tirto.id - Satu siang Oktober kemarin, di sebuah warung makan, dalam satu kesempatan saya ke Kalibata City untuk kepentingan peliputan, saya mencuri dengar obrolan dua perempuan dan dua laki-laki—mungkin usia mereka kepala tiga menuju kepala empat.
“Ya, gimana, dong? Emang jelek banget sih Pak Haji,” kata salah satu perempuan, sambil tertawa.
Dia melanjutkan ceritanya, bahwa dia membawa "Pak Haji" ke mal untuk didandani. “Padahal ajudannya rapi banget, lho. Bersih, gantenglah.”
“Ya, emang style-nya kali,” kata salah seorang pria.
“Harusnya dia (Pak Haji) bisa mengondisikan pakaiannya, kan. Ini pake sendal doang, bo. Ya akhirnya gue ajak belanja aja. Gue dandanin. Cukur. Terus beli beberapa baju, sepatu. Puluhan juta loh abisnya."
"Gue sempat nanya, 'Entar kalau istri Pak Haji tahu, gimana?' Dia bilang, 'Ya enggak apa-apa, kan, saya emang belanja'.”
“Cakep, enggak?”
“Ya, enggak, sih,” si perempuan tertawa. “Tapi, lumayanlah. Jadi agak rapian. Abis itu kita karaoke, dong.”
Perbincangan mereka berlanjut dan berganti-ganti topik—panjang sampai sore menguning. Pengunjung rumah makan makin ramai. Suara empat orang tadi mulai beradu dengan kebisingan dari meja lain. Dua perempuan tadi akhirnya pergi lebih dulu. Saya kehilangan jejak mereka.
Di Kalcit, salah satu menara Kalcit yang jadi tempat rumah makan ini memang salah satu yang biasa jadi tempat transaksi prostitusi. “Kalau ngomong-ngomong di warung-warung sini ya ngomong aja gitu. Beberapa emang penghuni, jadi udah pada saling kenal,” kata Jeni, nama samaran yang saya pakai demi menghindari risiko pekerjaannya.
Keesokan harinya, saat saya kembali ke warung itu, perempuan yang bercerita tentang "Pak Haji" ada lagi. Tapi, kali ini saya datang lebih dulu. Saya sempat bertanya kepada pelayan di meja kasir. Bertanya tentang prostitusi di sana, tapi ia menjawab “mungkin” dan “tidak tahu” dengan tampang ketus beberapa kali.
Informasi tentang prostitusi di Kalcit lebih banyak dari mulut Jeni, perempuan 25 tahun yang biasa menjajakan diri di kompleks rusun yang akrab disebut apartemen ini. Katanya, kebanyakan PSK yang ia tahu tak tinggal di sana.
“Paling (tinggal) sekitaran sini, kalaupun yang di sini itu yang sudah senior-senior,” tambahnya. “Yang emang disewain ‘laki’-nya. Mungkin ada yang punya sendiri, ya kurang tau juga, karena saya enggak kenal semua.”
Jeni tidak tinggal di sana. Ia hanya menyewa, lebih sering harian. Mekanismenya, pelanggan akan memesan jasa Jeni lewat media sosial atau telepon, kemudian ia menawarkan tarif, terjadi kesepakatan, baru pelanggan diajak bertemu di kamar yang ia sewa. Sangat mungkin pelanggan tak tahu hal ini karena Jeni mengaku penghuni Kalcit lewat promosi di media sosial.
Ia menolak membeberkan tarif kepada saya. “Enggak terlalu bedalah sama yang lain. Harga bersaing,” celetuknya.
Dari riset kecil-kecilan di Twitter, harga per jam para penyedia jasa ini dengan tagar Kalcit mulai dari Rp800 ribu sampai Rp1 juta. Angka itu makin besar tergantung durasi yang diinginkan pelanggan. Bisa Rp3–4 juta per 12 jam. Sementara harga sewa kamar per harian antara Rp350 ribu sampai Rp400 ribu. Jika ramai, Jeni bisa dapat tiga sampai empat pelanggan dalam sehari.
Selama ini Jeni memang menjajakan diri lewat online, tapi ia mengaku tak berani menggunakan Twitter atau Facebook. Jeni lebih senang menggunakan aplikasi pesan macam WeChat, KakaoTalk, dan WhatsApp. “Demi keamanan aja sih, soalnya Kalcit, kan, udah terkenal sama yang beginian. Biar jaga-jaga aja, sih,” ungkapnya.
Saya sempat menghubungi tiga kontak PSK dengan tagar Kalcit dari Twitter. Dua merespons cepat dan langsung menawarkan paket per durasi. Satu lagi merespons lebih lambat. Tapi, semuanya sepakat tak membalas lagi WhatsApp saya ketika saya memperkenalkan diri sebagai wartawan. Salah satunya bahkan langsung memblokir kontak saya.
Di hari-hari pertama nongkrong di Kalcit untuk liputan ini, saya memang langsung mengunduh WeChat dan Line. Lewat fitur ‘people nearby’ dua aplikasi itu, para penyedia jasa macam Jeni melakukan promosinya. Jadi, saya tak terkejut ketika melihat banyak perempuan berpakaian seksi—kebanyakan tank top—terang-terangan bikin status: “Available” atau “Open Booking”. Beberapa di antara orang-orang dengan status itu adalah pria.
Bukan Cuma Wanita, Bukan Cuma di Kalibata
Selain Jeni, saya bertemu Richard (bukan nama sebenarnya), gigolo 27 tahun yang lebih senang disebut tukang pijat plus-plus. Keduanya berteman. Tak seperti Jeni yang biasa bekerja di Kalcit, Richard cuma membuka praktiknya di rumah sendiri, di dekat kawasan Kalcit. Di sebuah rumah kontrakan dua lantai, ia tinggal bersama beberapa kawan seprofesi. Mereka mengontrak bersama.
“Saya kenal Jeni karena teman satu nongkrong. Kita sama-sama enggak tahu awalnya. Ada satu temen yang kerjanya mucikari, yang juga temennya Jeni. Ya, tahu dari dialah,” ungkap Richard, yang mengaku lurus (straight) tapi tak menampik pelanggannya lebih banyak pria.
Reputasi Kalcit dekat dengan citra "tempat prostitusi dan narkoba." Tapi, menurut Richard, hal itu tak cuma terjadi di kawasan tersebut. “Coba saja cari nama daerah lain, hashtag Jakbar, Jaktim, Jakut, misalnya. Sama banyaknya kayak Jaksel atau Kalcit,” kata Richard.
Richard tak membual. Menemukan tukang pijat plus-plus bukan hal sulit. Laki-laki maupun perempuan. Sebagian besar dari mereka tak lupa menambahkan frasa “wajib kondom” dalam cuitan-cuitan promosinya. Nyaris semua penyedia jasa kencan semalam dengan tagar Kalcit melakukannya. Mereka tampaknya sudah paham pentingnya proteksi kesehatan.
Jeni dan Richard mengaku selalu menyetok persediaan kondom dan menolak permintaan klien yang enggan memakainya.
Citra 'Esek-esek' Kalcit yang Ingin Diberangus
Awal Agustus lalu, Polda Metro Jaya mengungkap praktik prostitusi di Kalcit. Mereka menangkap 32 orang: 15 di antaranya tunasusila dan 17 lain pelanggan. Dari 17 pelanggan, dua orang adalah lelaki di bawah umur; sedangkan lima PSK berstatus anak. Polisi menduga lima dari 18 menara apartemen menjadi tempat untuk menjalankan bisnis esek-esek tersebut.
Saat saya bertanya: Apakah kenal orang-orang yang ditangkap polisi kemarin?
Jeni menggeleng. Begitu juga Richard. “Enggak. Saya enggak kenal,” kata Jeni. Informasi ini tak bisa saya konfirmasi. Ada kemungkinan mereka memilih jawaban aman.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tampak berang usai penangkapan itu. Program memberangus prostitusi di Jakarta memang jadi salah satu janji kampanye Anies. Ia bahkan ingin wajah tamu yang datang ke Kalcit difoto dan disebarkan jika terbukti melakukan transaksi prostitusi.
Rudi Budianto, lurah Rawajati, tempat warga Kalibata City bernaung, bahkan sudah menyuruh jajaran RT di Kalcit untuk melakukan pendataan penghuni. Tujuannya untuk mengetahui demografi asli mereka.
“Sehingga nanti tahu mana yang cuma nyewa, siapa aja pemilik unitnya, jadi pengawasannya lebih gampang,” kata Ery Dwi Wanto, RT di Tower Flamboyan.
Bahkan bekerja sama dengan pengelola apartemen, menurut Ery, RT dan penghuni sepakat membangun Posko Pengaduan di Tower Sakura. “Isinya nanti Polisi, TNI, Imigrasi, KPAI, dan lembaga-lembaga terkait lainnya,” untuk memantau prostitusi, peredaran narkoba, dan imigran, ujar Rudi.
Saya sempat mengecek posko yang dimaksud, ukurannya sekitar 4x5 meter persegi. Kondisinya masih sunyi. Tiga petugas kebersihan berseragam abu-abu sibuk mengelap pintu, jendela, dan kusen ruangan. Zainal, satpam Tower Sakura, berkata belum tahun kapan posko itu beroperasi. Sama seperti petugas kebersihan di sana.
Rudi bilang, “Targetnya November atau akhir tahun ini.”
Rudi berkata ia masih belum tahu kapan penerapan dari ide Anies mempermalukan tamu Kalcit yang terbukti melakukan transaksi prostitusi.
Ery bilang sejauh ini program RT yang sudah berhasil diterapkan adalah pembatasan jam kerja lift. “Dari jam 11 malam sampai 4 pagi, lift dibatasi jadi 2 saja yang dipakai. Tidak lagi empat-empatnya. Ini supaya lebih mudah memantau siapa yang keluar-masuk,” katanya.
Rencana penertiban dan pemberantasan prostitusi ini dinilai penulis buku Jakarta Undercover Moammar Emka sebagai upaya yang hampir mustahil. Sebab, pada dasarnya, “prostitusi di ranah privat itu jumlahnya tak terhitung,” ujar Emka kepada Tirto, 18 September lalu.
Pun sulit mengidentifikasi secara pasti mana saja tempat privat yang jadi lokasi prostitusi, dan mana yang tidak. Kesulitan makin bertambah karena itu terkait privasi seseorang.
Clara Jovita, salah satu penghuni Kalcit, berpendapat ia tak setuju bila pemerintah daerah sampai merekam wajah tamu hanya untuk dipermalukan. Menurutnya, Pemda tak perlu masuk terlalu dalam ke ranah privasi warga sampai demikian.
Clara, seorang pekerja industri kreatif, bukan orang yang kontra prostitusi. “Secara hukum emang ilegal, sih. Tapi, gue pribadi pro pekerja prostitusi, sih. Menurut gue, itu cuma pekerjaan. Lain ceritanya dengan minor (pekerja seks di bawah umur), ya. Itu gue juga menentang,” katanya.
“Tapi,” lanjut Clara. “Mereka (Pemda) tuh, kan, diisi orang-orang pintar, ya. Harusnya bisa bikin aturan yang enggak perlu sampai merugikan penghuni.”
Sebelum pindah ke Kalcit, Clara tahu bahwa tempat ini punya pamor minor: lokasi prostitusi dan narkoba. Namun, selama tinggal di Kalcit, ia tak pernah khawatir pada hal-hal tersebut karena merasa tak terganggu. Bagi Clara, seberapa besar pun skema bisnisnya, prostitusi terjadi karena syahwat individu—yang membuatnya berada di ranah privat.
“Maksudnya, itu terjadi antara pembeli dan penjual. Kalau pemerintah enggak bisa meredam pembeli yang banyak, ya coba sediakan lapangan pekerjaan (yang mereka anggap lebih layak) buat prostitute-nya,” kata Clara.
Perkara prostitusi juga tak serta merta cuma milik di Kalcit, tambah Clara. “Aku juga pernah tinggal di rusun Benhil, dan punya teman, tetangga prostitute. Terlepas dari cara bekerjanya, dia manusia biasa."
Sebulan lagi kontrakannya akan habis, tapi Clara masih tak tahu apakah kawannya—pemilik kontrakan—akan mengizinkan ia melanjutkan. “Kalaupun tidak, aku tetap mau cari yang di sini juga." Ia sudah merasa cocok dengan Kalcit. Selain berfasilitas lengkap dan murah, suasana ramai Kalcit memberikannya rasa aman.
“Aku ngerasa lebih aman aja pulang ke sini yang selalu rame walaupun udah malam. Kerjaanku sebagai pembuat film di perusahaan ads, kan, sering bikin pulang jam 2 atau 3 malam. Di sini ada satpam, dan selalu ramai, bikin perempuan kayak aku ngerasa aman aja,” katanya.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam