tirto.id - Barclays Center, arena indoor yang berada di wilayah Brooklyn, New York, Amerika Serikat, sejenak hening dari kegiatan olahraga, khususnya basket. Markas Brooklyn Nets, klub peserta NBA, itu diambil alih sementara oleh Samsung menjadi ajang "Galaxy Unpacked". DJ Koh, Chief Executive Officer Samsung Electronics, jadi bintang pertunjukan. Pada hari itu, tanggal 9 Agustus 2018, Samsung meluncurkan flagship terbaru dari seri Galaxy lahir: Galaxy Note9.
Di tengah hingar-bingar peluncuran Note9, nada sumbang muncul. Alasannya, jadwal peluncuran Note9 lebih cepat dibandingkan seri yang sama tahun sebelumnya. Galaxy Note8, satu seri di bawah Note9, meluncur pada 23 Agustus tahun lalu. Dilansir BGR, langkah Samsung tersebut dikarenakan "penjualan Galaxy S9 dan Galaxy S9+ buruk, yang lantas mengharuskan divisi mobile Samsung memerlukan dorongan penjualan sesegera mungkin".
Mengutip hasil riset yang dipaparkan IDC, Samsung memang sedang berada di zona tak nyaman. Samsung mengalami perlambatan pertumbuhan, khususnya di kuartal-2 2018. Pada kuartal-2 2018 Samsung mengapalkan 71,5 juta unit, turun 10,4 persen dibandingkan jumlah unit pengapalan di kuartal yang sama setahun sebelumnya di angka 79,8 juta unit. Meskipun menurun, Samsung masih memegang kendali pangsa pasar smartphone dunia dengan persentase sebesar 20,9 persen.
Jebloknya performa Samsung di kuartal-2 didukung kegagalan mereka mengamankan pasar paling bernilai selain Amerika Serikat, yakni Cina. Mengutip laporan Kim Jaewon di Nikkei, Samsung hanya memperoleh 1 persen pangsa pasar di negeri tirai bambu tersebut pada kuartal-2 2018. Counterpoint, firma riset pasar, menyebut dalam salah satu laporannya bahwa gabungan Huawei, OPPO, Vivo, dan Xiaomi, memperoleh pangsa pasar sebesar 76 persen di Cina, dengan Huawei sebagai penyumbang terbesarnya. Di luar nama-nama merek lokal itu, Apple menyodok dengan perolehan 9 persen pangsa pasar.
“Situasi kini menyulitkan Samsung karena mereka pernah merasakan pangsa pasar dua digit di pasar smartphone terbesar dunia tersebut,” tulis Jaewon dalam laporannya.
Tertekannya Samsung pada kuartal-2 2018 berbanding terbalik dengan Huawei, perusahaan teknologi asal Cina. Di kuartal ini mereka mengapalkan 54,2 juta unit, naik 40,9 persen dibandingkan kuartal sama setahun sebelumnya, yang berada di angka 38,5 juta unit. Atas pencapaian tersebut, Huawei menggeser posisi Apple sebagai runner-up produsen smartphone dunia dengan perolehan pangsa pasar sebesar 15,8 persen.
Capaian positif Huawei didukung hasil baik di Cina dan India. Di Cina, sebagai rumah mereka, Huawei memperoleh pangsa pasar sebesar 26 persen. Sementara di India, Huawei memperoleh bagian sebesar 3 persen. Meskipun kecil, capaian tersebut ialah kenaikan 3 kali lipat dibandingkan kuartal sama setahun sebelumnya yang hanya memperoleh 1 persen pangsa pasar India.
Lantas, mengapa Samsung dan Huawei memperoleh nasib berbeda di kuartal-2 2018?
Antara Titik Jenuh dan Strategi Merek
Jaewon, dalam laporannya, mengutip sumber internal Samsung mengatakan "seri Note merupakan produk premium paling penting bagi Samsung yang dapat mengerek loyalitas konsumen". Sayangnya, saat seri Note terbaru lahir, smartphone tersebut gagal melahirkan aspek kebaruan yang mampu menggiring konsumen berbondong-bondong membeli.
Quartz, dalam reviewnya atas Note9, menyebut “tidak ada alasan untuk melakukan pembaruan ke Note9 jika pelanggan memiliki model sebelumnya.” Sementara itu, The Verge menyebut bahwa “Note9 tidak menawarkan kebaruan [...] Tidak ada teknologi atau ide desain yang baru lahir di seri ini.”
Hilangnya aspek kebaruan pada seri terbaru smartphone Samsung cukup mengagetkan. Semenjak dicap Steve Jobs sebagai “tukang tiru” pada Maret 2011, Jaewon menyebut Samsung perlahan menjadi pelopor di dunia smartphone. Di pengujung tahun tersebut, Samsung merilis Galaxy Note, smartphone jumbo berukuran 5,29 inci. Meskipun sempat dicibir, ukuran jumbo terbukti sukses. Salah satu indikatornya, Apple meniru dengan merilis iPhone 6 Plus, seri iPhone yang punya ukuran 5,5 inci.
Pada Maret 2017, sisi pelopor Samsung menanjak di titik tertingginya. Kala itu Samsung merilis Galaxy S8 yang mengusung layar berkonsep infinity display. Terobosan tersebut merupakan “pembuktian” atas tragedi meledaknya serangkaian Note7. The Guardian menyebut “Galaxy S8 merupakan peningkatan terbaik dalam desain smartphone selama bertahun-tahun dan merupakan langkah maju menuju cawan suci dari semua layar ponsel.” Secara singkat, The Guardian menyebut S8 adalah “kecantikan sederhana”.
Note9 gagal di tengah populernya konsep full display yang dipelopori Apple dengan merilis iPhone X, smartphone full layar dengan menyisakan jambul alias notch sebagai tatakan modul kamera. Padahal pada tahun ini, hampir semua produsen menciptakan smartphone berkonsep full display, dengan notch di dalamnya.
Lalu, apa yang menyebabkan Huawei menanjak?
Sebagaimana dilansir The Verge, kesuksesan Huawei menanjak 40,9 persen dari kuartal ke kuartal ditopang oleh Honor, yang sukses menyumbang ⅔ bagian dari total pengapalan Huawei di kuartal-2 2018.
Panji Pratama, Public Relation Manager Huawei Indonesia, mengatakan Honor merupakan sub-merek Huawei. Honor adalah merek yang menyasar kalangan muda memanfaatkan jaringan e-commerce. Secara resmi, Huawei memperkenalkan Honor pada 2013. Dalam advertorial Honor yang dimuat The Verge, senada dengan perkataan Panji, merek ini “fokus pada kalangan muda”. Salah satu langkahnya: bekerjasama dengan pembuat gim seperti Gameloft untuk mengoptimalkan smartphone Honor berjalan baik bila penggunanya memainkan gim.
Jim McGregor, Principal Analyst Tirias Research, firma riset pasar, dalam tulisannya di Forbes, mengatakan Honor merupakan jawaban bagi Huawei menembus pasar luar negeri. Menurut McGregor, salah satu alasan yang mengemuka ialah pasar internasional, khususnya Amerika Serikat dan Eropa, kesulitan mengucap kata “Huawei” sebagai “wah-way.” Honor merupakan merek yang “mudah dicerna” negara-negara barat.
Meroketnya Huawei jadi alarm yang harus diwaspadai Samsung. Selepas menjungkalkan Apple di posisi runner-up, Huawei tentu ingin menjadi nomor 1. Samsung, dan bahkan Korea Selatan, tak bisa tinggal diam atas situasi ini. Sebuah kerugian yang besar bagi negeri K-Pop jika perusahaan yang menyumbang 14 triliun won ($12,4 miliar) atau setara dengan 23,6 persen total pajak perusahaan Korea Selatan itu, harus terjungkal.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti