tirto.id - Dua pekan sekali Firman (26) memberanikan diri pulang ke Bandung dari Jakarta menggunakan agen perjalanan. Dia memilih jasa travel karena tidak perlu tes rapid. “Kalau pakai kereta kan perlu tes dulu,” kata dia kepada reporter Tirto, Selasa (1/9/2020).
Handi (25) juga sebetulnya ingin pakai agen perjalanan saja untuk pulang ke Yogyakarta dari Jakarta. “Tapi aku dengar dari teman, perjalanannya 13 jam, macet. Jadi kemarin pilih pakai kereta meski harus rapid [test] dulu,” katanya. Ia pulang kampung Iduladha lalu.
Cerita Firman dan Handi jadi dua contoh kecil bagaimana kini masyarakat lebih mudah memutuskan bepergian meski masih situasi pandemi. Situasi ini juga tergambar lewat statistik resmi.
Muhammad Awaluddin Presiden Direktur PT Angkasa Pura (AP) II, perusahaan pelat merah yang bergerak di bidang pengelolaan dan pengusahaan bandara, menyebut pada 1–28 Agustus lalu jumlah pergerakan penumpang mencapai 1,90 juta orang, naik 41 persen dibanding 1–28 Juli yang hanya 1,34 juta. Pun demikian dengan pergerakan pesawat. “Naik 17 persen menjadi 22.540 penerbangan dan volume kargo stabil di angka 44,26 juta kilogram,” katanya, Sabtu (29/8/2020).
Kereta Api juga semakin diminati. VP Public Relations PT Kereta Api Indonesia (KAI) Joni Martinus menyebut sepanjang 14 sampai 23 Agustus, ketika libur panjang hari kemerdekaan dan tahun baru Islam, terdapat 656.950 penumpang KA Jarak Jauh dan KA Lokal. Angka ini naik 40 persen dibanding 4-13 Agustus, yaitu 469.926 penumpang.
Perjalanan menggunakan kendaraan pribadi yang melewati tol juga meningkat. PT Jasa Marga (Persero) Tbk mencatat 162.172 kendaraan kembali ke Jakarta pada libur panjang hari HUT Indonesia 17 Agustus.
Yang Dikorbankan
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengatakan sektor transportasi mulai menggeliat pada Juli. Seluruh moda transportasi di bulan itu mengalami kenaikan penumpang. Ini terjadi usai pemerintah melonggarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
“Ini menggembirakan,” katanya, sebab transportasi yang menggeliat menandakan ekonomi mulai berputar. “Namun,” katanya mengingatkan, “kita tetap perlu mematuhi protokol kesehatan.”
Persis di sinilah masalahnya. Menggeliatnya sektor transportasi berbanding lurus dengan penambahan kasus COVID-19.
Agustus lalu, kurva penambahan pasien positif cenderung naik, meski dalam beberapa hari tertentu mengalami penurunan dibanding hari sebelumnya.
Penambahan kasus pada 1 Agustus mencapai 1.560, dan pada hari terakhir Agustus mencapai 2.743. Bahkan ada hari ketika penambahan kasus lebih dari 3.000. Pada 28 Agustus penambahan kasus mencapai 3.003, dan sehari kemudian 3.308.
Per 1 September, total kasus konfirmasi positif mencapai 177.571, dengan kasus sembuh mencapai 128.057.
Peneliti dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Muhammad Bigwanto mengatakan masyarakat bukan sudah mampu beradaptasi sehingga lebih gampang memutuskan bepergian, namun masa bodoh terhadap pandemi.
Sikap abai ini sedikit banyak dipengaruhi oleh pola komunikasi pemerintah. Pernyataan soal angka kesembuhan termasuk yang tertinggi di dunia, misalnya, membuat masyarakat tidak waspada dan merasa Corona tidak terlalu berbahaya.
“Kalau begini terus, angka penularan COVID-19 tidak akan terkendali,” katanya reporter Tirto, Selasa (1/9/2020).
Ia mengatakan kecenderungan prioritas pemerintah adalah bergeraknya ekonomi nasional, bukan kesehatan masyarakat, apalagi saat ini Indonesia berada di jurang resesi. Masalahnya, ketika keselamatan masyarakat dinomorduakan, pemerintah tidak akan mendapatkan apa pun. “Kan yang menggerakkan ekonomi itu manusia, ya. Manusia yang produktif, punya daya saing.”
Jika korban terus bertambah, ia khawatir baik fasilitas medis dan tenaga kesehatan tak bakal siap menampung. “Ada risiko tenaga kesehatan kita tumbang,” terang dia. “Fasilitas juga terbatas.”
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino