tirto.id - Rumah adalah tempat di mana kamu pulang. Ia bisa di mana saja dan kadang rumah bukan soal bangunan permanen yang dilengkapi dengan listrik, pendingin ruangan, televisi atau dapur. Bagi banyak orang, rumah adalah tempat kumuh di pinggiran rel kereta api, di bantaran sungai, atau bahkan gubuk kardus di bawah jembatan. Rumah, seperti juga cinta, bukan perkara di mana. Kadang perkara dengan siapa kamu menempatinya bersama.
Rumah dibuat agar seseorang bisa hidup layak baik sendiri maupun bersama keluarga tercinta. Di kota besar, pilihan hunian cukup beragam. Mereka yang memiliki pasangan dan anak, tentu akan memilih rumah yang luas agar anak-anak bisa bermain dan bersosialisasi. Sementara mereka yang masih lajang ataupun belum memiliki keturunan, umumnya memilih mengontrak ataupun membeli apartemen.
Di Indonesia, khususnya di Jakarta, apartemen adalah barang mewah. Fasilitas seperti kolam renang, gym, parkiran, mal, dan dekat dengan alat transportasi publik membuat sebuah kamar apartemen bisa mahal. Belum lagi perkara gengsi, bahwa seseorang bisa mapan dan mampu membeli apartemen dengan nilai yang tentu tidak murah.
Hidup di apartemen apalagi jika sendiri kerap kali adalah usaha untuk tetap waras. Dalam riset yang dilakukan oleh Journal of Population Sciences, diketahui bahwa mereka yang tinggal sendiri rentan mengalami gangguan kesehatan mental. Riset ini dilakukan di negara-negara maju di Asia seperti Cina, Jepang, dan Korea. Hasilnya banyak orang yang tinggal sendiri di apartemen kerap mengalami kesepian. Rasa kesepian itu yang membuat seseorang kurang bersemangat dan pada akhirnya berpengaruh pada kondisi kesehatan seorang individu.
Studi lain di Finlandia yang menyertakan 3.500 orang baik laki-laki maupun perempuan berusia 30-65 tahun diketahui bahwa mereka yang hidup sendiri lebih mungkin mendapatkan resep anti depresan ketimbang yang hidup bersama orang lain. Dalam studi yang berlangsung selama tujuh tahun ini diketahui bahwa mereka yang hidup sendiri adalah salah satu faktor yang dapat mengganggu kesehatan mental seseorang. Ketiadaan orang untuk berbagi perasaan, bicara, dan berinteraksi membuat manusia lebih lemah. Riset ini diterbitkan di jurnal BMC Public Health
Tetapi ada yang perlu kita pahami sebelumnya. Mereka yang hidup sendiri bukan berarti kesepian. Laura Pulkki-Råback, Ph.D. dosen dari University of Helsinki's Institute of Behavioral Sciences, menyebutkan bahwa mereka yang sinis kerap kali memilih hidup sendiri karena komunikasi dengan orang lain adalah hal yang merepotkan. Jika tidak hati-hati, kata Pulkki-Råback, mereka yang hidup sendiri di apartemen akan mengalami perasaan terasing dari masyarakat.
Pengguna apartemen yang memang memilih untuk hidup sendiri bisa jadi sadar akan hal ini. Dalam buku Going Solo: The Extraordinary Rise And Surprising Appeal Of Living Alone, karya Eric Kinenberg, diketahui bahwa mereka yang hidup sendiri mampu bekerja lebih baik karena bisa fokus pada satu hal. Hidup sendiri membuat biaya hidup seseorang lebih murah, kadang terasing dari berbagai hal seperti media sosial dan gosip tetangga membuat seseorang hidup lebih baik. Apartemen bisa jadi satu sarana memutus kontak dengan dunia luar sama sekali.
Dampak buruk hidup di apartemen bisa jadi bukan hanya dirasakan oleh mereka yang hidup sendiri. Bagi yang berkeluarga hidup di apartemen bisa jadi masalah jika mereka memiliki anak. Menurut Susan Saegert, profesor psikologi lingkungan di CUNY Graduate Center dan direktur dari the Housing Environments Research Group mengatakan, mikro apartemen bisa punya pengaruh buruk bagi tumbuh kembang anak kecil, apalagi yang tinggal di ruangan kecil.
Menurut Susan anak yang hidup di apartemen akan merasakan keterputusan dengan lingkungan sekitarnya. Interaksi sesama anak merupakan faktor tumbuh kembang penting yang sulit terjadi di lingkungan apartemen. Sementara itu jika terus menerus dilakukan, anak akan mengalami kesulitan belajar dan konsentrasi. Ruang privasi anak juga akan terengut karena keterbatasan ruang yang berimbas pada kondisi mental mereka ketika dewasa.
Hidup di apartemen kerap kali membuat penghuninya tak mengenal satu sama lain tetangga kanan kirinya. Mereka yang hidup di Apartemen adalah para pekerja yang tak punya waktu berinteraksi. Pada hari kerja mereka sibuk bekerja, di akhir pekan mereka kelelahan dan istirahat. Banyak dari pengguna apartemen adalah milenial, data resmi di Indonesia masih belum ada, namun di Amerika Serikat berdasarkan sensus negara itu. Mayoritas penyewa apartemen adalah milenial.
Setidaknya ada dua juta penyewa rumah yang melamar pada 2014. Pada awal 2015 diketahui sebagian besar penyewa adalah milenial yang mencari apartemen di kota-kota besar. Apartemen dianggap memiliki perlindungan privasi yang lebih baik daripada rumah biasa. Lebih dari itu pengguna apartemen tetap bisa berinteraksi tanpa harus dipusingkan dengan jarak karena dekat dengan pusat-pusat hiburan.
Berdasarkan Axiometrics, ongkos sewa apartemen yang relatif lebih murah ketimbang rumah membuat milenial menjadi tergoda. Selain itu adanya kenaikan tren di kalangan milenial yang tak tertarik memiliki rumah. Harga properti yang terlalu mahal membuat milenial lebih berpikir memanfaatkan uangnya untuk kepentigan lain. Bagi milenial ,uang yang ada dikumpulkan untuk hal-hal lain yang lebih menarik seperti traveling, memenuhi hobi, atau investasi dalam bisnis.
Memang kadang hidup sendiri di apartemen membuat kita menjadi susah dalam banyak hal. Misalnya apabila hendak mengurus hal-hal administratif seperti pembuatan KTP atau pengantar RT. Belum lagi jika pengelola apartemen merupakan pihak yang curang, seperti menaikkan harga layanan air, listrik, atau bahkan parkir secara sepihak. Tapi bagi beberapa orang ini adalah surga, daripada hidup di komplek yang jauh dari tempat kerja, atau mesti direpotkan dengan tetangga yang usil, hidup sendiri di apartemen bisa jadi lebih manusiawi.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti