tirto.id - Pers Mahasiswa Suara USU dibredel Rektor Universitas Sumatera Utara Runtung Sitepu setelah menerbitkan cerpen berjudul “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya”. Cerpen itu dianggap "mempromosikan" LGBTIQ karena bercerita tentang kisah cinta tragis perempuan lesbian.
“Kau dengar? Tidak akan ada laki-laki yang mau memasukkan barangnya ke tempatmu itu. Kau sungguh menjijikkan. Rahimmu akan tertutup. Percayalah sperma laki-laki manapun tidak tahan singgah terhadapmu.”
Tiga kalimat dalam kutipan cerpen itu dianggap "mengandung unsur pornografi" karena berisi kata ‘sperma’, ‘barangnya’, dan ‘rahim’.
Sebelum memecat seluruh anggota pers mahasiswa Suara USU, pihak rektorat meminta agak cerpen itu diturunkan. Namun, para pengurus menolak sebab menilai tidak ada yang salah dari cerpen itu.
Wan Ulfa Nur Zuhra mewawancarai Dede Oetomo untuk meminta pandangannya sebagai doktor di bidang linguistik, aktivis LGBTIQ, dan akademisi di Universitas Airlangga atas persoalan yang terjadi di USU serta pemberangusan kebebasan akademik secara umum di kampus-kampus di Indonesia.
Cerpen itu dituduh "mempromosikan LGBT" dan "mengandung pornografi". Apa pendapat Anda?
Pertama, konsep "mempromosikan" itu bermasalah. Homoseksualitas dan identitas dan ekspresi gender nonbiner tidak bisa dipromosikan. Yang gencar mempromosikan seksualitas dan gendernya justru mayoritas.
Kedua, memang bahasa yang dipakai dalam cerpen itu grafis dan eksplisit. Pornografis atau tidak, itu relatif. Dalam penulisan sastra, biasanya kebebasan berekspresi dijunjung tinggi.
Memang banyak golongan yang terganggu dengan istilah-istilah atau ekspresi yang grafis seperti itu. Nah, di situ demokrasi kita diuji. Di budaya keluarga saya, misalnya, dan mungkin di kalangan kelas pekerja, ungkapan grafis seperti itu biasa. Maka, sensor moral dari mereka yang terganggu terhadap ungkapan grafis itu perlu dipertanyakan.
Menurut Anda, apakah institusi pendidikan sah-sah saja bila terganggu dengan ungkapan yang grafis dan eksplisit itu?
Kalau menurut saya, seharusnya tidak. Ilmu itu berkembang terus. Misalnya, sekarang ada kajian pornografi (porn studies). Di kuliah gender dan seksualitas saya semester ini mahasiswa minta ada satu kali tatap muka membahas bidang ilmu itu.
Kalau di USU, apakah kuliah itu bisa? Ini merupakan kontestasi (pertentangan) yang akan terus terjadi, dan seharusnya sih "hikmat kebijaksanaan" yang membimbing kita dalam menentukan. Tradisi keilmuan yang saya dapatkan di Unair [Universitas Airlangga], setidaknya, mengatakan apa pun dapat dikaji.
Ketika USU memecat satu pengurus pers mahasiswa gara-gara memublikasikan cerpen itu, apakah kita bisa sebut USU membatasi ruang akademik?
Jelas.
Dalam kacamata iklim kebebasan akademik, apa yang sebaiknya dilakukan kampus ketika ada gerakan dari mahasiswa yang 'terganggu' dengan cerpen itu?
Ya melakukan pertemuan yang berusaha menjelaskan aspek-aspek dan prinsip ilmiah dan intelektual. Yang tidak setuju bisa saja tetap tidak setuju, tetapi mereka tidak berhak melarang suatu golongan hanya karena nilainya beda. Itu pemahaman saya sebagai pendidik pada tingkat perguruan tinggi.
Pekan lalu, pemerintahan mahasiswa atau BEM di USU bikin 'aksi anti-LGBT' dan mendukung keputusan rektor. Rektor tampak mendukung ini, ikut berfoto bersama. Menurut Anda, apakah ini bisa diindikasikan bahwa USU adalah kampus yang homofobik?
Iya, setidaknya dari tindakan BEM dan rektor.
Apa bahayanya bagi iklim pendidikan ketika ada kampus yang homofobik?
Ya pendidikan jadi diskriminatif, yang sejatinya bertentangan dengan prinsip bahwa pendidikan itu merupakan hak semua orang.
Apa pendapat Anda atas alasan, "Kami tidak melarang mahasiswa LGBT untuk kuliah di sini tetapi tetap mendukung aksi anti-LGBT"?
Ya itu sikap bingung. Dunia pendidikan itu tidak sepatutnya membenci suatu golongan hanya karena identitasnya. Saya dulu, sebagai yang antimiliterisme, tetap menerima dan menghormati perwira menengah dan tinggi yang kuliah dengan saya.
Apakah ada pola serupa di kampus-kampus lain yang Anda ketahui?
Yang persis seperti itu setahu saya tidak ada. Di Unand [Universitas Andalas] pernah ada penolakan kepada mahasiswa LGBT, yang pernah berzina dan menggunakan narkotik.
Apa tanggapan Anda soal penolakan model begini?
Ya itu tadi, [mereka] bingung, tidak konsisten, tidak paham nilai-nilai akademik.
Apa yang harus dilakukan Kemenristekdikti terhadap kampus-kampus yang homofobik?
Membeberkan fakta-fakta ilmiah tentang gender dan seksualitas, juga prinsip-prinsip luhur demokrasi untuk semua.
Sepengetahuan Anda, apakah itu pernah dilakukan?
Tidak.
Kalau Anda saat ini berhadapan dengan Rektor USU Runtung Sitepu, apa yang akan Anda katakan?
Sama seperti yang pernah saya katakan kepada PR II Unair tahun 1986*: Universitas harus menjadi pelopor dalam mendidikkan fakta-fakta ilmiah yang benar.
Mungkin saya anjurkan beliau, sebagai pakar ilmu hukum, membaca Prinsip-prinsip Yogyakarta** (2006), termasuk amandemennya (2017).
(*Tahun 1984-2003, Dede tercatat sebagai dosen tetap di FISIP Universitas Airlangga, Surabaya. Tahun 1986, PR II Unair memanggilnya dan menegur karena ia mulai banyak diwawancara sebagai aktivis gay. Tahun 2007 sampai saat ini, Dede kembali mengajar di Unair sebagai dosen tidak tetap.)
(**Prinsip-prinsip Yogyakarta berisi prinsip-prinsip pemberlakukan Hukum HAM Internasional dalam kaitannya dengan orientasi seksual dan identitas gender.)
Apa respons Unair ketika itu?
Beliau (dr. Moedjono) tidak membantah, tetapi minta saya tidak berbicara atas nama Unair.
Ini maksudnya bicara ke luar dan bawa-bawa nama Unair?
Iya, khususnya di media massa.
======
Penyingkapan: Wan Ulfa Nur Zuhra, yang menulis artikel wawancara ini, adalah alumnus Suara USU.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Fahri Salam