Menuju konten utama

Polisi Ciduk Persma di Makassar, Komite Jurnalis: Sewenang-wenang

Tiga persma ditangkap polisi saat meliput demonstrasi nelayan di Makassar. Komite menilai tindakan tersebut sewenang-wenang.

Polisi Ciduk Persma di Makassar, Komite Jurnalis: Sewenang-wenang
Sejumlah jurnalis yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) berunjuk rasa di Jalan Gubernur Suryo, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (28/9/2019). ANTARA FOTO/Didik Suhartono/wsj.

tirto.id - Komite Keselamatan Jurnalis mengecam penangkapan tiga anggota pers mahasiswa oleh Direktorat Kepolisian Perairan dan Udara (Polairud) Polda Sulawesi Selatan di Makassar. Mereka diciduk saat meliput demonstrasi Nelayan Kodingareng, Sabtu, 12 September 2020.

Mahasiswa yang ditangkap adalah Hendra (Ketua Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Universitas Hasanuddin/UKPM Unhas), Mansyur (Pimpinan Redaksi CakrawalaIDE Unit Penerbitan dan Penulisan Mahasiswa Universitas Muslim Indonesia/UPPM-UMI), dan Raihan (CakrawalaIDE). Sebelum dibawa, ketiganya diduga mendapatkan kekerasan dan intimidasi polisi.

Selain tiga orang ini, tujuh nelayan dan satu mahasiswa non-persma juga turut ditangkap.

"Mendesak aparat kepolisian membebaskan segera tiga jurnalis pers mahasiswa dan masyarakat sipil yang ditangkap secara sewenang-wenang," kata Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar, salah satu anggota komite, Nurdin Amir, saat dikonfirmasi, Minggu (13/9/2020).

Komite juga mendesak "Kapolri untuk menindak personelnya yang bertindak sewenang-wenang."

Penangkapan disebut sewenang-wenang karena tiga orang ini telah menunjukkan kartu pers dan surat tugas kepada polisi, tapi diabaikan.

Komite menilai ini bertentangan dengan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjamin jurnalis menjalankan profesinya. Undang-undang Pers juga mengatur sanksi bagi mereka yang menghalangi kerja wartawan. Pasal 18 UU Pers jelas menyebutkan: "Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berkaitan menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat 2 dan ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp. 500 juta."

Kasus di Kodingareng sendiri terkait dengan aktivitas perusahaan yang merugikan nelayan. Lokasi tambang pasir berada di wilayah tangkap nelayan. Kapal besar beroperasi pada jam-jam nelayan melaut. Nelayan susah cari ikan. Pendapatan pun turun drastis dalam enam bulan terakhir.

Protes dilakukan berkali-kali, dari mulai mencoba mengusir kapal penambang pasir, menduduki Makassar New Port--yang menggunakan pasir laut hasil penambangan, hingga unjuk rasa ke kantor Gubernur Sulsel. Mereka menuntut penambangan dihentikan sementara.

Jika memang tidak bisa dihentikan total, mereka meminta agar lokasi penambangan digeser agar tak mengganggu aktivitas. Semua itu tak direspons.

Setelah ditangkap, ketiganya diangkut menggunakan kapal Dit Polairud Polda Sulsel untuk dibawa ke kantor.

"Hingga saat ini, ketiga jurnalis tersebut masih ditahan di kantor Dit Polairud Polda Sulsel. Kepala Dit Polairud juga menghalang-halangi akses bantuan hukum," kata Nurdin.

Komite Keselamatan Jurnalis dideklarasikan di Jakarta pada 5 April 2019. Anggotanya adalah 10 organisasi pers dan masyarakat sipil, yaitu; AJI, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, SAFEnet, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Amnesty International Indonesia, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Baca juga artikel terkait PERS MAHASISWA atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Hukum
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino