tirto.id - Kuasa hukum penggugat pelambatan internet di Papua, Muhammad Isnur menyayangkan pernyataan Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny Gerard Plate yang menyangkal kekalahan gugatan di PTUN Jakarta.
Isnur yang juga pengacara publik di YLBHI berharap pemerintah mau mengakui kesalahan dan tak mengulangi pemutusan internet di masa depan.
"Kalau di Jepang [pejabat salah] sudah 'harakiri' pejabatnya, kalau di Korea Selatan sudah mengundurkan diri itu pejabatnya. [Menkominfo] di kita malah buat statement 'Itu kan karena kerusakan infrastruktur'. Oh my God, kok menteri seperti ini," kata Isnur dalam diskusi yang disiarkan di kanal YouTube YLBHI pada Kamis (4/6/2020).
Setelah kalah gugatan di PTUN Jakarta, Plate menanggapi sebaliknya. Ia mengklaim belum menemukan dokumen internal yang berkaitan pelambatan hingga pemutusan internet di Papua dan Papua Barat selama Agustus-September 2019.
"Namun bisa saja terjadi adanya perusakan terhadap infrastrukur telekomunikasi yang berdampak ganguan internet di wilayah [Papua] tersebut," klaim Plate.
Menurut Isnur, seharusnya pemerintah legowo menerima kekalahan dan tidak mengajukan banding atau kasasi. Ke depan, ia berharap Presiden Jokowi atau Menkominfo Plate dapat mengundang dan berbicara dengan penggugat mengenai pemblokiran ini.
Dalam pengalamannya advokasi, pernah mengugat citizen lawsuit atas penelantaran TKI yang dideportasi dari Malaysia di Nunukan.
Saat itu, pihaknya baru membacakan gugatan dan menyampaikan kondisi yang ada, pemerintah langsung bergerak membangun fasilitas penunjang bagi para buruh migran.
"Jadi ini saatnya pemerintah mendengarkan dengan baik dan kalau bisa mengakui kesalahan," kata Isnur.
Isnur pun mengingatkan, putusan bahwa pemerintah melanggar hukum dari pengadilan dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) memiliki implikasi serius.
Pasalnya, itu berarti kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak memiliki dasar hukum, di sisi lain merujuk pada konstitusi Indonesia adalah negara hukum.
Selain itu, dalam sumpah jabatannya, presiden dan pejabat lainnya berjanji untuk melaksanakan konstitusi.
"Jadi kalau presiden masih ngotot kemudian membuat kebijakan di kemudian hari tanpa dasar hukum atau melanggar hukum berarti dia sudah menyatakan diri menentang konstitusi. Dampaknya sangat serius kalau dia tidak bergeming atau tidak mentaati perintah pengadilan," kata dia.
Sehari lalu, Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta memutuskan pemerintah Indonesia bersalah dalam kasus pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat. Sidang putusan dipimpin oleh Hakim Ketua Nelvy Christin serta hakim anggota Baiq Yuliani SH dan Indah Mayasari.
"Mengabulkan gugatan para Penggugat. Menyatakan tindakan-tindakan pemerintah yang dinyatakan oleh Tergugat I dan II... adalah perbuatan melanggar hukum," ujar Hakim Ketua Nelvy di PTUN Jakarta, hari ini, Rabu (3/6/2020).
Pihak Tergugat I adalah Presiden dan Tergugat II Menteri Komunikasi dan Informatika. Sementara Penggugat I ialah Aliansi Jurnalis Independen (AJI) diwakili oleh Abdul Manan dkk; Pembela Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet) diwakili oleh Damar Juniarto dkk. Sementara itu, YLBHI dan LBH Pers menjadi tim hukum dalam gugatan ini.
Perkara diajukan 21 November 2019 dengan Nomor 230/G/TF/2019/PTUN.JKT.
Tindakan melanggar hukum yang dimaksud berupa:
- Pelambatan akses bandwith di beberapa wilayah kota/kabupaten di Provinsi Papua Barat dan Papua pada 19 Agustus 2019 (saat kerusuhan meletus karena provokasi aksi rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya beberapa hari sebelumnya), pukul 13.00 WIT-20.30 WIT;
- Pemblokiran layanan dan/atau data pemutusan akses internet secara menyeluruh di 29 kota/kabupaten Provinsi Papua dan 13 kota di Papua Barat dari 21 Agustus sampai setidak-tidaknya 4 September 2019 hingga pukul 23.00 WIT;
- Tindakan pemerintah yang memperpanjang pemblokiran internet di empat kabupaten di wilayah Papua yaitu Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Mimika, Kabupaten Jayawijaya dan di dua kabupaten di wilayah Papua Barat yakni Kota Manokwari dan Kota Sorong pada 4 September pukul 23.00 WIT sampai 9 September 2019 pada 20.00 WIT.
Hakim juga menyebutkan putusan atas gugatan ini dapat dilaksanakan lebih dahulu walaupun ada upaya hukum; serta menghukum para Tergugat untuk membayar biaya perkara secara tanggung renteng sebanyak Rp457 ribu.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Zakki Amali