammad Naufal
Penulis: Muhammad Naufal
Editor: Bayu Septianto