tirto.id - Baca juga dua tulisan sebelumnya yang merupakan serial liputan ini:
1. Teror Peretasan Pers Mahasiswa Teknokra Menyisakan Trauma
2. Indonesia Darurat Perlindungan Pers Mahasiswa
Tahun 2022, badai tak henti-hentinya menghajar awak lembaga pers mahasiswa Lintas. Sepanjang tahun, nama pers kampus Lintas mewarnai pemberitaan media nasional lantaran didera permasalahan bertubi-tubi akibat publikasi isu kekerasan seksual di lingkungan kampus.
“Tahun yang penuh dinamika sih emang,” kata Yolanda, eks Pemimpin Redaksi Lintas kepada tim kolaborasi Tirto dan Deduktif, Januari 2023.
Lembaga pers kampus yang bernaung di bawah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon tersebut mulai menyita perhatian publik setidaknya sejak Maret 2022. Lintas mengangkat isu kekerasan seksual yang terjadi di dalam lingkungan almamater mereka.
Liputan yang dikerjakan awak Lintas selama kurang lebih lima bulan ini terbit dengan tema "IAIN Ambon Rawan Pelecehan". Liputan ini terbit setelah mereka melakukan wawancara dengan puluhan narasumber, melacak kasus-kasus kekerasan yang terjadi sepanjang 2015-2021. Dari situ, mereka menemukan berbagai kasus dan terduga pelaku, mulai dari mahasiswa, staf pengajar, pegawai kampus, hingga alumnus.
Publikasi liputan ini berbuah masalah. Sekretariat mereka dirusak oleh seorang terduga pelaku kekerasan seksual. Beberapa orang awak Lintas juga mendapat serangan fisik. Kepengurusan awak Lintas pun dibekukan oleh pihak kampus. Bahkan, beberapa dari awak Lintas mengalami kesulitan dalam mengurus studi akhir mereka.
Selain itu, petinggi kampus juga sempat melaporkan tim redaksi Lintas ke polisi. Pihak kampus mengklaim laporan ini sebagai upaya klarifikasi atas publikasi Lintas.
Puncaknya terjadi saat awak Lintas mencoba menggugat keputusan pembekuan kepengurusan yang dilakukan kampus di pengadilan mendekati akhir tahun. Namun, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Ambon menggugurkan gugatan tersebut.
“Tahun 2022 ini tahun yang banyak pelajaran, banyak pengalaman yang baru buat aku sendiri, dan mungkin buat Lintas sendiri, dan buat persma juga,” kata Yolanda. “Karena dari sini, dari masalah Lintas ini kita bisa dapat gambaran bahwa pers mahasiswa ini masih rentan banget dapat intimidasi,” tambahnya.
Bukan hanya Lintas yang didera masalah pada 2022 lalu. Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Dinamika yang bernaung di bawah Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU) Medan, Deli Serdang, Sumatera Utara, juga menjadi korban upaya represi.
Sekretariat mereka dibobol orang tidak dikenal September 2022 lalu. Barang-barang di dalam sekretariat diacak-acak, tetapi tak ada yang hilang.
Ini terjadi tak lama setelah Dinamika menerbitkan satu berita soal dugaan pungutan liar dalam kegiatan Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK). Mereka mencium adanya keterlibatan mahasiswa dalam pungutan liar tersebut.
Para mahasiswa baru yang mengikuti PBAK diminta oleh kakak tingkat mereka untuk “membeli” selempang dari karton dan pin seharga Rp50 ribu. Para senior pun menjanjikan konsumsi dari Rp50 ribu yang dibayarkan, tetapi konsumsi tersebut tak pernah diterima peserta PBAK.
“Nah, setelah kami konfirmasi ke pihak birokrat [kampus], itu enggak ada lagi anggaran dari fakultas itu, dari jurusan bahkan, enggak ada lagi anggaran-anggaran. Maksudnya [segala perlengkapan] udah ada dari kampus, udah dikasih,” ujar Pemimpin Redaksi Dinamika, Deddy Irawan, saat ditemui di Medan, awal Desember 2022 lalu.
Ia menduga pembobolan ini bentuk teror dari pihak yang tak nyaman dengan pemberitaan mereka. “Itu bentuk aksi teror yang itu jelas bisa mengganggu kenyamanan kami dalam menjalankan mobilitas organisasi,” kata Deddy.
Masalah yang dialami Lintas dan Dinamika menambah daftar panjang kasus represi pers kampus.
Bentuk Represi, Para Pelaku, dan Yang Melatari Represi
Berkaca dari kondisi yang ada, tim kolaborasi Tirto dan Deduktif mencoba menghimpun data kasus-kasus kekerasan pers mahasiswa yang terjadi selama 2015-2022. Selama tujuh tahun terakhir, ada 25 kasus kekerasan yang menimpa persma.
Dari LBH Pers yang selama ini membantu advokasi di sejumlah kasus kekerasan terhadap persma, terhimpun 22 kasus yang terjadi sejak 2019.
Pada Agustus 2019, seorang reporter LPM Universitas Negeri Makassar, mengalami pemukulan oleh rektor. Kekerasan terjadi karena diduga pihak rektorat tidak terima atas pemberitaan di Tabloid Profesi. Pemberitaan itu mengungkap soal jalur mandiri penerimaan mahasiswa baru yang telah melebihi kuota, serta kaitannya dengan aturan kementerian tentang sistem zonasi.
Satu tahun setelahnya, kasus kekerasan terhadap persma masih masif terjadi. Dari data yang dihimpun LBH Pers, selama tahun 2020 terjadi 12 kasus kekerasan terhadap awak persma. Delapan di antaranya terjadi pada awak persma di Jakarta saat meliput gelombang aksi penentangan terhadap Omnibus Law. Awak persma yang menjadi korban kekerasan di kota lain semisal di Makassar dan Surabaya, terkait juga dengan aksi penolakan Omnibus Law.
Selain kasus kekerasan terhadap persma yang telah dihimpun dan ditangani oleh LBH Pers, tim kolaborasi Deduktif dan Tirto juga menerima rincian kekerasan terhadap persma dari Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI).
Badan Pekerja Penelitian dan Pengembangan (BP Litbang) dan BP Advokasi Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional, telah melakukan riset kekerasan terhadap pers mahasiswa yang terjadi di tahun 2020-2021.
Dalam laporan riset itu, PPMI menemukan total 185 kasus represi dengan 12 jenis represi, terhadap persma di Indonesia. Di antara bentuk represi itu antara lain adalah teguran, pencabutan berita, makian, hingga ancaman.
Sedangkan persebaran kasusnya sendiri terjadi di 22 wilayah PPMI Kota/Dewan Kota. Kasus itu merentang mulai dari Jakarta hingga Manado.
Sebanyak 436 LPM/Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa/Surat Kabar Mahasiswa/Lembaga Penerbitan dan Pers Mahasiswa/Surat Kabar Kampus, dan sejenisnya, teridentifikasi ketika melaksanakan Musyawarah Kerja Nasional PPMI ke-14 pada tahun 2021 di Yogyakarta.
Maka, jika mengacu pada jumlah kasus represi terhadap pers Mahasiswa yang dihimpun PPMI pada rentang 2020-2021, artinya dari setiap 2 LPM, ada 1 kasus represi yang dialami.
Sudah Terjadi Sejak Dulu
Represi terhadap persma telah terjadi jauh hari sebelum rezim hari ini berkuasa. Herlambang Wiratman selaku ketua Kaukus untuk Kebebasan Akademik (KIKA), melakukan riset mendalam tentang kebebasan akademik yang jadi garapan disertasinya, yang juga terkait dengan penelusuran represi terhadap persma.
Menurutnya, represi terhadap persma telah terjadi bahkan sebelum tahun 1965. Sejak era Soekarno, represi terhadap persma sudah begitu parah.
“Pertama [pers] dipenjara tanpa pengadilan itu zaman Soekarno. Makanya ada kasus September '58,” kata Herlambang saat dihubungi (23/11/22).
Lebih lanjut, menurut Herlambang, peristiwa politik acapkali melatari deretan represi terhadap persma. Nyaris semua tindakan represif terhadap persma, paralel dengan isu yang tengah diangkat oleh awak persmanya itu sendiri, atau peristiwa politik yang tengah berkecamuk di saat itu.
Di rentang 50 tahun pasca '65, atau tepatnya pada tahun 2015, terjadi pembubaran diskusi,razia buku-buku kiri hingga penerbitannya, bahkan sampai ada pembakaran majalah LPM Lentera di Salatiga oleh kepolisian. Semua represi yang terjadi itu tak terlepas dari peristiwa politik yang terjadi di masa silam.
Herlambang menyebut bahwa pola represi terhadap persma yang beririsan dengan isu '65, berlanjut kian masif dan sistemik sampai tahun 2017.
Temuan lain terkait bagaimana peristiwa politik melatari deretan represi terhadap persma, bisa dilihat semisal ketika isu Papua serta Omnibus Law. LPM-LPM yang melakukan pemberitaan, menginisiasi diskusi, atau bahkan awaknya yang meliput gelombang aksi massa terkait dua isu itu, mendapat perlakuan represif.
Dalam tabulasi yang dihimpun kolaborasi Deduktif dan Tirto, tren represi terhadap persma dari tahun ke tahun terus meningkat. Namun, yang paling banyak terjadi, berada di rentang tahun 2019-2020.
Dalam dua tahun itu, total ada 38 kasus represi terhadap persma. Persis dengan apa yang disebut Herlambang soal peristiwa politik yang kerap melatari represi terhadap persma, semua kasus itu punya kaitan kuat dengan isu atau peristiwa politik yang tengah terjadi. Di tahun itu, isu Papua, Omnibus Law, dan kekerasan seksual di lingkungan kampus tengah jadi sorotan.
“Tren yang bisa saya lihat, secara keseluruhan, memang ini paralel dengan situasi kekerasan atau tekanan terhadap kebebasan akademik,” kata Herlambang.
Minim Payung Hukum di Tengah Ancaman, Posisi Persma Rentan
Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin mengatakan bahwa bentuk represi yang paling sering dilaporkan persma kepada LBH Pers adalah intimidasi. Jenisnya beragam, mulai dari ancaman pelaporan ke pihak berwajib hingga ancaman sanksi akademik. Umumnya, intimidasi dilakukan oleh pihak pejabat kampus, seperti rektor, dekan, atau dosen, dan menjadi awal represi-represi lain di kemudian hari.
Tak hanya pejabat kampus, terkadang, upaya represi terhadap persma juga dilakukan oleh sesama mahasiswa. Hal ini kerap terjadi saat persma membuat pemberitaan yang dianggap menyinggung organisasi kemahasiswaan tertentu. Bila dibandingkan dengan represi yang dilakukan oleh kampus, Ade menilai bahwa kasus represi persma oleh sesama mahasiswa menyimpan potensi kekerasan fisik yang lebih tinggi.
“Apalagi misalkan mereka kantornya enggak jauh, bersebelahan, satu kampus, sering ketemu, potensi [kekerasan] fisiknya sangat tinggi,” ujarnya.
Sebagai contoh, Ade mengambil kasus represi yang dialami LPM Institut. Pada April 2022 silam, LPM yang berlokasi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta itu memberitakan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh salah satu anggota kelompok pecinta alam (KPA) di kampus mereka. Akibat pemberitaan tersebut, LPM Institut mendapat serangkaian intimidasi dari organisasi terkait, mulai dari intimidasi via telepon, pemaksaan penurunan berita, hingga ancaman perusakan sekretariat.
Selain Institut, upaya represi oleh organisasi mahasiswa juga pernah dialami LPM Progress Universitas Indraprasta (Unindra). Pada akhir Maret 2020 lalu, salah satu reporter mereka, ARM, dipukuli oleh beberapa anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Persiapan Fakultas Teknik, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FTMIPA) Unindra PGRI.
Selain pemukulan, ARM juga mendapat ancaman pembunuhan. Kejadian tersebut dipicu oleh tulisan opini ARM bertajuk “Sesat Berpikir Kanda HMI dalam Menyikapi Omnibus Law” yang tayang di situs LPM Progress.
Sayangnya, di tengah berbagai ancaman yang dihadapi persma, belum ada payung hukum yang secara komprehensif melindungi mereka. Dalam Pasal 18 Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers, disebutkan bahwa yang berhak mendapatkan perlindungan sebagaimana tertulis dalam UU Pers hanyalah perusahaan pers yang telah berbadan hukum. Persma, yang bernaung di bawah universitas, tentu tak mendapat privilese ini.
Dalam kategorisasi Dewan Pers, persma ditempatkan di kuadran II. Kedudukannya sama dengan media komunitas, media keagamaan, dan media kehumasan. Jika terjadi sengketa karena pemberitaan, Dewan Pers berwenang memberi penilaian terhadap karya jurnalistik yang persma hasilkan, tetapi tidak dapat mengakomodir penyelesaian sengketa sesuai dengan UU Pers.
Sebagai civitas akademika, kegiatan jurnalistik yang dilakukan oleh persma dilindungi dalam Undang-Undang No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Namun, dalam praktiknya, petinggi-petinggi perguruan tinggi masih kerap menganggap persma sebagai humas kampus. Ketimpangan kuasa antara mahasiswa dan pejabat kampus pun dapat memperparah represi.
“Para petinggi pendidikan tinggi ini [yang] menganggap bahwa lo mahasiswa dan lo kalau misalkan dapat arahan, harus ngikutin. [Yang] begitu-begitu, kan, selalu muncul. Kalau ditegur, ya, jangan ngelawan, gitu. [Yang] begitu-begitu, dominasi itu, terlihat kental,” kata Ade.
Ade menilai, selama persma masih berada di bawah kampus, maka kampus memiliki kewajiban untuk melindungi mereka sesuai dengan mandat UU Pendidikan Tinggi. Lembaga yang berwenang dalam hal pendidikan tinggi, seperti Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi serta Kementerian Agama juga perlu membuat peraturan turunan terkait perlindungan dan mekanisme sengketa persma.
“Mungkin aja mereka mengadopsi mekanisme sengketa pers atau bahkan berkolaborasi dengan Dewan Pers,” pungkasnya.
Upaya Perlindungan Pers Mahasiswa
Tingginya kasus represi terhadap pers mahasiswa membuat Dewan Pers turun tangan. Pada awal November tahun lalu, Dewan Pers mengadakan diskusi bersama perwakilan persma di Bogor. Kegiatan yang dihadiri oleh belasan persma baik luring maupun daring untuk mengumpulkan masalah yang kerap menimpa mahasiswa saat membuat karya jurnalistik di kampus.
Arif Zulkifli, Ketua Komisi Hukum Dewan Pers mengatakan, perlindungan terhadap pers mahasiswa semakin penting karena kasus bertambah. Kasus terbaru yang menimpa persma Lintas, IAIN Ambon karena menulis kasus pelecehan seksual di kampus tersebut. Akibatnya Pemred Lintas tidak diizinkan menjalankan bimbingan skripsi oleh pihak kampus.
Menurut Arif, perlindungan terhadap persma penting karena dua hal, pertama adalah pers mahasiswa tempat para calon jurnalis digodok dan belajar. Kedua harus diakui bahwa 50-60 persen pasokan wartawan nasional pada umumnya berasal dari persma. Oleh karena itu, lanjutnya perlu aturan yang melindungi pers mahasiswa.
Saat ini, UU No 40 tahun 1999 belum mengakomodir perlindungan terhadap persma walaupun secara karya sesuai dengan kaidah dan kode etik jurnalistik. Minimnya aturan yang melindungi persma membuat Dewan Pers mencari solusi lain, salah satunya menjalin kerjasama dengan pihak kampus maupun kementerian terkait.
"Dewan Pers (berencana) menjalin memorandum of understanding (MoU) dengan kampus atau lembaga yang menaungi kampus agar mereka bersedia melindungi kemerdekaan pers. Mereka sedang belajar dan mereka adalah pemasok wartawan nasional. Jadi itu cita-cita besarnya," kata Arif kepada tim kolaborasi Tirto dan Deduktif, Jumat (30/12/22).
Dia mengungkapkan, lembaga yang menaungi kampus di antaranya Kemenristek, Kementerian Agama dan Kementerian Keuangan. Ia mengakui pihaknya tengah mengumpulkan permasalahan persma, kemudian pada Desember lalu mengumpulkan konstituen Dewan Pers (Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan sebagainya) untuk memberikan masukan terkait perlindungan persma.
Nantinya, masukan dari persma maupun konstituen Dewan Pers akan disusun menjadi nota kesepahaman (MoU) dengan para stakeholder di kementerian terkait. Dewan Pers sendiri menargetkan nota kesepahaman dengan kementerian bisa diselesaikan pada 2023. Ia bilang, jangan sampai nota kesepahaman ini molor sampai tahun depan karena ada tahun politik.
"Ya mudah-mudahan sih, pelan-pelan 2023 lah saya bayangin ya rampungkan. Tahun depan udah urusan pemilu," ucapnya.
Rencana Dewan Pers memberi perlindungan terhadap pers mahasiswa menjadi harapan baru, salah satunya Yolanda. Ia menggambarkan tahun 2022 persma masih sangat rentan terhadap intimidasi, kriminalisasi hingga berakhir pemberhentian studi mahasiswa oleh pihak kampus. Kasus pemberhentian mahasiswa tentunya diputuskan sepihak oleh kampus.
Sejak kasus Persma Lintas, Yolanda melihat Dewan Pers melakukan berbagai upaya melindungi teman-teman pers mahasiswa lainnya, salah satunya merumuskan nota kesepahaman dengan kementerian terkait.
"Dewan Pers juga mau buat perlindungan terhadap Persma. Nah aku pikir di tahun 2022 ini memang titik puncaknya semua orang sudah harus mikirin bagaimana cari perlindungan buat pers mahasiswa," tutup Yolanda. []
Liputan ini merupakan hasil kolaborasi Tirto.id dan Deduktif.id. Tim kolaborasi berhasil menjadi finalis terpilih dan mendapatkan grant dari Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PMNN) atau Jaring Aman.
Penulis: Johanes Hutabarat
Editor: Nuran Wibisono