tirto.id - Kasus suap dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) memasuki babak baru. Jaksa KPK Ronald Worotikan menyebut keterlibatan Menpora Imam Nahrawi saat membacakan tuntutan untuk terdakwa Ending Fuad Hamidy dan Johny E. Awuy di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (9/5/2019).
Ending Fuad Hamidy adalah Sekjen KONI, sementara Johny E. Awuy merupakan bendahara. Dalam tuntutannya, Jaksa KPK menyeret nama Imam Nahrawi dan menyebut ada pemufakatan jahat antara politikus PKB itu dengan asisten pribadinya, Miftahul Ulum. Jaksa KPK juga mengungkap soal aliran dana sebesar Rp11,5 miliar.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Ficar Hadjar menilai keterangan jaksa KPK soal keterlibatan Imam dan dugaan aliran dana Rp11,5 miliar melalui asisten pribadinya itu dapat dijadikan bukti untuk menjerat menpora.
“KPK seharusnya langsung menetapkannya sebagai tersangka,” kata Ficar saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (10/5/2019).
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), untuk menetapkan orang menjadi tersangka dibutuhkan minimal dua alat bukti. Di pasal 184 ayat (1) dikatakan, alat bukti yang sah ialah, keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
“Sudah lebih dari cukup dan sudah melampauai prinsip minimum pembuktian,” kata Ficar menambahkan.
Peran Imam Nahrawi
Dalam sidang tuntutan untuk terdakwa Hamidy dan Johny, jaksa KPK membeberkan keterlibatan Menpora Imam Nahrawi dan asisten pribadinya. Jaksa bahkan meyakini keduanya terlibat dalam pemufakatan jahat terkait suap pencairan dana hibah KONI.
“Adanya keterkaitan antara bukti satu dengan yang lainnya, menunjukkan adanya bukti dan fakta hukum tentang adanya keikutsertaan dari para saksi tersebut, dalam satu kejadian yang termasuk ke dalam kemufakatan jahat yang dilakukan secara diam-diam atau yang dikenal dengan istilah sukzessive mittaterscraft," kata jaksa di hadapan hakim, Kamis lalu.
Jaksa mengungkapkan, terdakwa Johny E Awuy pernah memberikan uang total Rp11,5 miliar kepada Miftahul Ulum secara bertahap atas pengetahuan Ending Fuad Hamidy. Uang itu diduga akan diteruskan lagi ke tangan Imam Nahrawi.
Sebab, sebelumnya kedua terdakwa telah sepakat dengan Ulum bahwa fee untuk Kemenpora ialah 15 persen hingga 19 persen dari total bantuan dana hibah yang dicairkan. Fee itu diperlukan guna memuluskan pencairan proposal yang diajukan KONI.
Adapun rincian pemberiannya sebagai berikut:
- Maret 2018, Hamidy atas sepengetahuan Johny memberikan Rp2 miliar kepada Miftahul Ulum di Gedung KONI lantai 12.
- Februari 2018, Hamidy memberikan Rp500 juta kepada Miftahul Ulum di Gedung KONI.
- Juni 2018, Hamidy memberikan Rp3 miliar kepada orang suruhan Miftahul Ulum bernama Arief.
- Mei 2018, Hamidy memberikan Rp3 miliar kepada Miftahul Ulum di Gedung KONI Pusat.
- Sebelum Lebaran 2018, Hamidy menyerahkan uang senilai Rp3 miliar dalam bentuk mata uang asing kepada Ulum di lapangan tenis Kemenpora.
Kesimpulan jaksa KPK itu didukung sejumlah bukti, antara lain: keterangan terdakwa Ending Fuad Hamidy dan Johny E Awuy. Selain itu, ada pula bukti berupa keterangan saksi Eni Purnawati selaku Kepala Bagian Keuangan KONI, dan saksi Atam selaku staf KONI.
Kesaksian itu pun diperkuat dengan barang bukti berupa buku tabungan bank atas nama Johny E Awuy dan rekening korannya, serta kartu ATM yang pernah diserahkan Johny kepada Ulum. Jaksa juga memegang bukti elektronik berupa rekaman rekaman percakapan antar pihak-pihak yang terlibat.
Redaksi Tirto sudah berusaha menghubungi nomor ponsel Menpora Imam Nahrawi untuk dimintai tanggapan soal tuntutan KPK. Namun, nomor ponsel Imam tidak aktif. Sementara Sekretaris Kemenpora Gatot S Dewa Broto juga belum merespons hingga artikel ini dirilis.
Namun, kala bersaksi di sidang perkara ini, baik Imam Nahrawi maupun Miftahul Ulum sama-sama membantah adanya aliran dana tersebut. Akan tetapi, jaksa KPK mementahkan bantahan itu lantaran hanya berdiri sendiri, dan tidak didukung bukti lainnya.
“Terkait bantahan dari para saksi tersebut, kiranya menurut pendapat kami selaku penuntut umum haruslah dikesampingkan. Dengan alasan bahwa selain keterangan saksi tersebut hanya berdiri sendiri, dan juga tidak didukung oleh alat bukti sah lainnya, bantahan tersebut hanya merupakan usaha pembelaan pribadi para saksi agar tidak terjerat dalam perkara ini,” jelas jaksa dalam tuntutannya.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai jaksa penuntut umum harus segera melimpahkan fakta-fakta yang didapat di dalam sidang tersebut kepada penyidik.
Hal tersebut, kata Kurnia, diperlukan agar penyidik dapat segera memutuskan apakah akan menetapkan tersangka baru dalam perkara ini.
“Kalau memang benar ada kickback [pemberian dana] harusnya itu sudah jadi modal yang kuat bagi KPK untuk menaikkan status perkara ini ke penyidikan,” kata Kurnia saat dihubungi reporter Tirto.
Kurnia pun menyampaikan, KPK tidak boleh terpengaruh pada status Imam Nahrawi sebagai menteri. Sebab, kata dia, penegakan hukum memang harus tidak pandang bulu.
Sementara itu, Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah menyampaikan pihaknya harus berhati-hati dan cermat untuk menangani perkara ini. Termasuk soal penetapan tersangka baru.
Karena itu, kata Febri, KPK akan menunggu putusan hakim dalam perkara ini, guna melihat apakah fakta-fakta yang disebutkan oleh jaksa KPK diamini oleh majelis.
“Dari sanalah kemudian jaksa akan melakukan analisis dan rekomendasi kepada pimpinan apa tindak lanjut yang [akan] dilakukan baik untuk pokok perkara maupun kemungkinan adanya pengembangan yang lain,” kata Febri di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz