Menuju konten utama

Teror Peretasan Pers Mahasiswa Teknokra Menyisakan Trauma

Peristiwa peretasan akun Persma Teknokra menyisakan trauma mendalam bagi Mitha hingga kini.

Teror Peretasan Pers Mahasiswa Teknokra Menyisakan Trauma
Header Indepth Persma Teknokra Diteror. tirto.id/Ecun

tirto.id - Meski sudah dua tahun berlalu, rasa trauma masih menghantui Mitha Setiani Asih. Mantan Pemimpin Redaksi Teknokra itu mendapat teror berupa peretasan akun ojek online dan media sosial.

"Kalau aku pribadi, ada ketakutan sendiri. Kalau ada orang naik motor diam, cuma laki-laki sendiri, aku takut," kata Mitha kepada tim kolaborasi Tirto dan Deduktif akhir Desember 2022.

Kasus teror ini berawal dari kegiatan diskusi daring Pers Mahasiswa Teknokra, Universitas Lampung bertema "Diskriminasi Rasial Terhadap Papua" pada, Kamis 11 Juni 2020. Diskusi itu menghadirkan sejumlah pembicara: Surya Anta Ginting, juru bicara Front Rakyat Indonesia for West Papua; Jhon Gobai selaku Ketua Aliansi Mahasiswa Papua, dan Tantowi Anwar dari Serikat Jurnalisme untuk Keberagaman. Sementara, Mitha bertugas sebagai moderator dan Chairul Rahman Arif menjadi narahubung diskusi.

Salah satu yang diyakini sebagai faktor penyebab teror diskusi adalah foto dan nama yang terpampang dalam poster diskusi itu. Mereka yang terkena teror adalah Mitha, Chairul, dan Tantowi.

Mitha mengungkapkan, sehari sebelum diskusi, Chairul yang menjabat sebagai Pimpinan Umum Teknokra, mendapat telepon dari nomor tak dikenal mengatasnamakan alumni Unila. Ia menanyakan keberadaan tempat pengadaan diskusi Papua. Penelpon tidak menjelaskan identitasnya secara rinci, tetapi saat ditanya nama, dia langsung menutup teleponnya.

Tak lama kemudian, giliran Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Universitas Lampung Yulianto menelpon Chairul untuk menemuinya di ruang kerjanya lantai 3, Gedung Rektorat. Chairul menemui Yulianto sekitar pukul 11.30 WIB dengan mengajak Yesi Sarika, editor Teknokra. Pertemuan itu berlangsung sekitar 30 menit.

Dalam pertemuan itu, Yulianto meminta diskusi dihentikan karena pihak kampus dihubungi oleh Badan Intelijen Negara. Diskusi itu dianggap berbahaya bagi kampus, Chairul, dan Teknokra. Namun, Chairul saat itu menganggap omongan itu hanya usaha untuk menakuti pengurus Teknokra selaku penyelenggara diskusi Papua.

Permintaan penghentian diskusi ditolak pengurus Teknokra. Tak hanya itu, pihak kampus melalui Juru Bicara Rektor Universitas Lampung (Unila), Kahfi Nazarudin meminta penyelenggara untuk melibatkan dosen Unila dalam diskusi tersebut. Lagi-lagi permintaan itu ditolak penyelenggara, sebab upaya intervensi dari kampus bisa mengubah alur diskusi.

Kasus penghentian diskusi sebenarnya bukan hanya dialami Persma Teknokra.

Sebelumnya diskusi "New York Agreement dan Situasi Nduga" yang diadakan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Daunjati Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung pada Agustus 2019 silam, juga dihentikan oleh kepolisian dan rektorat dengan alasan belum ada izin.

Pada Oktober 2019, giliran diskusi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Teropong berjudul "Framing Media & Hoaks: Papua dalam Perspektif Media Arus Utama" yang diintimidasi dan dibubarkan oleh polisi serta pejabat Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS). Diskusi itu menyebabkan LPM Teropong dibubarkan dan dilarang berkegiatan di kampus.

Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Universitas Lampung, Yulianto membantah bahwa dirinya dihubungi pihak Badan Intelijen Negara untuk membatalkan diskusi diskriminasi rasial terhadap Papua.

"Enggak benar itu," klaim Yulianto melalui pesan singkat kepada tim kolaborasi Tirto dan Deduktif, Jumat (20/1/2023).

Namun, saat ditanya alasan pelarangan diskusi diskriminasi rasial terhadap Papua, Yulianto berdalih lupa karena kejadian tersebut sudah lama- dua tahun lalu. Ia pun enggan memberikan informasi lebih lanjut.

“Wah terkait itu, saya sudah lupa lho, mas. Karena sudah lama [kejadiannya]. Maaf nih nggak bisa menjelaskan lebih lanjut ya, mas,” ujarnya.

Diteror 24 Jam

10 Juni 2020, sekitar pukul 19.00 WIB, saat anak-anak Persma Teknokra pulang ke kos masing-masing, Mitha, Ayu dan Chairul memilih tinggal di Sekretariat Teknokra. Mereka menyelesaikan beberapa hal untuk kegiatan diskusi esok hari.

Pada pukul 19.39, Mitha mendapatkan pesan kode OTP akun Gojek miliknya. Awalnya dia tidak curiga dan mengabaikannya. Tak berselang lama, Mitha menerima ratusan pesan WhatsApp dan telepon dari pengemudi Gojek.

Pengemudi menanyakan pesanan makanan dari akun Mitha, padahal ia sama sekali tidak memesannya. Total ada 50 orderan fiktif. Satu kesamaan dari semua pesanan itu: pada kolom note to driver, ada anjuran bagi pengemudi untuk menghubungi nomor kontak WhatsApp Mitha.

Pesanan makanan itu bukan hanya dikirim ke Sekretariat Teknokra, tapi juga ke alamat Gang Sukra Wijaya No 165. Mitha tak tahu itu alamat siapa, tapi ketika belakangan ditelusuri, itu adalah alamat dari sebuah rumah makan Padang.

Mitha panik dan mencoba membatalkan pesanan-pesanan fiktif itu. Namun karena banyaknya orderan dan pesan, ponsel Mitha langsung hang.

“Aku udah panik banget dan histeris. Di situ cuma ada Irul dan Ayu. Irul panik juga, tapi masih berpikir rasional. Kalau saya tidak berpikir lebih berbahaya lagi ke depannya, karena saya ngeyel untuk ketemu gojek yang sudah ada di depan sekretariat,” ungkapnya.

Lalu Mitha meminta Chairul untuk menemaninya bertemu pengemudi ojek yang berada di depan sekretariat Teknokra. Awalnya Chairul menolak, karena menduga orang yang berada di depan sekretariat itu bukan pengemudi ojek, melainkan orang yang ingin menggagalkan diskusi soal Papua. Namun, tak lama kemudian Chairul menuruti permintaan Mitha.

Apa yang ditakuti Chairul ternyata salah. Orang yang berada di depan sekretariat memang pengemudi ojek online sebanyak tiga orang. Pengemudi marah dan Mitha menjelaskan masalah order tersebut dengan keadaan menangis.

"Aku jelasin semampunya, aku udah nangis-nangis, panik banget. Saya gak kepikiran itu dampak dari diskusi yang kami selenggarakan," kata Mitha.

Pengemudi ojek sadar jika Mitha bukan orang yang memesan makanan. Mereka meminta melihat aplikasi ojek di ponsel Mitha. Ternyata benar, pengemudi melihat pesanan masuk terus tanpa henti sampai pesanannya tak bisa dibatalkan. Kemudian pengemudi membantu menghubungi customer service Gojek untuk membatalkan puluhan pesanan itu.

Di saat Mitha masih diteror, Chairul juga menerima pesan teror melalui WhatsApp dengan screen capture data pribadi disertai kalimat ancaman keselamatan orang tuanya.

"Foto KTP (Chairul), rumah. Gak usah sok-sokan ngadain diskusi, mending kamu kuliah yang benar," ucap Mitha menirukan kembali pesan yang masuk di ponsel Chairul.

Pesan itu menyadarkan mereka bertiga bahwa teror ini merupakan dampak dari diskusi Papua. Tak berselang lama, seorang alumni Teknokra mengevakuasi Mitha, Chairul dan Ayu ke Sekretariat AJI Bandar Lampung.

Meski sudah dievakuasi, teror tak berhenti. Orang tak dikenal itu melakukan peretasan akun instagram (IG), Facebook (FB), dan akun Yahoo Teknokra. Bahkan akun medsos Chairul dan Mitha menjadi sasaran juga.

Akun Twitter milik alumni Teknokra, Khorik Istiana tak luput dari peretasan karena dia membuat thread kronologis kejadian. Para pelaku teror juga sempat salah sasaran, malah meretas akun IG Lembaga Pers Mahasiswa Teknokrat TV bukan Teknokra Unila.

Selang berapa jam kemudian, Mitha dan rekan Teknokra dipindahkan ke rumah aman privat karena Sekretariat AJI sangat mudah diketahui orang. Setiba di rumah aman, Mitha, Ayu, dan Chairul berdebat soal apakah diskusi harus dilanjut atau tidak.

Mitha dan Ayu berkeras tidak melanjutkan diskusi karena ketakutan. Mitha khawatir peretasan tidak hanya terhadi pada dirinya melainkan bisa merembet ke teman-teman, orangtua, dan berdampak buruk pada Teknokra sebagai lembaga.

Infografik indept Persma Teknokra Diteror

Infografik indept Persma Teknokra Diteror. tirto.id/Ecun

Chairul beserta alumni Teknokra berulang kali menenangkan dan meyakinkan Mitha dan Ayu untuk melanjutkan diskusi diskriminasi rasial Papua.

Akhirnya mereka sepakat diskusi tetap dilanjutkan. Untuk menghindari kemungkinan buruk lain, Mitha memakai ponsel yang berbeda. Seperti yang direncanakan sejak awal, diskusi disiarkan langsung lewat YouTube pada 11 Juni 2020, pukul 19.00 WIB.

Meski diskusinya berjalan lancar, tapi teror terhadap Mitha masih dilancarkan. Kolom komentar saat live di YouTube berlangsung, dibombardir oleh akun-akun yang menentang gagasan diskusi Teknokra. Salah satu akun yang mengomentari diskusi berhasil menemukan lokasi Mitha saat live. Bahkan ada yang mengaku sebagai orangtua Mitha.

Namun, semua kejadian itu tak diketahui Mitha sebab dia fokus memoderasi jalannya diskusi. Chairul sebagai penanggung jawab yang mengawasi kolom komentar enggan memberitahu Mitha karena khawatir panik. Ia baru memberitahu Mitha setelah diskusi selesai.

Bukan hanya diteror dalam kolom komentar, ternyata saat diskusi berlangsung akun WhatsApp bapak dan ibu Mitha diretas.

"Nomor (Whatsapp) bapak dan ibuku diretas juga. Mereka ambil alih nomor kedua orangtuaku," kata perempuan kelahiran Tulang Bawang ini.

Peretasan baru diketahui setelah kedua orangtuanya menghubungi Mitha dengan suara panik. Mereka mempertanyakan kenapa nomor WhatsApp tak bisa dipakai lagi. Mitha bilang bapak atau ibu salah klik link sehingga akunnya tak bisa diakses lagi. Jawaban itu sebenarnya untuk menenangkan mereka saja.

Mitha menjelaskan, sebelum terjadi peretasan, orangtuanya dihubungi oleh orang tak dikenal (OTK) dengan nomor luar negeri. Namun, kedua orang tuanya tak merespons karena khawatir modus penipuan. Mitha mengaku teror kepadanya lebih banyak dibandingkan Chairul.

"Aku gak tahu kalau orangtuaku diretas pas diskusi itu. Kalau aku tahu orangtuaku diretas sebelum diskusi, mungkin aku bakal batalin. Bullshit kalau bilang aku gak takut," katanya.

Selain Mitha dan orangtuanya, juga Chairul, ternyata serangan teror juga terjadi pada pemateri dalam diskusi yakni Tantowi Anwari dari Serikat Jurnalisme untuk keberagaman (Sejuk). Pada saat acara diskusi akan dimulai, akun Gojek dan WhatsApp mereka diretas.

Polisi Menolak Mengusut Teror Peretasan

Sembilan jam sebelum diskusi daring soal Diskriminasi Papua, Mitha dan Chairul didampingi LBH Bandar Lampung membuat laporan ke Polda Bandar Lampung. Sayangnya, polisi yang menerima pengaduan, Briptu M Ilham Mudharom, menolak laporan tersebut dengan dalih tidak ada pasal yang menjerat pelaku ancaman dan peretasan akun.

Damar Juniarto, Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mengungkapkan, kondisi itu terjadi karena polisi tidak memahami Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Yang dipahami hanya pencemaran nama baik, padahal di undang-undang tersebut ada pasal ilegal akses yang bisa digunakan oleh polisi.

"Pelaku mengakses akun gojek dari (Mitha) Teknokra untuk pemesanan. Harusnya pasal itu yang digunakan polisi dan itu tidak dilakukan," kata Damar kepada tim kolaborasi Tirto dan Deduktif, Jumat (14/1/2023).

Merujuk pasal 30 UU ITE disebutkan barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengakses sistem elektronik milik orang lain dengan ilegal bisa dipidana penjara 6 tahun dan denda 600 juta. Pasal lain yang bisa dikenakan kepada pelaku adalah pasal 369 ayat (1) KUHP, pelaku pengancaman dapat dipidana 4 tahun penjara. Dua pasal itu bisa digunakan polisi untuk menjerat pelaku.

Damar menambahkan, Ketua AJI Bandar Lampung Hendry Sihaloho juga terkena doxing saat mendampingi advokasi kasus Persma Teknokra. Tak hanya itu, akun Facebook dan Instagram turut diretas. Selain akun medsos dibobol, ponselnya tak bisa dihubungi melalui Whatsapp meskipun keadaan aktif dan sinyal bagus.

Infografik indept Korban Teror Persma Teknokra

Infografik indept Persma Teknokra Diteror. tirto.id/Ecun

Kejadian itu juga membuat AJI Bandar Lampung melaporkan ke polisi bersamaan kasus peretasan anggota Teknokra tetapi laporannya ditolak. Beda halnya jika kasus tersebut dialami orang yang dekat dengan kekuasaan, atau orang berpengaruh. Dalam sehari kasusnya bisa selesai.

"Kenapa ada perlakuan tebang pilih. Kalau yang laporkan influencer, mereka yang berada dalam kekuasaan kok cepat responsnya. Sedangkan pada media atau jurnalis yang berperan pada demokrasi, polisi lambat," kata Damar .

Kasus ilegal akses Tempo dan Tirto juga jadi contoh. Hingga sekarang kasus ini tidak ada perkembangannya. Begitu pula dengan kasus ilegal akses dan peretasan WhatsApp yang menimpa 37 awak redaksi dan mantan awak redaksi Narasi, hingga sekarang juga tak ada perkembangan.

Polisi berdalih tak ada perkembangan kasus Tempo dan Tirto karena dua media ini tidak mau membuka servernya. kepada polisi. Pada kasus Narasi, mereka memberikan akses server kepada polisi tetapi tetap saja tidak ada progres investigasinya.

"Ini bukan perkara pelapornya tidak bisa kerjasama dengan polisi. Polisi tetap milih kasus serangan digital," ujar Damar.

Dalam catatan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional, ada 185 kasus represi dengan 11 jenis represi terhadap persma dari tahun 2020-2021. Adapun bentuk represi yang sering dialami adalah teguran dengan 81 kasus, pencabutan berita (takedown) 24 kasus, makian 23 kasus, ancaman 20 kasus.

Selanjutnya, ada paksaan minta maaf atas pemberitaan 11 kasus, penurunan dana 11 kasus, tuduhan tanpa bukti enam kasus, penerbitan surat peringatan empat kasus, teror tiga kasus, dipukul preman di luar kampus satu kasus, dan pelarangan aktivitas jam malam satu kasus.

Pelaku represi beragam. Namun mayoritas pelaku represi adalah birokrasi kampus sebanyak 48 kali, mahasiswa 16 kali, dan Badan Eksekutif Mahasiswa/Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) 12 kali. Lalu Organisasi Mahasiswa Eksternal delapan kali, narasumber enam kali, Aparat Keamanan Negara- Polisi/TNI lima kali, Organisasi Mahasiswa Internal lima kali, Organisasi Masyarakat (Ormas) tiga kali, dan Orang Tidak Dikenal tiga kali.

Damar menjelaskan serangan terhadap wartawan maupun persma dengan isu beragam, salah satunya isu Papua. Kasus serangan secara digital maupun intimidasi bisa dilakukan oleh aparat intelijen, contohnya kasus yang menimpa Jubi dan Suara Papua. Hal itu juga terjadi pada persma Teknokra-Unila.

Situasi jurnalis di Indonesia sepanjang 2022 memang berada dalam situasi kurang aman. Demokrasi melemah dan otoritarianisme membahayakan kebebasan pers. Sejumlah undang-undang dan regulasi kian mempersempit ruang jurnalis di luring maupun daring. Damar menyebutkan, jurnalis juga masih menjadi target pembungkaman dari pelaku aktor negara dan aktor non-negara.

Ini ditandai dengan adanya 61 kasus serangan digital dengan 97 jurnalis dan 14 organisasi media menjadi korban pada 2022. Jumlah ini meningkat dibandingkan sebelumnya yang tercatat ada 43 kasus.

"Peretasan dan serangan DDoS menjadi tren serta jurnalis perempuan ada dalam bayang-bayang kekerasan seksual," ucapnya.

Pola serangan digital terhadap persma dan wartawan media mainstream ini sifatnya politis. Berbagai cara yang digunakan seperti intercept, doxing, trolling, disadap itu bukanlah sesuatu yang dilakukan secara acak, melainkan dengan target spesifik. Mereka yang terkena serangan tersebut pasti berkaitan dengan kritik terhadap kekuasaan.

"Kalau sudah menyinggung kekuasaan, itu menjadi serangan," kata Damar

Pengungkapan kasus represi ini, lanjutnya, tak bisa dilakukan secara biasa, sebab persma atau media mainstream berhadapan dengan pihak yang memiliki kekuasaan yang besar. Apalagi serangan digital lebih mudah dilakukan daripada serangan fisik maupun hukum, karena mudah dan berbiaya murah.

Menyisakan Trauma

Arif Zulkifli, Ketua Komisi Hukum Dewan Pers menilai, ancaman teror terhadap anggota pers mahasiswa Teknokra menyebabkan korban mengalami trauma. Tentu saja tujuan itu yang ingin dicapai oleh pelaku teror.

"Pasti (trauma). Di usia yang relatif muda mereka harus berhadapan dengan ancaman seperti itu pasti trauma," kata Arif kepada tim kolaborasi Tirto dan Deduktif, Jumat (30/12/2022).

Dia menambahkan, dalam kasus Teknokra, sulit untuk menyimpulkan pelaku dari lembaga tertentu meskipun orangnya mengaku. Pasalnya perlu pembuktian hukum untuk memastikan betul bahwa ancaman itu dari lembaga tersebut.

Sementara itu, Damar menjelaskan bahwa pihaknya belum melakukan uji digital forensik terkait peretasan akun milik pengurus Persma Teknokra, sebab terkendala situasi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) ketika pandemi COVID 19 melanda Jakarta.

Pada saat itu, SAFEnet hanya mendata kasus peretasan dan membantu memulihkan akun milik korban. Ia mengakui serangan peretasan membuat para korban trauma, salah satunya dialami Mitha. Selama ini, lanjutnya, orang berpikir serangan digital itu dampaknya kecil bagi korban. Padahal dampaknya sangat besar bagi psikis korban.

"Bisa dikatakan cukup berhasil (teror) meskipun mereka tetap berani mengadakan diskusi. Ada hal yang belum dipulihkan dalam hal psikologis. Ketika tidak dipulihkan menciptakan trauma, trauma tidak hanya kepada individu tapi bisa kelompok. Itu yang perlu dipikirkan," kata Damar.

Kini setelah lulus dari Universitas Lampung, Mitha telah bekerja sebagai staf komunikasi di sebuah Non-Governmental Organization (NGO) yang berfokus pada isu lingkungan. Sulit bagi alumni jurusan Pendidikan Bahasa Perancis FKIP, Unila itu melupakan rentetan teror selama 24 jam yang membuat luka dan trauma mendalam.

“Aku masih trauma. Aku ketakutan dan aku mengganti akun FB, ubah username agar tak mudah ditemukan. Username IG dan Twitter juga. Aku dulu pakai nama asli, sekarang ganti username untuk antisipasi,” tutup Mitha. []

Liputan ini merupakan hasil kolaborasi Tirto.id dan Deduktif.id. Tim kolaborasi berhasil menjadi finalis terpilih dan mendapatkan hibah dari Jaring Aman yang diselenggarakan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dan Jaring.id.

Baca juga artikel terkait PERETASAN atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Mild report
Reporter: Johanes Hutabarat & Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Nuran Wibisono