tirto.id - India menghapus status istimewa Kashmir melalui Dekrit Presiden pada Senin (5/8/2019) yang membatalkan Undang-undang India Pasal 370 mengenai jaminan hak istimewa bagi Kashmir.
Kashmir yang mayoritas penduduknya beragama Islam, memiliki hak istimewa berupa konstitusi sendiri dan membuat keputusan kecuali dalam hal pertahanan, komunikasi, dan hubungan internasional.
Aljazeera melaporkan pada Kamis (8/8/2019), keputusan India untuk membatalkan hak istimewa Kashmir ini memperoleh kecaman dari beberapa pihak, seperti organisasi politik dan religius Kargil (wilayah perbatasan yang mayoritas penduduknya Islam). Kelompok tersebut menyebut India mengambil keputusan sepihak tanpa persetujuan dari rakyat.
Protes massa pun terjadi di Kargil (kota terbesar kedua di Jammu, ayng menjadi pusat protes massa), dan didukung oleh salah satu ormas yang cukup berpengaruh, yaitu Imam Khomeini Memorial Trust. Sheikh Sadiq Rajai, pemimpin ormas tersebut menyebut bahwa keputusan ini tidak berpihak ke masyarakat Kashmir.
"Ini adalah serangan bagi identitas kami. Keputusan ini akan melumpuhkan rakyat," ujarnya.
Seorang mantan legislatif Kargil, Asgar Ali Karbali mengecam pemerintah India dan menyebutnya sebagai hari gelap dalam sejarah bangsa India.
Puluhan ribu tentara dikerahkan untuk mengamankan massa, dan dua mantan menteri utama di negara bagian tersebut, Mehbooba Mufti dan Omar Abdullah dijadikan tahanan rumah, BBC mewartakan.
Sebelumnya, AS mengatakan akan memediasi India dan Pakistan untuk membicarakan wilayah Kashmir.
"Kami terus mendukung adanya dialog langsung antara India dan Pakistan atas Kashmir dan isu-isu lainnya," kata seorang juru bicara Departemen Luar Negeri AS.
Keputusan India untuk melepaskan wilayah Kashmir dari statusnya sebagai daerah istimewa menuai protes dari warga, dan kecaman dari Pakistan. Rabu (7/8/2019), Pakistan memutuskan untuk menarik hubungan diplomatiknya dengan India karena keputusan tersebut.
"Kami akan menarik kembali utusan [diplomasi] kami dari Delhi dan mengirim kembali utusan mereka," kata Shah Mehmood Qureshi, Menteri Luar Negeri Iran, dilansir DW.
Kashmir merupakan wilayah yang telah lama menjadi sengketa antara Pakistan dan India, dan Cina. Kashmir adalah etnis yang mendiami wilayah perbatasan 3 negara tersebut.
Daerah Jammu dan Kashmir, adalah bagian dari India, tetapi diklaim oleh Pakistan (yang hak istimewanya tengah dicabut oleh India). Gilgit-Baltistan dan Azad Kashmir adalah wilayah yang dikontrol oleh Pakistan namun diklaim oleh India.
Siachen glacier dikontrol oleh India tetapi diklaim oleh Pakistan. Wilayah Lembah Shaksgam dan Aksai chin dikontrol oleh Cina, tetapi diklaim oleh India. Status istimewa yang dimiliki Jammu dan Kashmir sebelumnya membuat wilayah tersebut bebas dari hak kepemilikan atau klaim tanah oleh India, sehingga rakyat Jammu dan Kashmir dapat mengatur milik mereka sendiri.
Keputusan pemerintah India mencabut hak istimewa tersebut diikuti oleh serangkaian protes massa di Jammu dan Kashmir. Pemerintah kemudian memutus saluran telepon dan internet di wilayah tersebut.
Pemerintah India mengaku telah berkonsultasi dengan AS terkait keputusan yang diambil, tetapi AS menyanggah hal tersebut. Dalam sebuah unggahan di media sosial Kementerian Luar Negeri AS menyangkal bahwa India telah berkonsultasi sebelumnya.
"Berlawanan dengan laporan press, pemerintah India tidak mengonsultasikan atau menginformasikan kepada pemerintah AS sebelum membatalkan status konstitusi spesial Jammu dan Kashmir. -AGW" tulis unggahan tersebut.
Melansir BBC, Kashmir telah lama menjadi wilayah sengketa antara Pakistan dan India sejak 1940-an, saat Inggris masih berkuasa atas sebagian wilayah India (yang mayoritas Hindu) dan Pakistan (mayoritas Muslim).
Pada 1947, pemimpin lokal, Maharaja Kashmir menandatangani perjanjian aksesi dengan India setelah Kashmir diserang oleh kelompok suku Pakistan. Hal ini menyebabkan perang antara Pakistan-India.
India kemudian mengangkat kasus Kashmir ini ke Dewan Keamanan PBB setahun setelahnya, dan diputuskan melalui Resolusi 47, status resmi wilayah tersebut, dan meminta Pakistan menarik seluruh pasukannya dari wilayah Kashmir dan India untuk menempatkan pasukan militer dalam jumlah minimum.
Pada 1951, Jammu dan Kashmir, melalui pemilihan umum kembali menjadi wilayah teritori milik India dengan konstitusi istimewa, namun PBB dan Pakistan merasa bahwa pemilu tersebut perlu ditinjau ulang dengan pemilihan di seluruh wilayah yang sbeelumnya dipimpin kepangeranan (Maharaja).
Perseteruan antara India-Pakistan di Kashmir tidak pernah benar-benar selesai. Banyak kasus penculikan, teror, dan kekerasan terus terjadi. Terakhir, anggota militan menyerang para peziarah Hindu dan membunuh 7 orang, 16 lainnya terluka. Serangan tersebut menjadi yang terparah sejak tahun 2000.
Penulis: Anggit Setiani Dayana
Editor: Yantina Debora