tirto.id - Ronald Worotikan selaku Jaksa KPK menyebut nama Menpora Imam Nahrawi dalam sidang suap dana hibah KONI di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (8/5/2019). Dalam sidang tersebut, dibacakan tuntutan terhadap Sekretaris Jenderal KONI, Ending Fuad Hamidy, dan Bendahara KONI, Johnny E. Awuy.
Dalam tuntutannya, Jaksa KPK menyeret nama Imam Nahrawi dan menyebut ada permufakatan jahat antara politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu dengan asisten pribadinya, Miftahul Ulum.
"Adanya keterkaitan antara bukti satu dengan yang lainnya menunjukkan adanya bukti dan fakta hukum tentang adanya keikutsertaan dari para saksi tersebut, dalam satu kejadian yang termasuk ke dalam kemufakatan jahat yang dilakukan secara diam-diam atau yang dikenal dengan istilah sukzessive mittaterschaft," papar Ronald.
Jaksa menjelaskan, memang benar ada saran dari Deputi IV Kemenpora, Mulyana, dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kemenpora, Adhi Purnomo, agar para terdakwa berkonsultasi dengan Miftahul Ulum terkait fee yang harus diberikan KONI kepada Kemenpora atas pencairan proposal yang diajukan.
Para terdakwa pun mengikuti saran itu dan bersepakat dengan Miftahul Ulum bahwa fee untuk Kemenpora adalah sebesar 15 hingga 19 persen dari total bantuan dana hibah yang dicairkan.
Sebagai realisasinya, Johnny E. Awuy selaku Bendahara KONI memberikan sejumlah uang kepada Miftahul Ulum secara bertahap. Total uang yang diberikan mencapai Rp11,5 miliar dengan rincian sebagai berikut:
- Maret 2018, Hamidy (Sekjen KONI) atas sepengetahuan Johnny memberikan Rp2 miliar kepada Miftahul Ulum di Gedung KONI lantai 12.
- Februari 2018, Hamidy memberikan Rp500 juta kepada Ulum di Gedung KONI.
- Juni 2018, Hamidy memberikan Rp3 miliar kepada orang suruhan Ulum bernama Arief.
- Mei 2018, Hamidy memberikan Rp3 miliar kepada Ulum di Gedung KONI Pusat.
- Sebelum Lebaran 2018, Hamidy menyerahkan uang Rp3 miliar dalam bentuk mata uang asing kepada Ulum di lapangan tenis Kemenpora.
Selain itu, Jaksa KPK juga memegang barang bukti berupa buku tabungan bank atas nama Johnny E. Awuy beserta rekening korannya, dan kartu ATM yang pernah diserahkan Johnny kepada Ulum. Ronald juga memiliki bukti elektronik berupa rekaman-rekaman percakapan antar pihak-pihak yang terlibat.
Mengenai bantahan yang disampaikan Miftahul Ulum, Imam Nahrawi, dan Arief Susanto kala bersaksi di sidang, Ronald menilai hakim semestinya mengesampingkan hal tersebut.
"Terkait bantahan dari para saksi tersebut, kiranya menurut pendapat kami selaku penuntut umum haruslah dikesampingkan,” kata Ronald.
“Dengan alasan bahwa selain keterangan saksi tersebut hanya berdiri sendiri dan juga tidak didukung oleh alat bukti sah lainnya, bantahan tersebut hanya merupakan usaha pembelaan pribadi para saksi agar tidak terjerat dalam perkara ini," imbuhnya.
Dalam sidang ini, Jaksa KPK menuntut Hamidy dengan hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider 3 bulan kurungan. Untuk Johnny, tuntutan yang diajukan adalah hukuman 2 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 3 bulan kurungan.
Keduanya dinilai terbukti memberi suap kepada Deputi IV Kemenpora, Mulyana. Suap yang diberikan antara lain uang Rp400 juta, 1 unit mobil Toyota Fortuner VRZ TRD, dan 1 unit ponsel Samsung Galaxy Note 9.
Pemberian itu dilakukan agar Mulyana memuluskan pencairan proposal Bantuan Dana Hibah kepada Kemenpora RI dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan dan pendampingan program peningkatan prestasi olahraga dalam ajang Asian Games 2018 dan Asian Paragames 2018. KONI mengajukan dana proposal sebesar Rp51,52 miliar.
Selain itu, pemberian tersebut juga dilakukan guna memuluskan pencairan usulan kegiatan pendampingan dan pengawasan program SEA Games 2019 tahun anggaran 2018.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Iswara N Raditya