tirto.id - Tiga puluh menit menjelang tengah malam. Sigit, bukan nama sebenarnya, petugas parkir Kalibata City, bisa sedikit bernapas lega. Ia punya waktu menyandarkan tubuh di pot tinggi yang menghiasi trotoar area parkir. Pria bertubuh kurus ini bisa membuka ponsel, mengetik pesan untuk sejumlah rekan sambil sesekali tersenyum sendiri. Ketika ada rekan kerja yang menghampiri, ia punya energi untuk berbincang sambil sedikit bercanda.
Tugas Sigit malam itu bagai menjaga anak yang tengah terlelap dengan tenang. Mobil-mobil penghuni dan tamu kompleks apartemen Kalibata City telah tertata rapi. Padat bagai susunan puzzle yang sudah lengkap. Tak ada lagi kendaraan yang berlalu-lalang memburu parkir.
“Mana bisa kayak gini kalau saya shift jam 2 siang? Pegang HP saja enggak sempat,” katanya kepada saya.
Situasi yang cukup hening membuatnya punya waktu berpikir tentang masa depan. Malam itu, di trotoar kawasan Green Palace, dianggap area "elite" Kalcit, ia bercerita kepada saya bahwa ia tengah mencari jalan baru selain jadi petugas parkir. Ia perantau dari Jawa Timur. Setahun lalu, seorang saudara mengajaknya ke Jakarta untuk bekerja di Kalibata City. Pesan pertama yang ia dapat: Di sini parkirannya ramai.
Sigit menerima pesan itu tanpa rasa khawatir. Ia tak membayangkan kalimat tersebut akan mewujud pada ragam makian yang datang setiap hari dari mulut para pengendara kendaraan bermotor di tempat ini.
Ia terkejut. Tetapi layaknya seorang pria Jawa, ia berkata lembut, “Ya tapi mau bagaimana lagi? Kondisinya memang begini. Diterima saja.” Ia memilih menguatkan telinga saat mendengar protes para pengendara saat mobil mereka baret dan saat ia kewalahan menyediakan slot parkir dengan cepat.
Di Kalcit, saking banyak penghuni meski sampai kini pihak pengelola tak bisa menyodorkan jumlah pastinya, kejadian mobil baret adalah hal lumrah. Biasanya mobil-mobil ini diparkir paralel, bikin pengendara lain kesal dan menumpahkan amarahnya dengan meleceti mobil tersebut.
Setiap petugas parkir di Kalibata City bertanggungjawab untuk menjaga dua gedung apartemen. Dalam satu kali shift biasanya pihak manajemen menurunkan dua sampai tiga petugas parkir untuk berjaga di lokasi yang sama. Di sini, peran petugas parkir bisa dikatakan cenderung sering mendorong kendaraan ketimbang mengomando arah setir pengemudi.
Penyebabnya, metode parkir paralel yang harus diterapkan di tiap area parkir. Hal itu terpaksa dilakukan karena tiap-tiap menara apartemen belum punya ruang parkir yang cukup menampung jumlah kendaraan yang masuk.
Situasinya begini. Satu gedung apartemen di Kalcit terdiri 18 lantai. Setiap lantai diisi 40-50 unit apartemen dengan tipe ruang di bawah 50 meter persegi. Aturan yang ada menyebut bahwa pihak pengembang seharusnya menyediakan satu slot parkir untuk setiap lima unit apartemen.
Tetapi yang terjadi, area parkir satu gedung apartemen hanya memuat sekitar 40 mobil dalam keadaan parkir normal. Bila dibantu dengan teknik paralel, area parkir bisa memuat 60-an mobil. Para pengunjung gedung yang berlokasi di dekat tembok pembatas area apartemen bisa sedikit lega karena punya sekitar 30 tambahan slot parkir. Ini kemewahan sederhana yang (bila beruntung) bisa didapat para penghuni gedung Cendana, Damar, dan Herbras.
Peluang emas itu bisa terjadi di atas pukul 10.00- 14.00. Di luar jam itu, mencari parkir di Kalcit adalah perjuangan yang harus dilalui dengan sabar. Tidak ada perlakuan istimewa bagi penghuni yang sudah berlangganan parkir dan membayar Rp200 ribu per bulan. Prinsip yang berlaku: siapa cepat dia dapat.
Duta Kebenaran, penghuni Kalcit, berkata kepada saya, “Saya pernah pulang sekitar jam 11 malam dan harus mencari parkir selama 1,5 jam. Waktu itu sebenarnya saya melihat ada dua mobil keluar tetapi tidak ada petugas parkir yang berjaga sehingga kesempatan itu terlewat."
"Akhirnya," lanjut Duta, "ada petugas parkir yang mengarahkan untuk parkir paralel yang jaraknya dempet banget. Saya dapat parkir di gedung Borneo. Saya tinggal di Sakura. Ini lokasinya ujung ke ujung. Waktu itu saya sampai di kamar sekitar jam 1 pagi,” katanya.
Perasaan Duta cukup bisa saya mengerti. Saya pernah memberanikan diri masuk ke Kalcit mengendarai mobil sekitar jam 9 malam. Saya menyerah setelah dua kali memutar seluruh area apartemen dan gagal mendapat slot parkir. Jarak antar-mobil yang terlalu dempet saat parkir paralel memunculkan kepanikan tersendiri. Bila petugas parkir mendorong kendaraan sedikit lebih kuat, bunyi ‘dug’ pasti terdengar.
Ini yang saya lihat beberapa hari lalu saat saya berjalan kaki mengelilingi parkiran Kalcit sekitar pukul 21.30. Saya berdiri di area paling padat: lorong antara gedung Gaharu dan Damar, arah lurus pintu masuk samping apartemen. Yang terlihat adalah kemacetan, kemacetan, dan kemacetan.
Petugas parkir bolak-balik mendorong sejumlah mobil. Seorang pengendara berteriak karena kesal ingin dapat parkir. Bunyi ‘dug’ pelan pun terdengar beberapa kali. Bunyi itu seolah tak berarti bagi para petugas. Apa yang mereka lakukan adalah hanya sedikit menarik mobil agar tercipta sedikit jarak, lalu kembali berlari ke sana-sini mencarikan parkir, tanpa sempat mengatur napas.
Melihatnya saja rasanya saya ingin segera berlari ke tempat yang tenang. Mungkin tak berlebihan saat seorang kawan mengibaratkan area parkir Kalcit bagai "neraka versi Dante".
“Mau ekspektasi apa? Ini apartemen murah. Masak iya mau ngarep parkiran memadai? Kalau mau begitu, beli aja apartemen di atas 2 miliar,” kata Budi, bukan nama sebenarnya, setelah mengembuskan asap rokoknya.
Kami berbincang di area luar Kafe Upnormal, tempat yang selalu ia datangi setiap hari di area yang disebut pusat keramaian Kalcit. Ucapan itu ia tuturkan setelah mendengar saya menggumam mengapa hanya ada 15 slot parkir di depan gedung Kemuning, area downtown Kalcit. Budi membeli satu unit apartemen di Kalcit pada 2008 setelah tergiur dengan harga murah dan lokasi strategis. Bagi Budi, kondisi Kalcit sudah cukup memuaskan.
Satu pihak yang juga merasakan dampak negatif dari terbatasnya parkiran adalah pengelola badan usaha di kawasan ini. Saya berbincang dengan Adlan Zaki yang bekerja di Sama Dengan Coffee. Ia mengeluhkan betapa sulitnya saat harus memasukkan perlengkapan kebutuhan toko seperti bahan makanan, mesin pendingin, dan tanaman penghias ruang.
“Mobil barang tidak bisa berhenti lama di depan kafe. Saya juga tidak diperbolehkan untuk booking satu slot parkir hanya untuk memasukkan barang. Siasatnya sekarang, ada beberapa barang yang saya minta untuk diantar jam 1 pagi," ujar Zaki.
"Selebihnya, terpaksa menurunkan barang di lobi utama gedung dan bolak balik mengangkut barang tersebut sampai ke kafe,” tambahnya, yang mengeluhkan tentang mobil-mobil yang berbulan-bulan ngendon dari area parkir.
Zaki berharap agar ke depan pihak pengembang bisa menambah area parkir dan ruang parkir yang memungkinkan pelaku usaha memasukkan barang-barang.
Sementara Duta Kebenaran berharap ada sosialisasi penggunaan kendaraan umum. “Untuk pengunjung, kiranya diimbau agar tidak menginapkan mobilnya. Bila ingin menginap, ditentukan juga waktunya dan diharuskan melapor ke keamanan. Semoga saja bisa ditingkatkan pengawasannya untuk hal-hal seperti ini,” katanya.
Saya sendiri, selaku pengunjung, hanya berharap diberi kesabaran lebih setelah mengambil karcis parkir di gerbang apartemen Kalcit, yang seperti ucapan kawan tadi, problem parkir di sini bak "neraka versi Dante".
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Fahri Salam