tirto.id - Seperti gudang kosong. Kini sekretariat pers mahasiswa Suara USU sepi. Tak ada lagi rapat redaksi. Tak ada lagi diskusi yang menghangatkan sirkulasi wacana intelektual kampus. Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Runtung Sitepu memecat seluruh pengurus Suara USU, mengganti mereka sesuai keinginannya.
Seminggu usai Suara USU mengunggah cerita pendek “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya," pengurusnya dipanggil oleh Rektor Runtung Sitepu, yang meminta cerita fiksi itu dihapus karena dianggap "mempromosikan" LGBT.
Setelahnya, beberapa mahasiswa dari Pemerintahan Mahasiswa Fakultas Teknik—semacam lembaga eksekutif—mendatangi sekretariat Suara USU, mempersoalkan cerpen tersebut.
Di antara alumni dan mahasiswa yang mendukung langkah Rektor Runtung Sitepu adalah Tikwan Raya Siregar, mantan pengurus Suara USU, dan Iqbal Harefa, Presiden Pemerintahan Mahasiswa USU. Baik Tikwan maupun Iqbal menyampaikan kronologi pemberangusan Suara USU, dengan dalih bahwa cerpen itu memuat "unsur kampanye LGBT".
“Keberatan mahasiswa itu unsur pornografi dan terindikasi unsur kampanye LGBT,” kata Tikwan menyebut cerpen tersebut dan menilai demonstrasi mahasiswa ke sekretariat Suara USU sebagai langkah "mediasi".
Tikwan adalah pemimpin redaksi Suara USU pada 1998 dan pembina Suara USU pada 2018—artinya, dia adalah alumni senior. Dalam sistem keredaksian sebuah pers mahasiswa, karena posisinya yang unik di lingkungan kampus, para alumni masih dianggap punya peran maupun pengaruh. Model pers mahasiswa macam ini lazim dipraktikkan di Jawa maupun di luar Jawa.
Dalam kasus Suara USU, saat pengurus baru menghendaki ada independensi keredaksian, struktur pembina itu dihapuskan, demi mengikis pengaruh alumni seperti Tikwan atau pengurus lama.
Meski begitu, patron di lingkungan kampus yang telah terbentuk lama semacam itu sulit terkikis. Suara USU terkena getahnya.
Pada 20 Maret 2019, karena cerpen yang dianggap "mempromosikan LGBT" itu tak kunjung dihapus, website Suara USU disuspensi secara sepihak oleh perusahaan penyedia hosting Sanger Production, yang dikendalikan oleh Muslim Ramli, pemilik perusahaan itu dan alumni Suara USU.
Muslim enggan menjawab mengapa mencabut layanan hosting untuk website Suara USU. Ia menutup sambungan telepon dua kali saat dikonfirmasi oleh reporter Tirto. (Pada 23 Maret, website Suara USU bisa diakses kembali setelah berganti hosting lewat Jejaring.org, penyedia web nirlaba.)
Elvi Sumanti, pemimpin umum Suara USU pada 1998 (periode kepengurusan bersama Tikwan Raya Siregar) yang kini bekerja sebagai kepala humas Universitas Sumatera Utara, berkata tindakan mensuspensi website Suara USU itu bukan diperintahkan langsung oleh rektorat USU.
Elvi berkata Sanger Production tidak bekerja sama dengan USU sebagai mitra bisnis yang menangani proyek tertentu. Kalaupun ada, kata Elvi, barangkali hanya urusan personal antara Sanger Production dan mahasiswa perorangan. Ia mengaku baru tahu Sanger Production sebagai pengelola website Suara USU ketika kasus cerpen itu jadi perhatian banyak orang.
Meski membantah ada "perintah langsung" dari rektorat, kasus "cerpen LGBT" itu jadi perhatian para alumni Suara USU yang bekerja di kampus.
Elvi memanggil pengurus Suara USU. Sementara Rusli Harahap, pendiri Suara USU, yang bekerja sebagai Wakil Koordinator Unit Jurnalistik Biro Kemahasiswaan dan Kealumnian USU, mendatangi sekretariat Suara USU. Baik Elvi maupun Rusli secara terpisah mempertanyakan mengapa "cerpen LGBT" itu belum dihapus.
Elvi membantah soal ada percakapan para alumni senior Suara USU yang berujung tindakan membekukan website Suara USU.
“Aduh entah ke mana-mana ini persoalan,” ujar Elvi. “Kami pun kaget.”
Beberapa Alumni Senior Suara USU Mendukung Pemberangusan
Elvi Sumanti seharusnya tidak perlu kaget karena pada 2017 ia pernah mengundang Muslim Ramli dan Rusli Harahap, alumni senior Suara USU. Muslim adalah CEO Sanger Production, sementara Rusli adalah CEO Indigo. Acara ini bertajuk "Kemah Kerja dan Pelatihan Jurnalistik Media Kampus." Tujuannya, mengarahkan karya jurnalistik yang mendukung kinerja humas USU.
Dalam pelatihan itu, Rusli mendorong agar pers mahasiswa membuat berita yang berisi kegiatan dan prestasi kampus. “Bila ini dilakukan, saya yakin akan sangat membantu tugas Humas USU,” kata Rusli saat itu.
Bahkan, untuk menunjang kinerja humas USU, Elvi membentuk forum wartawan mitra USU. Isinya, pertemuan rutin wartawan pers umum dengan pimpinan rektorat USU.
Berdasarkan surat pemecatan terhadap delapan belas pengurus Suara USU, 25 Maret 2019, Rektor USU Runtung Sitepu memerintahkan agar Biro Kemahasiswaan dan Kealumnian USU, tempat kerja Rusli Harahap, menyeleksi pengurus baru. Artinya, pengurus baru akan dipilih oleh Rusli dan Elvi.
Tikwan Raya Siregar, Rusli Harahap, dan Muslim Ramli belakangan menunjukkan sikapnya pada Rabu kemarin, 3 April 2019. Mereka membuat pernyataan sikap secara tertulis. Isinya, mendukung seluruh tindakan rektor USU dan sepakat agar seluruh pengurus Suara USU dipecat.
Rektor Runtung Sitepu dan Kepala Humas Elvi Sumanti berdalih pemberedelan Suara USU karena tidak taat pada visi, misi, dan rencana strategis USU.
Dalam rencana strategi USU 2015-2019 maupun 2015-2039 tercantum keterangan "sivitas akademika USU bertakwa kepada Tuhan YME dalam bingkai kebhinekaan."
Saat ditanya apa "kebhinekaan" atau keberagaman itu termasuk menghormati ide-ide kebebasan berpikir mengenai minoritas seksual seperti LGBT, Elvi menolak menjawabnya.
Menjinakkan Media Mahasiswa, Menjadikan Media Humas
Tindakan Rektor Runtung Sitepu, yang didukung oleh alumni Suara USU yang bekerja untuk kampus, itu ditentang oleh para alumni Suara USU yang lain, yang masih berpikir independen.
Ressi Dwiana, salah satu alumni Suara USU dan kandidat doktor komunikasi dari Universitas Indonesia, menyebut pemberangusan terhadap Suara USU adalah penindasan ganda.
Ia berkata pertemuan antara Rektor Runtung Sitepu dan pengurus Suara USU "bukanlah negosiasi yang berimbang". Rektor membawa asumsinya sendiri dengan menuding cerpen yang dirilis Suara USU itu mengandung unsur "pornografi."
"Mereka [pengurus Suara USU] dalam tekanan,” kata Ressi.
Sebagian kecil alumni Suara USU yang diduga kuat secara terencana mendukung keputusan rektor itu "tidak punya hak melakukan intervensi," tambahnya.
Pemecatan delapan belas pengurus Suara USU adalah upaya menjinakkan independensi dan idealisme pers kampus, menurut Ressi, untuk menjadikannya "media humas".
"Kami bercandanya bukan Suara USU lagi, tapi Suara Rektor,” katanya.
Eka Dalanta, mantan pemimpin redaksi Suara USU periode 2006, berkata pemberangusan itu mengubah kedaulatan Suara USU dari tangan anggotanya sendiri.
“Penggantian pengurus Suara USU dan seluruh anggota Suara USU dengan bentukan rektorat akan benar-benar mengubah Suara USU. Melenyapkan semua sejarah Suara USU yang pernah ada,” ujarnya.
Pemimpin redaksi Suara USU Widiya Hastuti mengatakan langkah rektor memecat semua pengurus Suara USU, termasuk dirinya, adalah upaya "kampus membentuk calon jurnalis yang cacat."
“Jika kampus melakukan hal seperti yang terjadi pada Suara USU, kampus telah mendorong agar jurnalis masa depan memberitakan kebaikan negara saja, berita yang mementingkan penguasa,” ujar Widiya.
Meski pers mahasiswa dibiayai oleh kampus, menurut Widiya, bukan berarti harus menjadi anak buah dari humas kampus.
“Harusnya pers mahasiswa memiliki hak otonom untuk mengelola keredaksian. Pendanaan dari kampus hanya sebagai bentuk penyokong kegiatan mahasiswa, bukan sebagai alasan untuk mengintervensi redaksi persma,” ujarnya.
=======
Penyingkapan: Wan Ulfa Nur Zuhra, yang terlibat membantu laporan ini, adalah alumni Suara USU.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam