Menuju konten utama

Kalibata City: "New York" Mini di Dalam Jakarta

Ini cerita tentang mereka yang memilih tinggal di rumah susun Kalibata City.

Kalibata City:
Potret keluarga pemilik rumah makan Bean Brew di ruko lantai dasar Blok Herbras yang banyak dihuni oleh warga negara asing, khususnya dari Timur Tengah. Beberapa dari penghuni WNA membuka warung kelontong ataupun rumah makan di blok Kalibata City ini. tirto.id/Hafitz Maulana

tirto.id - “Anjing!” umpat Bayu Maitra dalam hati. Ketika pintu lift terbuka, matanya langsung menangkap seorang pria bugil sedang menggedor-gedor salah satu pintu apartemen di lantai itu. “Mungkin gay yang sedang dikerjain teman-temannya,” kata Bayu, penulis naskah film dan sinetron. “Abis main game sambil mabuk kali.”

Pemandangan itu cukup mengganggu Bayu yang heteroseksual. Ia sempat berpikir mengadukan tingkah tetangganya itu pada satuan pengamanan, tapi urung karena menganggap hal tersebut lucu-lucuan belaka.

“Mungkin kalau pas gue keluar lagi dia masih ada, baru gue laporin. Kalau begitu, kan, udah ganggu banget soalnya,” tambah Bayu. Ia terkikik mengingat pengalaman konyol itu.

Di Kamis terakhir September kemarin, kami duduk di sudut teras Sama Dengan Coffee, yang sempit tapi nyaman. Sebuah kedai kopi urban yang jadi langganan tempat Bayu mengopi, melamun, dan mencari inspirasi buat naskah-naskahnya. Letaknya persis di samping kiri pintu utama masuk mal Kalibata City Square.

Tepat di bawah pelantang suara yang kencang melantunkan lagu-lagu artis Motown zaman awal, Bayu menceritakan pengalamannya tinggal di rusun Kalibata City alias Kalcit. Kompleks seluas 12 hektare ini termasuk dalam kategori bangunan rumah susun, tapi lebih populer disebut apartemen. Bayu sudah tinggal di sana sejak 2012, tahun yang sama ketika pengelola menyatakan apartemen itu siap dihuni.

Sebelumnya ia tinggal di Cinere, Depok. Jarak yang jelas makan waktu untuk sampai ke kantor lamanya di Kuningan, Setiabudi, Jakarta Selatan. Dekat dengan stasiun KRL plus harga terjangkau menjadi alasan lain pilihan Bayu jatuh pada Kalcit—persis alasan yang juga dipakai ribuan penduduk Kalcit lain.

Sebagai bujangan, nilai privasi yang dijual hunian apartemen juga lebih cocok dengan rutinitas Bayu yang dulunya wartawan. Ia tak perlu menghadapi tetangga-tetangga rese tukang rumpi ketika harus pulang larut, misalnya.

Ia kepalang merasa nyaman. Apalagi kini Kalcit makin ramai. Bukan cuma kedai kopi 24 jam, segala jenis makanan dan hiburan pun ada di sana. Mal Kalibata City Square bahkan kini punya bioskop sendiri. Tapi, yang paling bikin betah Bayu adalah keragaman orang-orangnya.

“Orang-orang Kalcit itu is the real people. Gue seneng ngeliatin aneka-aneka mereka. Itu ngebantu kerjaan gue,” tambahnya.

Kalimat itu tak berlebihan. Meja di balik kaca belakang saya diisi seorang bule berumur berpakaian batik, yang bercakap dengan perempuan berhijab—mungkin lebih muda separuh umur si bule. Meja di sebelahnya diisi bule berwajah Kaukasia yang berbahasa Spanyol dengan perempuan berwajah Melayu. Menguping mereka, lalu berimajinasi tentang motif paling masuk akal dari pertemuan itu, pasti menyenangkan.

Melihat orang berlalu-lalang, saya paham mengapa Bayu senang: Kalcit memang surga ide buat pekerja kreatif macam dia.

Party Anak Muda, Sampah di Lorong, Bau Pesing Kencing

“Dengerin, deh,” kata Brian Joseph. Mata Brian bendil, ekspresinya tegang. Lalu kamera ponselnya merekam kuping Brian yang menempel ke dinding. Sayup-sayup terdengar suara perempuan dan pria yang sedang berdebat, diiringi suara barang-barang yang dibanting. Video itu lalu ia unggah di Instastory-nya.

Lain hari, Brian merekam sepotong pembalut yang tercecer di lorong apartemennya dan menggerutu: “C’mon people!”. Kala itu, Brian masih tinggal di Tower Jasmine.

Tahun ini, ia pindah ke Tower Kemuning karena unit lama yang ia kontrak dibeli orang lain, yang minta dia pindah karena ingin ditempati. “Taik banget, sih,” celetuknya.

Di sana, Brian yang homoseksual tinggal bersama pacarnya, dan seorang sahabat pria. Mereka patungan Rp4 juta per bulan untuk satu unit dengan dua kamar dan satu kamar mandi.

Lain waktu lagi, Brian—yang nama aslinya disamarkan demi alasan keamanan—juga pernah memotret selembar poster menolak LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transeksual) yang dipasang di salah satu menara Kalcit. Ia kembali mengunggah temuan itu ke Instastory yang kemudian ramai tanggapan dari kawan-kawannya.

“Beneran tempat lu segitunya?”

“Ya ampun parah banget. Hati-hati ya, lu.”

Brian sendiri cuek. “LGBT di belahan Indonesia manapun ya tetap enggak aman sih, ya. Kalau masalah keamanan, tentu (Kalcit) tidak aman, ya,” kata Brian sambil tertawa.

Tapi, sama seperti Bayu, Brian senang dengan keragaman "rakyat Kalcit." Buatnya, Kalcit tak melulu buruk seperti citra gelap yang melengketinya. Praktik prostitusi, narkoba, dan bunuh diri yang beberapa kali pernah direkam media bukanlah perihal yang cuma terjadi di Kalcit.

“Ada banyak keluarga kok yang tinggal di sini. Bukan cuma orang-orang yang pakaiannya seksi. Yang pakai hijab, cadar, juga ada. Menurutku sih (Kalcit) cuma jadi kambing hitam aja,” kata Brian. “Kalibata is not that bad,” tambahnya.

Bayu Maitra berkata kepada saya bahwa citra gelap yang melekat pada rusun dengan 18 menara ini tak jadi masalah baginya. Sarang prostitusi dan narkoba menurutnya cuma "label yang datang dari media." Dua hal itu wajar, yang terjadi di tempat lain.

“Ya karena orang-orang di media terbatas, jadi yang sering diliput sini aja. Akhirnya label itu kuatnya di sini,” kata Bayu.

“Kalau gue nikah nanti, gue juga belum tentu pindah dari sini,” timpalnya.

Bagi Bayu, kehidupan di Kalcit masih asyik-asyik saja. Khas kehidupan orang-orang urban yang memilih tinggal di apartemen.

Bertemu orang telanjang di lorong apartemennya di Tower Sakura bukan satu-satunya pengalaman unik yang diingat Bayu. Ia juga pernah hampir menggedor tetangga sebelah unitnya karena mereka terlalu bising di tengah malam. Tapi, buru-buru dicegah pacarnya yang kebetulan menginap saat itu.

“Udah ah, enggak usah,” Bayu mengulang kalimat pacarnya. “Akhirnya ya enggak jadi. Mungkin karena malam Minggu, kan, paling mereka lagi minum-minum,” kata Bayu.

Surwandi, salah satu pemilik kedai kopi Sama Dengan, juga pernah punya pengalaman serupa. Suara musik dan tawa yang kencang dari unit tetangga bukan barang langka di Kalcit. Tembok yang tak terlalu tebal memang “kadang-kadang bisa bikin kita terganggu,” kata Surwandi, yang tinggal di Tower Kemuning.

Namun, ia tak pernah menegur tetangganya, atau mengadukan suara pesta malam Minggu macam itu ke pengelola, apalagi satpam. Buat Surwandi, hal-hal itu masih dalam batas wajar.

Cuma, pernah sekali ia melaporkan tetangga sebelah unitnya karena kamar mereka menguarkan bau pesing kencing bayi. Kamar yang luasnya tak lebih dari 33 meter persegi itu dihuni lebih dari 10 orang, tebak Surwandi. Mereka semua pengungsi dari Afganistan.

“Memang enggak lama, mungkin cuma seminggu mereka di sana, tapi mungkin karena terlalu ramai jadi mereka sering biarkan pintu depannya terbuka aja. Jadi kecium sampai di lorong,” kata Surwandi.

Infografik HL Indepth Kalcit

Mendisiplinkan (atau Menyeragamkan?) Penduduk Kalcit

Selain label "sarang prostitusi dan narkoba," Kalcit terkenal sebagai daerah singgah para pengungsi (refugee). Tampang dari pelbagai ras memang ramai lalu-lalang di sana: Kaukasia, Afrika, atau Timur Tengah.

Rizka Argadianti dari Suaka—sebuah jaringan masyarakat sipil bagi perlindungan hak-hak pencari suaka dan pengungsi di Indonesia—berkata agak sulit mengetahui jumlah sahih para pencari suaka yang sementara tinggal di Kalcit. "Sebab kebanyakan pengungsi datang dengan uang mereka sendiri," kata Rizka. Mereka lebih dulu mencari keluarga atau tempat yang bisa ditumpangi, alih-alih mendatakan diri pada organisasi-organisasi tertentu.

“Mereka suka ke Kalibata (City) karena dekat dengan kantor UNHCR (lembaga PBB yang biasa mendata pengungsi),” ujar Rizka.

Organisasi macam Suaka mengurusi problem para pengungsi yang singgah ke Indonesia, termasuk di Jakarta, dan “sekitar 52 persen pengungsi yang datang ke Indonesia dari Afganistan," tambah Rizka.

Saya sempat bertemu dua orang yang memang mengaku pengungsi. Menemukan mereka agak susah, karena ekspatriat juga bukan kaum yang sedikit di Kalcit. Dua orang ini sama-sama tak ingin diwawancarai dan berbagi cerita. Dengan bahasa Inggris terbatas, salah seorang dari mereka yang bertampang khas Timur Tengah berkata kepada saya, “I’m sorry, brother. Sorry. Not safe,” sambil tersenyum.

Kata Rizka, hal itu wajar karena tak semua pengungsi mendaftar ke UNHCR dan dapat kartu identitas pengungsi. Belum lagi stigma pada mereka sering kali jelek, dan Indonesia bukan contoh paling baik negara singgah buat pengungsi. Media di Indonesia juga belum ramah pada pengungsi sehingga mereka sering menolak untuk bertemu wartawan.

Kehadiran mereka jadi penanda betapa beragamnya demografi Kalcit.

“Aku belum pernah ke New York, tapi menurutku Kalcit ini kayak New York-nya di dalam Jakarta,” kata Brian Joseph. “Dia ramai, bising, diverse, jorok, tapi semuanya ada di sini. Bukti kalau semua golongan bisa hidup berdampingan.”

Sayangnya, hiruk pikuk itu masih perlu ditata, kata Rudi Budianto, lurah Rawajati, tempat warga Kalibata City bernaung. Pemerintah daerah tak sepakat bahwa prostitusi dan narkoba di Kalcit adalah hal lumrah. Terlebih bagi Gubernur DKI Anies Baswedan, yang dalam masa kampanyenya tempo hari jadi yang paling nyalang ingin memberantas praktik prostitusi dan penyalahgunaan narkoba di Jakarta.

“Khusus Kalibata City, sudah disiapkan langkah untuk penghentian dan pencegahan dengan melibatkan penghuni,” tulis Anies di Instagramnya, 16 September kemarin.

Anies berang karena awal Agustus kemarin, Polda Metro Jaya kembali mengungkap praktik prostitusi di apartemen Kalibata City. Polisi menduga lima dari 18 menara apartemen menjadi tempat untuk menjalankan bisnis esek-esek tersebut.

Sebanyak 32 orang "diamankan" dalam penangkapan di Kalcit: 17 di antaranya pelanggan dan 15 lainnya adalah tunasusila. Dari 17 pelanggan, dua orang adalah lelaki di bawah umur; sedangkan lima PSK berstatus anak.

Hiruk pikuk itu yang menurut Anies Baswedan jadi kendala untuk masalah keamanan Kalcit. Salah satu cara yang ingin diterapkannya adalah mengambil foto serta mencatat nama tamu yang datang ke apartemen itu.

“Salah satu prinsip pencegahan: wajah dan nama “tamu” akan difoto-dicatat dan tentu saja bisa diumumkan pada publik,” kata Anies.

Sampai sekarang, hal itu belum diberlakukan. Namun, kelurahan Rawajati sudah mulai melakukan pendataan pada seluruh penghuni. Tujuannya, mengetahui demografi asli mereka. “Sehingga nanti tahu mana yang cuma nyewa, siapa aja pemilik unitnya, jadi pengawasannya lebih gampang,” kata Ery Dwi Wanto, RT di Tower Flamboyan.

Sejak enam bulan lalu, seluruh menara di Kalcit diwajibkan memiliki satu orang RT. Namun, ketika masa pemilihan, hanya 14 orang yang dilantik untuk 14 menara, salah satunya Ery. Sisa menara lain tak punya perwakilan yang mengajukan diri sebagai RT.

Para RT ini kemudian aktif membentuk grup WhatsApp dan sempat menyebarkan edaran ke tiap unit agar bergabung dan melakukan pendataan diri. Surwandi adalah salah satu yang sudah masuk grup itu. Tapi, ia berkata ia jadi anggota pasif belaka. Siapa nama RT-nya saja ia tak tahu, ujarnya.

Surwandi hanya ingin praktis dan ikut aturan. Ia senang karena tujuan program tersebut agar kawasan hunian vertikal yang ia tempati "lebih aman."

Brian berkata kepada saya bahwa ia tak masalah dengan iktikad pendataan tersebut. “Ya, I have dildo sih in my room, tapi, kan, gue tidak melakukan hal yang mereka maksudkan (prostitusi dan penyalahgunaan narkoba), jadi aku sih chill aja,” katanya.

Namun, ide "merekam muka tamu" dan "menyebarkan foto" adalah tindakan konyol, menurut Brian. “Ya gimana pun, apartemen ini, kan, hunian pribadi. Ya, pemerintah sadar aja ranahnya, dong. Enggak usah sampai terlalu masuk ke privasi banget.”

Sampai sekarang Brian belum mendaftar karena belum ada waktu. “Pernah sih ada yang gedor-gedor kemarin. Cuma karena aku sendirian di rumah, dua temanku masih di kantor, aku enggak berani buka. Soalnya, gedor-gedornya enggak selow gitu kan,” ia tertawa.

Baca juga artikel terkait KALIBATA CITY atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Humaniora
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam